Bagaimana Aku Ingin Dicinta

Agnicia Rana
7 min readNov 30, 2023

Week 9: Love Language

Dewasa ini, kita sama-sama sepakat bahwa mencintai dan dicintai merupakan bagian penting dalam hidup. Bukan cuma untuk kepentingan berkembang biak, mencintai dan dicintai adalah kebutuhan eksistensi manusia — as a human being.

Manusia merupakan makhluk individu, sekaligus makhluk sosial. Ia hidup sendiri membawa tubuh dan isi kepalanya, namun ia tetap butuh orang lain untuk berkehidupan, menjalani hidup dengan tabah dan bahagia. Kita tentu butuh orang lain. Terhitung sejak kita lahir, kita sangat bergantung oleh orang lain yang merupakan care giver dan/atau oleh orang tua kita. Bahkan sampai dewasa, kita butuh bekerja dengan rekan kantor agar pekerjaan selesai dan mencapai target, atau sekedar menyapa ibu kos sepulang kerja saat berpapasan dengannya.

Aku melihat diriku penuh luka dan cacat, dan aku sadar bahwa itu datang dari apa yang kusebut “rumah” — orang tuaku, keluargaku. Ndak, ndak, aku ngga pernah mengalami kekerasan fisik saat aku anak-anak, tapi aku menyadari bahwa saat kecil, aku kurang dapat kelekatan emosional lewat orang tuaku.

Papaku sibuk bekerja dari pagi sampai malam. Pagi sebelum aku bangun, papa sudah terjaga untuk memulai kerja, dan malam harinya saat aku sudah tidur, papaku baru selesai. Padahal papa kerja dari rumah. Yes, kantor papa di bawah, lantai dasar, dan kami tinggal di atas.

Meski begitu, papa kerap melibatkanku dalam pekerjaannya, seperti untuk membantu tulis nomor nota, ataupun… utak-atik perintilan onderdil yang warna-warni. Kalau libur, aku pasti ikut ke bawah, ke kantor papa, lalu duduk di kursi tinggi, dan mengamati orang kaya bayar segepok uang tunai ke papa. Wow, papaku banyak duit.

Klien-klien papa juga banyak yang gemas sama aku yang gembul dengan rambut pendek berponi. Aku pernah diajak main ke rumah Ibu Hj (dibaca: hajah)— begitu ia dipanggil — salah satu klien papa. Rumahnya besar, rapi dan begitu bersih. Waktu aku ke sana, aku ingat banget aku dikasih makan nasi dan sup ayam. Lalu aku diantar pulang lagi.

Aku ingat dulu dia senang kali sama aku, dan aku sempat ketemua anaknya yang masih muda, mungkin sekitar 20 tahunan. Anaknya ganteng woy! WKWK. Tapi aku ngga tahu masa depan dia sekarang, pun ibu Hj. Kami pindah rumah — semuanya — di 2007.

Aku bukan tipe yang butuh perhatian khusus, mungkin, pada saat aku kecil — saat SD. Makanku banyak, dan ketika aku makan, semua orang memujiku. Lahap, kata mereka, dan selalu bikin mereka senang. Sekarang ini, kalau mamaku lihat aku makan… ya, mama masih senang, tapi mungkin bercampur ironi karena aku sudah ngga lucu lagi — tapi seksi dan bohay, dengan ukuran tubuhku yang memang terhitung (masih) obesitas.

Berat badan itu problem lainnya.

Seingatku, aku jarang sekali dipeluk oleh mama dan papaku. Mereka juga bukan gambaran keluarga harmonis — kalau definisi harmonis itu memperlihatkan cium, belaian, peluk, di depan anak-anaknya. Bahkan, mereka terbilang gengsi. Mamaku sukar disentuh atau bahkan dicolek papaku yang suka iseng colek dan cubit mama. Pasti mamaku langsung marah, kalau papa iseng. Aku pun tak pernah melihat mereka berpelukan, ataupun pegangan tangan — kecuali pas mamaku salim ke papa, itu pun hanya di waktu lebaran, saat kami saling minta maaf.

Papa dan mamaku juga bukan yang terang-terangan bilang “I love you”, bahkan mereka memanggil satu sama lain dengan “Mas”, dan “Neng”, aku ngga pernah dengar papa panggil mama “sayang”, pun sebaliknya. Tapi lucu juga ya, dipanggil “Neng”, atau “Dek” gitu sama pasangan. Lebih enak didengar lagi kalau ada embel-embel sayang di belakangnya, jadi “Dek sayang”, “Nengku sayang”, gitu ya.

Ucapan happy anniversary, ungkapan kebanggaan — bahkan sampai pujian, aku ngga pernah dengar dari mereka satu sama lain — kasih kado saat momen tertentu, juga enggak juga, sih. Jujur, aku bahkan ngga tahu kapan papa dan mamaku nikah. Karena ya… tidak pernah ada perayaan apapun. Aku dan adikku juga ndak tanya. Tiap papa atau mama ulang tahun, aku dan adikku yang sudah dewasa ini, baru memulai untuk kasih kue ulang tahun dan kado ke papa mamaku.

Papa dan anak-anaknya selalu dilayani dengan baik, oleh mama. Mama siapkan makanan untuk kami, bersih-bersih rumah.. Kalau papa butuh pijat, mama pasti pijat papa.

Apa lagi?

Menghabiskan waktu bersama? Ini iya! Jaman dulu masih di Bekasi, kami punya jadwal ke mall rutin, di malam minggu. Aku dan adikku bebas ambil apapun, terus kami makan hokben atau ayam Texas. Pulangnya, selalu bawa eskrim AW dengan saus coklatnya yang khas. Sekarang ini, papa juga suka ajak mama keluar berdua, jalan-jalan, gatau kemana. Terakhir, waktu aku pulang bawa mobil, mereka pergi keluar lama, tuh.

Bukan musuhan, atau tidak romantis (eh tapi ini iya juga sih), ya… barangkali love language mereka memang bukan dengan berpelukan, kasih pujian dengan kata-kata pujangga (meski aku tahu mamaku itu pujangga banget, karena mama suka tulis diari dan bikin puisi), juga kasih hadiah spektakuler…

Dan ini menurun ke anaknya.

Papa dan mamaku (terutama papa), dalam mendidik anak-anaknya selalu lewat uang dan hadiah, juga jalan-jalan ke mall atau ancol. Tiap minggu, kami jalan-jalan ke mall, dan bebas memilih barang apapun yang kami mau, dan seringkali dibelikan.

Kami (anak-anak papa) cukup dengan buku, uang, dan mainan. Tiap aku rangking 1, papa sudah pasti kasih apa yang kumau — yang seringkali buku, atau cat air.

Privillege itu hilang, saat kami pindah rumah. Dan kami tak pernah dapat kompensasi apapun atas kehilangan itu, kecuali kami dipaksa untuk menerima semuanya.

Barangkali aku termasuk anak yang mandiri, pada masa itu. Aku selalu pilih baju yang kumau sendiri. Aku jarang suka sama pilihan mamaku. Aku selalu jadi yang dipilih untuk memimpin kelas, bahkan saat ikut lomba siswa berprestasi. Aku bisa diandalkan dunia luarku.

Di rumah, seingatku, aku selalu belajar sendiri.

Karena papaku punya uang, aku bisa les bahasa Inggris dan sempoa di tempat yang bagus, lalu aku juga ikut kelas mengaji. Jadwalku cukup padat, pada saat itu. Saat di rumah, aku ngga pernah punya pertanyaan untuk mereka, karena aku dapat semua jawaban dari sekolah dan papa mamaku rasanya ngga pernah tanya atau cek PR-ku, karena aku selalu dapat mengerjakan semuanya — sendirian.

Pulang sekolah, mereka akan suruh aku makan, ganti baju, lalu bersiap les atau pergi mengaji. Mereka ngga pernah tanya bagaimana hari-hariku di sekolah. Untuk hal sebesar aku dibully pun, aku tak bisa cerita ke orang tuaku. Aku lebih memilih menulis di diary, atau menulis surat untuk teman-temanku yang dulu bully aku.

Parahnya, aku ngga sadar kalau dulu aku dibully — saat itu.

Hasil test love language-ku.

Aku ngga kaget-kaget amat — tapi lumayan.

Physical touch selalu jadi yang pertama. Iya, aku haus sekali sentuhan. Seperti yang kubilang, aku ngga ingat kalau orang tuaku pernah cium atau peluk aku. Mungkin iya, waktu aku masih bayi.

Aku tak masalah dengan itu. Aku ngga tahu bahkan kalau orang tua boleh cium dan peluk anak-anaknya. Aku baru menyadari kalau cium dan peluk itu ada, waktu aku main ke kos temanku saat SMP. Saat itu, orang tuanya datang untuk cek keadaannya. Waktu orang tuanya pulang, ia dicium dan dipeluk sebegitunya oleh orang tuanya — termasuk ayahnya. Dicium yang semuka-muka, pipi, jidat… Papa dan mamaku, kalau aku sekolah, cuma kasih aku tangannya untuk aku salim.

