Sejarah Hantu Bucin

Agnicia Rana
4 min readSep 18, 2020

--

Welcome Day 2 — things that makes you happy!

Malam itu jari-jarimu meraba lagi, menjalar hingga ulu hati. Kau dapati sudah isinya yang bau amis hingga kau muntah sejadinya. Namun kau memilih melanjutkan karyamu. Meraba diri ini hingga dalam, nyaris kau tembus sudah sampai kulit-kulit selangkangan yang hitam penuh guratan. Ya. Hingga habis sudah isi tubuhmu.

Esok malamnya kau merajuk, menatapku tajam tanpa ampun. “Aku hanya punya sebelah mata dan ada lubang besar di perut kananku”, kataku sambil menekuk bahuku ke depan. Kau menggeleng, lalu menjawab “Tak apa, aku pun hanya punya sebelah telinga, jari-jari pada tubuhku pun sisa dua belas”. Tak lama, kau masukkan lagi tubuhmu dalam-dalam, kau perlakukan aku dengan baik tanpa tergesa. Kau hirup wangi dari telapak kakiku yang lembab dan bau lumpur. Bulan pun tersenyum.

Esok malam kemudian, kau datang lagi membawa ilalang — masih dengan senyummu yang manis. “Telapak kakiku membusuk”, kataku sambil sebisa mungkin menutupnya dengan menekukkan kaki ke belakang. Lalu kau tersenyum lagi dengan polos dan berkata, “Tak apa. Aku pun kehilangan sebelah lenganku. Sekarang jariku sisa sembilan. Hidungku pun jadi kopong, tak berfungsi lagi.”

Kau menutup mata, aku pun menutup mataku perlahan. Aku lihat engkau secara utuh dan sempurna. “Aku lihat engkau utuh dan sempurna”, katamu kemudian seakan bisa membaca kepalaku.

“Mari sayang, mati bersama. Jadi hantu pun aku tak apa asal bisa bercinta denganmu tiap malam, bukan hanya di malam jumat.”

— Sejarah Hantu Bucin, Agnicia Rana.

Ini adalah hari kedua bersamaku dan Aya Canina di project #30dayswritingchallenge

Sebelum menjawab pertanyaan: “Apa yang membuatku bahagia”, mari aku ceritakan sedikit rahasia dulu.

Aku punya rahasia. Tentang surat cinta pertamaku untuk kekasihku. Jangan bilang siapa-siapa. Tapi kalau kau mau contek ya sila saja — asal jangan lupa catut namaku.

Surat cinta ini aku buat sepulang kencan pertama kami di TIM. Iya, TIM. Taman Ismail Marzuki. Bayangkan lapangan belakang di malam berbintang yang beradu dengan cahaya dari gedung tinggi di hadapannya, kau rebahkan tubuhmu di sana, dan di sebelahmu ada kekasihmu. Catatan: jangan bayangkan ada ciuman. Yang ini jauh lebih romantis.

What I feel is… What I feel?

I don’t know why but I really felt it.

Like.. this is what I want for long.

A man like you — who hold my hands, who walk besides me, who hear my stories as well, who always understand…

I want that night again when we lay down on the ground and stare at the night sky and talk so many things.

And our heart is singing,

and butterfly in our stomach waking up and dancing inside…

That night really happened.

Thank you for movie and good meal!

Let’s meet again! ❤

XOXO,

Your Love.

Ini tentu lebih mirip surat cinta anak SMA, bukan pujangga. Kekasihku bukan anak indie, atau orang yang mengilhami puisi karya penyair dengan kata-kata romantis — sesekali iya memang, kalau aku yang mulai — terbukti setelah surat ini sampai padanya, aku langsung diberikan dua surat cinta pertama darinya saat aku ulang tahun.

Mau tahu isinya? Panjang!

Kami tidak sesering itu berbagi cerita. Malam hari saat bersama, kami lebih sering menghabiskan waktu untuk bercinta dengan gawai masing-masing. Ia dengan pekerjaannya, aku dengan media sosialku.

Tapi lepas bercinta dengan gawai masing-masing, kami seperti…. Kami seperti apa ya? Dibilang prangko terlalu jadul. Kami ini seperti…. Kami seperti tubuh manusia dan baju. Kecuali si manusia itu suka telanjang, ya.

Ya itulah. Sejak awal pertemuan, kami tak pernah berpisah lama.

Dengannya aku betah berlama-lama di kamar meski mengerjakan pekerjaan masing-masing. Dengannya aku merasa ada yang selalu diam-diam melihatku dengan ujung matanya. Dengannya, aku melihat matanya di mataku. Dengannya, aku melihat sisi terbaik dari semua manusia dan/atau setan yang pernah singgah.

1001 alasan sudah kusampaikan padanya, mengapa aku begitu mencintainya. Kau mau tahu?

Kalau ini dilarang. Cari alasanmu sendiri, Tuan Puan!

Bersamanya, aku jadi tahu apa itu bahagia: sekecil kentut di depan wajahnya, dan itu bau luar biasa. Sekecil bahasa bakunya yang kadang memanggil dirinya “saya” padaku. Sekecil becandaannya yang kadang tak lucu. Sekecil suaranya yang fales saat bernyanyi — aku pun. Juga… sekecil melihat wajahnya yang polos dan awet muda dalam-dalam.

Aku bahagia ketika bersamanya. Aku bahagia bersama tubuhku — iya, biar saja aku bajunya yang bertugas mendekapnya senyaman mungkin.

Itulah sedikit rahasia yang mengantarkanku menemukan bahagia: pertemuan kami dan hari-hari yang kami lalui. Iya, aku ini hantu bucin sejati :)

Menjawab pertanyaan “hal yang membuatku bahagia”…

Hal yang membuatku bahagia banyak — makan dimsum ditambah chili oil, makan pempek, makan sushi keprabon, ayam geprek, daging di konter All You Can Eat, sushi tei, nasi goreng depan kuburan Pondok Ungu, sate ayam di pinggir jalan Cawang (iya, semua makanan. mudah sekali caraku bahagia. pantes…..), bisa jadi semua hal termasuk mengenal dunia baru (jalan-jalan mengelilingi kota, belajar memasak, apapun).

Asal ada dirinya di samping, di depan, di belakang, di manapun dekatku.

Kulihat ia pun begitu. Kata-katanya tidak selalu manis, tapi perbuatannya sebaliknya: 99% terlalu manis. Ia bawakan tas tanganku saat kami pergi bersama, ia jemput aku segera saat kuminta di manapun, ia kecup aku dalam tidurku, ia tersenyum lebar saat aku selesai memasak untuknya lalu ia memakannya dengan lahap sampai nasi di piringnya habis tak tersisa…

Kita memang sama-sama bucin kan, sayang?

Dear Hantu Bucinnya Rana,

Terima kasih ya, sudah ada. Semoga umur kita panjang! ❤

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. IG: agniciarana #MemulaiKembali