Seni Melupakan

Agnicia Rana
4 min readSep 20, 2020

--

Day 3: A Memory.

Bicara memori, bagian mana dari dirimu yang langsung flashback ke kejadian-kejadian berarti dari hidupmu? — ya, kepala, lalu turun ke selangkangan — OOPS oke hati dulu. Kalau bahagia, lalu memori itu sampai ke bibirmu melalui senyumanmu, kalau sebaliknya, memori bisa balik ke mana saja bagian dirimu — bisa selangkangan tadi yang kubilang jadi kesemutan, bisa tanganmu jadi pegal seketika, bisa kakimu — yang seketika membuatmu lemas, boleh jadi kesal.

Bicara memori, tentu banyak yang bisa kuingat. Seringnya yang nestapa. Mungkin sekarang aku masih munafik — selalu berpura-pura bahagia — seperti kamu yang baca. Munafik itu perlu, lagi-lagi untuk kasih makan ego, menurutku. Asal jangan kebanyakan.

Maka caraku mendefinisikan memori: suatu hal yang ingin kulupa — artinya aku masih ingat kan? Some memories are bad, sisanya baik. Sama-sama ingin lupa. Kalau ingat memori bahagia jadi ingin merasakannya lagi tapi gak bisa, ingat memori buruk pun ingin dibuang saja jauh-jauh. Jadi efeknya sama-sama menyebalkan, bukan?

Caraku melupa: menahannya dalam-dalam, kadang kutuang dalam tulisan (kebanyakan di beyondiary, sila kalau mau mampir). Lalu ya sudah. Berharap benar-benar lupa. Dan sesuatu yang ingin dilupakan selalu menjadi hal pertama yang kau ingat, bukan?

Begitulah memori — setidaknya yang kutahu dari buku yang barusan kubaca dengan sepenuh hati dan rasa puas karena akhirnya aku tahu rasanya “belajar” — setelah sekian lama. Kalau kau anak psikologi, pasti tahu kamusnya anak-anak psikologi kan? Kamus dasar psikologi, yang dulu selalu kau bawa di semester awal. Ya. Itu yang baru kubaca.

Rupanya memori ini memang tricky. Mau lupa tapi ingat, berusaha ingat malah lupa. Jika kau tak mudah lupa, barangkali emosimu nyangkut di sana. Ya. Karena emosi sangat dapat memengaruhi memorimu seperti kata Neisser, 1982; Rapaport, 1942, dalam Nolen-Hoeksema et al., 2009, “Memory is better for emotional situations than for unemotional ones.” Ketika kamu mengalami suatu hal yang emosional (sedih, marah, kecewa, dan lainnya), lebih memungkinkan kamu untuk mengingat daripada hal yang tidak emosional.

Mungkin memori itu terlalu menyenangkan/menyedihkan, mungkin memori itu punya makna sendiri buatmu, mungkin memori itu berulang terus di kepalamu saking inginnya kau lupa padahal memori itu menyakitkan buatmu.

Dalam buku ini dijelaskan bahwa emosi dapat memengaruhi memori jangka panjang dalam lima hal yang berbeda (Nolen-Hoeksema et al., 2009):

  1. Rehearsal: Adanya pengulangan kejadian. Ketika kamu mengulang cerita atau menceritakan kembali keadaan ketika kamu berada dalam suatu situasi tertentu, hal itu dapat memudahkan kamu mengingat kejadian itu. Kebanyakan memori akhirnya kutulis, kerapkali kuceritakan lagi ke kawanku, lalu kuceritakan pula ke kekasihku, lalu kuceritakan lagi ke kawanku. Gimana mau lupa?
  2. Flashbulb Memory: Adanya situasi yang signifikan, misal: aku masih ingat sampai sekarang waktu sekolahku dulu kedatangan Band Seventeen, lalu setelahnya mereka manggung di GOR sebelah sekolah. Kedatangan Band Seventeen yang terkenal inilah situasi signifikan itu.
  3. Retrieval Interference Via Anxiety. Ketika kamu cemas, kamu jadi lebih sulit mengingat. Misal lagi presentasi di depan bos, dan kamu belum persiapan, udah gitu bosnya detail banget, udah gitu kamu ngga paham betul situasi klien yang mau kamu sampaikan di presentasi itu, lalu kamu menjadi cemas dan keringat keluar dari kedua ketekmu serta seluruh tubuhmu. Eh, malah tersendat karena lupa apa yang mau disampaikan. Kecemasan inilah yang membawa kamu memikirkan sesuatu hal yang buruk dalam presentasi (seperti: “duh nanti bos nanya apa ya.”, “duh, pasti bos marah sama hasilnya”, dan duh aduh duh yang lainnya), dan akhirnya membuatmu gagal mengingat — gagal presentasi.
  4. Context Effect: kamu lebih mudah mengingat ketika mengalami konteks yang sama ketika peristiwa itu terjadi. Ketika kamu sedih, kamu jadi lebih mudah mengingat peristiwa yang sedih, pun sebaliknya. Aku kalau sedih, tau gak apa yang keinget? Waktu dulu nangis berhari-hari karena pindah rumah haha. Padahal kejadian ini sudah 13 tahun yang lalu.
  5. Repression: Adanya represi, atau hal itu kamu tahan-tahan tuh sampai lupa. Sesuatu yang direpresi itu bisa keluar kalau ada triggernya. Misal ketika ada trauma masa lalu yang direpresi dan masuk ke alam bawah sadar. Ketika terusik atau ketrigger tadi, lalu kamu jadi ingat semuanya. Ini menyeramkan. Peristiwa yang traumatik selalu menyeramkan.

Begitulah sedikit penjelasannya. Pernah mengalaminya bukan? Sama sepertiku, pasti saat baca kamu jadi mengangguk-anggukan kepalamu, menyetujuinya, dan mencari mana memorimu yang sesuai dengan contoh di atas.

Mungkin pada akhirnya kamu (iya, oke, aku) jadi belajar, oh, memang begini cara kerjanya. Memang begini cara kerja memori di kepalaku, yang selalu membuatku sedih dan kesal, kadang jadi over bahagia dan malah jadi ingin mengulangnya lagi.

Cintaku (iya, oke, diriku), memori itu penting, dan itulah anugrah yang Tuhan berikan pada kita, para manusia. Bayangkan tak ada memori, tak ada otak kau brarti. Kamu jadi tidak bisa memaknakan suatu kejadian, kamu ngga bisa belajar dari kesalahan.

Something bad comes to you is a thing that you might learn.

Sesuatu hal buruk yang terjadi, mungkin adalah cara untukmu belajar. Kamu ngga akan lupa, meski kamu ingin lupa — itulah kekuatan memori, seperti yang kujelaskan tadi. Tapi kamu bisa belajar.

Maka, aku sampaikan saja akhirnya.

Seni melupakan versi Rana adalah: Terimo ae. Ikhlaskan saja, bahwa itu telah terjadi pada dirimu. Ikhlas, ikhlas, aku rapopo, ayo perbaiki lagi.

— — — — — — — — — — — — — — — —

Sumber:

Nolen-Hoeksema, susan et al., 2009. Atkinson & Hilgard’s Introduction to Psychology, 15th Edition. United Kingdom: Wadsworth Cengage Learning.

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali