7 days with Lumos

Agnicia Rana
11 min readJun 16, 2024

--

Today is supposed to be a week with Lumos.

I marked him as mine, last week, in the midnight.

Hari pertama, 9 Juni 2024

Tengah malam itu, gue baru saja selesai dengan rutin malam gue. Gue harus bangun pagi sekali, untuk bertemu dengan sahabat gue, Aya. Rasanya gue ngga berpikir banyak saat itu. Tindakan gue seperti yang gue lakukan tiap tengah malam.

Pakai skincare, rebahan, buka instagram, buka tiktok…

Gue rebahan, aplikasi yang pertama gue buka adalah tiktok. Dan gue bertemu Lumos di sana. Laman yang terbuka begitu gue buka aplikasi adalah live tiktok adopsi kucing.

Kemudian jari gue seperti berjalan sendiri. Gue chat di situ kalau gue mau lihat kucing oyen dan minta dia diajak bermain, lalu dia dipindahkan sendiri dan dia begitu aktif main, seperti menunjukkan kebolehan dirinya saat itu.

Ngga lama Lumos diletakkan kembali di tempatnya, dan bergantian kucing lain ditunjukkan.

Tiba-tiba saja gue bilang, “Kak, mau oyen”.

Lihat! Anak ini milikku sekarang!

Lumos datang 30 menit kemudian. Ternyata, dia dekat, di Ciledug.

Aku ngga mampu menahan rasa bahagiaku. Dadaku seperti bisa meledak saat itu juga saking senangnya. Aku excited, sekaligus berpikir tengah malam itu adalah tidakan gila. Aku gila. Jariku seperti berjalan sendiri. Belakangan, aku paham. Lumos yang memilihku. Semesta mempertemukanku padanya.

Sebelah kiri itu foto pertama Lumos. Sebelahnya, foto pertama kami — satu-satunya. Lumos masih shock sepertinya, bertemu perempuan kesepian yang suka cubit-cubit perutnya, dan tarik-tarik telinganya, dan cium-cium moncongnya, dan gigit-gigit pawsnya.

Lumos seperti bayi kucing pada umumnya. Kecil. Loncatannya masih pendek-pendek, dan buntutnya mancung ke atas. Lumos wangi, sehat, meski aku temukan kutu di badannya, aku positif nantinya anak ini bakal ganteng banget.

Kepalaku ngga berhenti berputar menyoal konten apa yang akan kubuat bareng dia. Konten olahraga sambil dia main-main gigit yoga matku, konten masak bareng, konten cat spa….

Rasa excited pun tak terbendung. Aku bersenandung keras-keras merayakan pertemuan kami.

Foto KTP pertama Lumos. Niatnya, aku ingin buat kolase foto tiap hari, melhat perkembangannya dari hari ke hari, seperti kebanyakan konten pawrent di Tiktok atau Instagram.

Hari kedua, 10 Juni 2024

Pagi itu rasanya aku ngga mau beranjak. Iya, hari senin. Hari termalas sedunia. Kenapa ya, hari senin rasanya berat sekali? Seperti ada lem yang menyatukan tubuh dengan kasur.

Aku bersiap ke kantor, setelah memberi Lumos snack, dan ini tatapan dia sambil lihat aku dandan. Ngga lama, aku pamit mau ke kantor. Aku mohon doa padanya semoga hari ini menyenangkan. Kalau ngga bisa 100%, miimal setengahnya.
Malamnya, di hari yang sama, aku menegurnya yang main besi jendela. Lucu kali muka anak ini pas ditegur.

Setelah itu, aku ngga sanggup lagi menahan rasa senangku punya anak lagi! Malam itu, aku mengumumkan pada dunia kalau aku baru saja mengadopsi anak kucing yang kuberi nama Lumos.

Aku pamerkan pada dunia, kehidupan baru yang bergantung padaku saat itu. Aku pamerkan dia ke dunia, bahkan aku membuatkan instagram dengan namanya, berharap akan kuisi dengan konten-konten yang tadi kusebut.

Aku pamerkan dia pada dunia. Aku lupa, bahwa dunia ini bukan milikku. Pun Lumos bukan milikku.