Aku ngga pernah merasa sekosong itu — waktu lihat temanku diperlakukan sebegitu dicintainya oleh orang tuanya. Iya, aku, di SMP, baru tahu kalau ada bentuk lain dari cinta orang tua ke anaknya. Sejak saat itu aku jadi bertanya-tanya, kenapa aku ngga pernah dapat kasih sayang semacam itu?

Saat aku besar, itu menjadi penting rupanya, karena physial touch menjadi manifestasi dari apa yang ngga pernah aku dapat di rumah — dari orang tuaku, dari keluargaku.

Bukan aku porno juga. Tanganku dipegang saat menyebrang, diusap ubun-ubunnya, dicium pipinya, dipeluk erat-erat, rasanya sudah cukup. Aku ngga minta lebih, justru aku yang terkadang kasih lebih. Ngga salah ya, aku needy. Kalau ke pasangan, aku selalu ingin dekat-dekat, dan pegang-pegangan — ndusel-nduselan.

Kupikir, peringkat kedua akan jadi words of affirmation. Aku gampang digombalin, gampang terbuai sama kata-kata dan janji manis. Dua-tiga bait puisi saja orang kasih padaku, aku bisa langsung jatuh cinta sampai gila. Dari sini aku paham kenapa aku menuntut pesan dan selalU dikabari pasanganku. Aku ngga kuat kalau dikasih dry text, dan sedikit aku lihat perubahan typing, bisa bikin aku overthinking semalaman. Aku juga senang dipuji dan divalidasi. Bikin aku merasa ada dan dihargai. Waktu aku kecil kan, aku ngga pernah dipuji, kecuali kalau aku ranking 1. Aku malah dibully karena aku gendut.

Sekarang ini, aku mulai menilai-nilai lagi, rasanya, aku ngga mau terjebak word of affirmation. Kata-kata bisa dirangkai sebaik mungkin, tapi perilakunya bisa jadi tai.

Mungkin ini mengapa, quality time naik ke peringkat kedua. Harusnya act of service, ya?

Tapi… quality time pun mewakili bahwa aku ingin selalu dekat pasanganku, ‘harus selalu’. Kalau jauh, ‘harus selalu’ mengabari. Buka yang tiap menit juga, yang penting aku tahu pasanganku di mana, dan sedang apa. Belakangan, aku menyadari bahwa banyak lelaki avoidant yang belum emotionally avaliable, dan ngga bisa memenuhi kebutuhanku ini.

Apa aku yang toxic karena terlalu demanding, atau memang.. belum dapat lelaki yang sesuai dengan yang aku mau?

Mungkin aku memang toxic, tapi perasaanku valid.

Dua sisanya, receiving gifts dan act of service, akan sangat menyenangkan kalau aku dapatkan ini. Dari yang sudah-sudah, aku tetap rungsing kalau pasanganku kasih dua hal ini, tapi dia lupa kabarin aku, atau tidak menanggapiku dengan baik, bahkan marah, apalagi cuekin aku.

Tapi lebih seringnya… aku temukan pasangan jauh dari kedua hal ini.

Yang ada mereka mau service, dan… selaku minta split bill, juga… janji mau belikan hadiah ulang tahun, tapi aku diputusin duluan wkwkwk tai.

Yang ini agak berharap karena awal PDKT aku kasih hadiah dia celana jeans bermerek. Belakangan karena sikapnya, aku jadi ngga ikhlas. Tapi yasudahlah, beli barang untuk orang lain saja mampu, masa untuk diri sendiri aku kudu memelas?

Alih-alih kasih self-reward, padahal aku impulsif dan terlalu senang membahagiakan diriku sendiri. Lagian, tiap aku ulang tahun, jarang yang kasih aku kado. Dan tiap bulan beli barang-barang perlu/ga perlu, lucu/ga lucu, itu bikin aku senang.

Kado yang kukasih ke diriku ngga selalu berupa barang. Aku diam lama di kamar mandi untuk luluran dan creambath kepalaku sendiri, ke salon untuk nail art dan eyelash, pijat refleksi, masak mie instan untuk diriku sendiri, buka tutup botol minumku sendiri… cukup banget, sih.

Jadi sebetulnya, caraku ingin dicintai ini, bisa aku dapat dari diri dan untuk diriku sendiri, kan?

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali