ABCDEFGHIJKLMNOPQRindu
Aku rindu, dan aku memilih untuk menunggu lebih lama
Biar Ia Yang di luar kita yang kasih kita tanda
Cuma-cuma yang bikin kita bergerak mendekat
Aku kalah dengan egoku — keputusanku sendiri — sebelum ini. Tadi malam aku memberinya tanda, entah ia rasakan atau tidak, entah ia percaya atau tidak, entah ia memikirkan tindakan selanjutnya atau tidak, entah ia ingin meresponnya atau tidak, dan entah lainnya.
Aku paham aku rindu, dan mungkin yang bikin tambah menyiksa adalah bahwa aku punya pengetahuan tentang perasaannya yang selalu bikin bingung itu. Iya, dia ngga pernah bilang “ya” atau “tidak”, kecuali: jalani dulu saja. Tapi entah, aku merasa kami punya kesempatan — atau lebih tepatnya aku yang selalu kasih kesempatan padanya?
Aku merindukannya, dan dalam kepalaku, mungkin masih dia yang bisa mengisiku, dan aku pun bersedia mengisinya. Tapi, lagi-lagi aku ngga mau terlalu percaya pada perasaanku sendiri, dan tidak lagi berharap ia merasakan kerinduan yang sama, pun, aku ngga mau memaksa siapapun untuk bisa menerima apa yang kukasih.
Mungkin dia juga rindu, dan itu urusannya. Jadi.. rinduku ini ya urusanku.
— Begitu yang dia pernah bilang.
Maka aku buat tulisan ini, untuk bilang ke aku — diriku sendiri — , bahwa aku harus tahu diri.
Barangkali ada kesempatan, dan nantinya kami sama-sama punya keberanian untuk memulai, atau barangkali tidak ada sama sekali. Aku sepenuhnya bergantung pada semesta — Tuhan — saja.
Katanya jodoh adalah cerminan diri, dan hasil dari doa juga usaha — yang saling. Jadi, bukan hanya doa atau usaha salah satu dari kami saja, tapi kami berdua. Maka, harusnya kita sama-sama, kan?
Aku berharap, aku bisa memberikan waktu yang cukup untuk diriku dan dirinya. Untuk sama-sama belajar dan memahami apa yang kami butuhkan satu sama lain. Jika semua ini masuk ke dalam benaknya, aku rasa, ia paham keputusanku untuk menunggunya dengan cara yang… caraku.
Kupikir ia paham, seperti lagu Teddy Aditya — Caraku, Caramu.
Aku ingin cerita padanya, berbagi menyoal usahaku lepas dari dirinya dan keinginan untuk bergantung ke manusia— yang ini harus, entah nanti kami terus atau tidak. Aku ingin berbagi bagaimana aku sendirian di keramaian, nonton konser musik yang musisi-musisinya ada di playlist spotify kami — yang kebanyakan lagu yang dia tambahkan adalah musisi yang aku baru dengar, dan ada di acara musik yang kutonton itu, bikin aku ngga asing dengan lagu-lagu mereka. Sebut saja ada Bilal Indrajaya, dan Perunggu.
Ada juga pemusik lainnya yang lagunya ada di playlist kami: Payung Teduh (yang sekarang jadi Parade Hujan), Nadin Amizah, Sal Priadi, Reality Club, aku juga yakin pasti dia dengar lagu nostalgia dari Ungu, The Changcuters, Setia Band, Kahitna, dan lainnya.
Aku jadi membayangkan kalau kemarin aku ngga sendirian, dan dia ada di sana bersamaku. Pasti kami berdua menikmati hari itu dengan utuh. Mungkin aku pergi ke panggung musisi yang aku suka, sementara dia ke musisi yang ia lebih suka, atau kami berdua saling mengalah.
Yang jelas, semua itu hanya ada di dalam kepalaku yang suka berandai-andai, dan aku paham bahwa hari kemarin ngga akan terulang, apalagi bersamanya. Lagipula, kalau ada dia, hari kemarin akan kehilangan esensi: “belajar sendirian”-nya.
Betul. Aku sedang belajar menikmati kesendirian. Tujuannya adalah agar aku bisa berteman dengannya — kesendirian. Agar aku terbiasa, dan tak bergantung lagi ke orang lain. Agar aku bisa menemukan diriku, memprioritaskan diriku di atas kebutuhan orang lain .
Kemarin, aku mampu menikmati kesendirianku, meski rasanya naik turun dan sedikit bingung (mulanya). Hari pertama aku cukup canggung, dan beruntungnya hai pertama berlalu cepat karena aku datang malam. Hari kedua, hari paling melelahkan, tapi paling bikin bangga karena aku sudah list semua yang aku mau tonton, dan bisa dapat semuanya di list.
Esok paginya, di hari ketiga, perasaanku sedih lagi. Pagi hari aku sudah bangun, dan memutuskan untuk segera makan — ini harus jadi yang pertama, karena aku harus isi perutku lalu minum obat. Setelahnya, aku memutuskan untuk dengar lagu Nadin Amizah di Youtube. Aku buka MV lagunya, judulnya “Semua Aku dirayakan”.
Pagi itu kali pertama aku lihat MV lagu yang sedang berulang kali aku hayati itu. Di menit awal aku masih haha hihi memikirkan siang nanti aku mau nonton Nadin, namun di akhir menit pertama, pundakku tiba-tiba bergetar dan air mataku turun deras begitu saja.
Sudah berapa lama aku kehilangan diriku?
Aku kembali mengutuk keadaan. Aku mengutuk diriku yang sekarang. Aku mengutuk kesendirianku. Aku mengutuk mengapa Tuhan kasih aku perasaan ini? Aku bilang ke Tuhan, “Aku ngga suka sendiri! Ngga mau sendirian! Ngga mau ke konser sendirian! Ngga mau ke Blok M sendirian! Ngga mau apa-apa sendiri! Aku ngga mau sendirian!”
Waktu itu, aku lupa semua proses yang aku jalani. Aku lupa bahwa aku sudah sejauh ini. Aku balik jadi diriku yang kufur nikmat, tapi Tuhan, aku ngga bisa, kemarin.
Aku ingat kemudian, tujuanku hari itu: nonton Synchronize Fest hari ke-3 — terakhir. Aku sudah sejauh ini, dan aku harus tetap nonton Nadin Amizah.
Aku mencari kekuatan, dan aku telpon rekan kerjaku sebentar. Ya. Aku ngga papa, aku harus bisa mengontrol emosiku, dan hari itu harus berjalan sesuai rencana. “Aku harus nikmati hari ini”, tekadku hari itu.
Dan yes, aku berhasil melalui hari itu dengan baik, tanpa drama dan tanpa lelah berlebih. Aku juga ngga sendirian hari itu. Aku janjian sama teman lamaku, dan kami sepakat untuk pulang tak lebih dari jam 21:00 malam.
Aku terima kasih ke Tuhan banyak-banyak. Aku mungkin kehilangan banyak — kehilangan dia, yang ngga cinta aku amat — tapi aku makin dekat dengan diriku, aku menemukan diriku.
Aku rindu, dan aku memilih untuk menunggu lebih lama
Biar Ia Yang di luar kita yang kasih kita tanda
Cuma-cuma yang bikin kita bergerak mendekatAku rindu, dan aku akan tunggu lebih lama
Bukan untuknya, tapi tuk menemukan utuhnya diriku