Foto untuk dijadikan kolase, di hari kedua. Ngga tahan dengan kelucuan duniawi ini.
Anak ini kecil banget! Dia masuk ke dalam kaleng kecil ini. Lihat mukanya! He such a good creature! Thank God You made him mine ❤

Hari ketiga, 11 Juni 2024

Di hari ini, malam hari sepulang kantor aku sadar Lumos tidak memakan makanannya. Kukasih dia snack lagi, kucampur dengan makanan kering, yang dimakan hanya snack dan itu sedikit. Kupikir, “Duh… jadi ketergantungan snack, nih.”

Akhirnya kusuapi juga dia hanya dengan snack, dia makan sedikit-sedikit.

Sesaat setelah makan snack, aku ajak dia bermain. Lihat ekspresinya! Lagi-lagi aku bersyukur dan bilang, “Ya Allah, makasih sudah dimampukan untuk bawa Lumos pulang. Thank God, You made him mine.” Aku bersyukur. Rasanya, 3 hari ini aku belum mengeluh, kecuali di kantor, “Ih, jam 5 lama amat!”

Aku ingin berikan yang terbaik untuk anak satu ini. Aku belikan dia mainan yang aku baru CO di hari kedua, lalu hari ketiga check out mainan lagi. Aku bahkan belikan dia tas astronot, dan bilang ke Aya, “Nanti ke taman yuk bawa Lumos”. Aya mengiyakan, dan itu tak pernah terjadi.

Di malam itu, aku menyadari ada cairan kecoklatan yang sudah mengering di lantai. Wah, Lumos muntah.

Lumos dengan mainan terongnya! Mainan ini aku beli sudah lama, untuk Entong dan Kucil, tapi kekecilan kali buat mereka. Buat Lumos, terong ini bisa jadi guling! How cute!
Foto KTP untuk kolase hari ketiga.

Hari keempat, 12 Juni 2024

Pagi-pagi aku temukan Lumos muntah dan jadi lemas. Kuberikan makan, dia ngga mau. Aku sampai memaksanya makan snacknya. Aku panik. Lumos kenapa?

Aku temukan dia dengan ekspresi tak lucu ini, di hari keempat. Demi Allah aku panik.
Aku angkat dia, aku goyang-goyangkan, aku ajak main. Masih ada repon tapi matanya seperti mengantuk. Ternyata lagi nahan sakit ya, nak? Di sini aku panik dan mulai ngga konsen. Gigiku sakit, kepalaku pening, dadaku menyempit. Hati itu buruk sekali.

Jam 7 pagi, aku setengah berlari pergi ke indomart, beli makanan basah untuk bayi kucing dengan berbagai merk. Aku pun beli makanan kering berbeda merk juga.

Sampai kos, kubuka satu, Lumos masih belum mau makan.

Sorenya, aku masih temukan makanannya penuh di mangkuknya. Aku segera bawa dia ke Vet.

Jalan-jalan pertama bareng Lumos, jalan-jalan ke Vet. Masih pakai tas selempang kecil yang kebesaran juga untuk tubuhnya. Matanya kaget melihat keramaian di jalan raya, tapi dia diam saja ngga melawan untuk keluar tas. Betapa aku memimpikannya jadi seperti Dodo — kucing di Tiktok yang anteng banget jalan-jalan di tas selempang. Di waktu ini, tas astronotnya belum datang. Aku bawa dia dengan tas yang ada.
Berbagai ekspresi Lumos di vet. If I could turn back the time, I wish I could bring you to vet earlier, baby. I’m sorry.
Di sini aku tahu berat Lumos cuma 700 gram, berat yang masih wajar untuk anak kucing berumur 2,5 bulan.

Di sini, Lumos masih merespon segala hal. Suhunya normal. Aku report ke dokter juga pupnya masih normal. Padat, ngga ada darah. Sangat normal. Hanya saja dia ngga mau makan, dan memuntahkan makanannya terus.

Dokter kasih obat, dokter bilang harus diberikan dua kali sehari, dan makan pun harus disuapi. Dokter suruh aku untuk observasi dia, karena kemungkinan dia terkena virus. Tapi waktu itu dia belum ditest apapun. Rasanya aku tak punya banyak waktu. Lumos, if I knew it before, I wish I could treat you better. Maafin mami ya, Lumos.

Aku segera suapi dia. Sambil menangis. Kenapa ngga dimakan sih? Aku ngga sabar. Aku panik, aku takut.

Ngga berapa lama, dia memuntahkan lagi makanannya.

I’m sorry it happened to you, baby.

Hari kelima 13 Juni 2024

Lumos masih belum makan, ada bekas muntahan di lantai dan atas kasur. Malam itu, aku beli daging ayam, siapa tahu Lumos mau.

Tapi aku panik melihatnya begitu lemas.

Dadaku menyempit. Aku takut sejadinya. Aku buru-buru membawanya ke vet lain. Vet sebelumnya tidak memberiku titik terang.

Aku bawa dia buru-buru kejaw waktu, karena vet tutup jam 8 malam. Aku bawa dia jalan-jalan malam pertama kali pakai tas astronotnya, dan itu lagi-lagi ke vet.

Sampai di vet, beratnya ternyata turun 100 gram. Beratnya saat itu 600 gram. Aku bingung, ngga tahu harus berekspresi seperti apa.

Di sana aku bertemu dengan pawrents lainnya yang datang untuk cek jahitan anabulnya yang habis disteril. Dia memberikan semangat dan doa untuk Lumos. Dia bilang, “Lumos pasti kuat! Ayo nak, bertahan!”

Dokter buru-buru cek Lumos, dan kali itu dia langsung tes FPV.

Hasilnya positif. Lumos terserang FPV, virus mematikan pada kucing. Dokter bilang, kemungkinan sembuhnya kecil sekali, apalagi buat bayi sekecil Lumos.

Dokter tanya apa anak ini sudah divaksin? Tentu belum.

Aku bawa pulang dia dengan keadaan dia belum divaksin, dan hari ketiga bersamanya aku temukan gejalanya — muntah dan ngga mau makan. Dan di situ aku menyesal. Kalau saja aku tahu virus itu lebih awal, mungkin Lumos….

Dokter merujuk Lumos ke vet klinik 24 jam dekat situ. Tanpa pikir panjang, aku segerakan bawa Lumos ke sana.

Kondisinya kritis, kata dokter. Tapi masih belum sebegitunya. Lumos masih bisa berdiri, meski ngga lama dia duduk lagi. Lumos juga anemia dan dehidrasi. Gusinya sudah putih, menunjukkan dia anemia. Di sini aku merasa bersalah. Andai aku bisa lebih baik merawatnya. Andai aku tahu virus ini lebih awal. Maafin mami ya, Lumos.

Di sini, dokter ketiga ini bilang, “Ngga bisa dipastikan, tapi memang panleukopenia ini, kemungkinan selamatnya kecil banget.”

Dokter menyarankanku untuk bawa dia rawat inap. Aku ngga berpikir panjang, aku iyakan. Lagipula, kondisiku yang bekerja 8 jam tiap hari ngga memungkinkan untuk kasih makan dan minum Lumos tiap 2 jam sekali, ditambah Lumos harus diinfus untuk memasukkan cairan tubuh agar dia ngga dehidrasi.

Hari keenam, 14 Juni 2024

Aku ngga bisa tidur semalam, sama seperti malam kemarin saat aku rawat Lumos di rumah. I wish I could be faster, Lumos, I’m so sorry.

Pagi hari, aku dapat kabar baik — kupikir kabar baik.

Lumos makan dengan baik, meski masih harus disuapi. Pup dan pis Lumos normal, suhunya normal, dan sudah tidak muntah sejak di sana. Kupikir ini pertanda yang sangat baik. Aku tersenyum sumringah di sini, bersyukur demi Allah.

Sejak kemarin, aku cari info tentang panleukopenia dan cara penanganannya. Ada bingung di sana. Tapi aku sudah positif berniat akan segera bawa Lumos pulang, untuk menemani dia dan kasih dia suport emosional.

FPV ini, beberapa kasus bisa sembuh jika dirawat intensif. Yang penting, harus dikasih makan dan minum tiap 2 jam sekali. Tentu aku ngga bisa, tapi aku meniatkan diriku untuk mengusahakannya. Aku akan pulang di jam makan siang untuk memberi makan Lumos, melihat kondisinya.

Lumos, ayo kita bertahan sama-sama, sebentar lagi. Aku bilang dalam hati. Aku tahu pemikiran ini egois, tapi Lumos pasti bisa bertahan, pikirku.

Aku menyiapkan semuanya.

Kandang untuk dia isolasi, perlak, obat-obatan termasuk cairan elektrolit untuk bayi. Aku telusuri kisah-kisah anabul yang survived FPV, dan di situ aku berdoa banyak-banyak. God, give us a chance. Please give him miracle.

Aku bersiap ke diriku sendiri untuk menerimanya pulang jika sudah membaik, dan merawatnya sepenuh hati. Aku berjanji pada diriku sendiri, pada Allah, kalau dia diberi kesempatan, aku ngga akan lagi menjadikan anak-anakku pilihan ke-sekian.

Aku tahu itu harapan yang egois, tapi aku masih mau Lumos hidup.

Hari ketujuh, 15 Juni 2024

Pagi itu aku menunggu kabar dengan dada yang sempit. Di satu sisi aku takut kabar buruk yang aku terima, di sisi lain, aku yakin pasti kabar baik yang akan datang.

Jam 10, aku dapat kabar yang bikin aku menangis seketika.

Lumos kritis. Aku ngga tahu harus apa. Rasanya aku ingin di sana bersamanya, tapi ngga bisa. Selain karena vet klinik itu ngga bisa jenguk, rasanya egois kalau aku membawanya pulang saat itu juga. Lumos butuh penanganan ahli, bahkan dia butuh oksigen.

Aku menangis. Aku bingung.

Aku memohon pada Allah, “Ya Allah.. Allah tahu kan, aku di sini sendirian?” Seperti dijawab, hatiku mendengar jawaban, “Iya, tapi kan ada aku?”

Aku bercakap pada diriku sendiri, seolah berdialog dengan Tuhan.

“Ya, paham ada Allah. Tapi, maksudku di dunia, di kamar ini aku sendirian.” Aku mengasihani diriku kemudian, berharap Tuhan benar-benar kasihan, “Lihat. Aya bisa siblings time, sama adik-adiknya. Adik Amel jauh, dan hubungan kami tidak dekat. Mama papa Amel ngga bisa mengerti Amel, ya Allah. Cuma ada kucing, selama ini. Cuma kucing yang selalu ada dan memahami.”

Aku menangis sejadinya. Seperti marah. Aku menuntut Tuhan yang punya dunia dan segala isinya, seperti pada kejadian-kejadian sebelumnya di mana aku menuntut Tuhan untuk menyelamatkan hubunganku dengan pasanganku. Seperti saat aku minta Tuhan untuk berikan aku pekerjaan yang lebih baik. Seperti aku minta Tuhan untuk cepat-cepat diberikan kekasih baru. Aku menuntut Tuhan yang punya semuanya.

Doa-doa semakin terus aku panjatkan. Janji-janji terus aku ucapkan.

Tapi, di hatiku terdalam, aku ngga mau melihat Lumos kesakitan. Aku buat percakapan lagi, dengan Lumos, yang kebanyakan minta maaf, dan andai aku bisa lebih cepat membawanya ke dokter, atau bahkan hal-hal lainnya.

Akhirnya aku mengelus dadaku, memeluk diriku sendiri sambil bilang, “Ya Allah, kalau kami berjodoh, tolong izinkan Lumos pulang ke rumah dengan sehat, dan mampukanlah aku merawatnya ya Allah. Ngga peduli seberapa banyak uang yang harus aku keluarkan, seberapa besar energi yang harus aku keluarkan, aku yakin Allah akan memampukanku.”

“Kalau…” Aku berat sekali mengatakan ini, “Kalau memang kami ngga berjodoh, mudahkanlah untuk Lumos, dan… tolong buat aku ikhlas, ya Allah.”

Itu doa terberat yang aku ucapkan, setelah dua tahun lalu aku berdoa untuk diberi keikhlasan jika anak yang lahir dari rahim selingkuhan pasanganku adalah miliknya.

Aku pergi menuntaskan misi di kantor, siang harinya. Aku ngga bisa melakukan banyak hal. Aku takut kabar buruk yang akan kuterima.

Bahkan, tiap ada notifikasi, aku langsung buru-buru mengangkat handphoneku untuk cek datangnya dari mana. Berjam-jam aku duduk di Fore sambil mengamati sekitar, sambil dengan rasa takut.

Akhirnya saat itu tiba.

Saat aku menerima kabar duka dari vet. Kabar yang ngga akan pernah siap diterima oleh pawrents, menyoal anak bulunya.

Lumos meninggal.

Aku menangis sejadinya di Fore, ngga peduli sore hari mulai ramai. Aku menangis. Rasanya dadaku menyempit sedemikian rupa bikin oksigen gagal masuk.

Aku membiarkan diriku berduka seorang diri.

Aku mengabari Aya yang lagi slow respon, berharap dia ada di depanku — atau siapapun. Tapi aku seorang diri. Aku ngga bisa mengabari mama dan papaku, karena mereka ngga akan mengerti. Aku bisa kabari siapa lagi berharap mereka datang dan menemaniku melewati ini?

Aku pada akhirnya membiarkan diriku berduka seorang diri, sambil mempersiapkan pertemuanku dengan Lumos — yang sudah meninggal.

Beberapa jam kemudian aku bangun menguatkan diriku. Aku harus menyambut Lumos dengan baik. Lumos datang padaku dalam kondisi yang baik. Sehat, wangi, gembul… Aku harus bawa dia ke tempat terbaik dengan kondisi yang baik.

Sampai vet, aku ngga bisa tahan tangis lagi.

Lumos dibawa dengan pet cargo, sudah dibalut kain putih. Tangisku makin pecah waktu aku menggendongnya sudah dalam kondisi seperti itu. Hanya maaf yang bisa aku ucapkan, dan andai-andai lainnya.

Memori sejak pertama kali aku bertemu dengannya berputar kembali dalam kepalaku.

Sampai di kos, aku takut-takut buka balutan kain itu. Aku membukanya juga. Aku harus kasih Lumos yang terbaik, meski yang terakhir kali.

Aku buka sabun cuci kaki paws kucing itu, yang sebelumnya aku rencanakan untuk main cat spa bareng Lumos. Aku ambil kakinya, dan aku bersihkan pawsnya yang sudah putih.

Aku ambil pads untuk cuci matanya, aku bersihkan matanya.

Aku ambil pads untuk bersihkan telinganya, aku bersihkan pelan-pelan.

Ini hal terbaik yang bisa aku lakukan hari itu untuknya, untuk terakhir kalinya. Aku elus kepalanya, aku sisir bulunya…. Sambil minta maaf berkali-kali dan berharap aku bisa mengatasi semuanya lebih baik, lebih cepat.

Lumos memang sudah bukan Lumos yang pertama kali aku lihat. Tapi, dia terlihat lebih baik.

Aku membalutnya lagi dengan kain putih.

Buru-buru aku minta ibu kos bantu untuk menguburkannya. Hari sudah malam dan sepertinya akan hujan. Lumos dikubur di depan kontrakan depat kamarku. Aku bisa melihatnya dari jendela kamarku.

Lumos, maafin mami, ya….

Mami ngga tahu kamu dimana saat ini, tapi semoga Lumos bahagia. Terima kasih sudah bikin mami belajar untuk hal sepenting ini. Lumos selalu ada di hati mami…. Semoga nantinya mami bisa lebih baik lagi…

Terima kasih sudah memilih mami jadi rumah terakhir Lumos. Mami ikhlas Lumos pergi.

Bye, Lumos ❤

--

--

Agnicia Rana
Agnicia Rana

Written by Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali

Responses (1)