Bagaimana Mengakhiri Hari

Agnicia Rana
8 min readAug 16, 2024

--

Hari pasti berakhir, tapi… besok kita bangun lagi, dan mengulang semuanya lagi — terus-terusan.

Aku bingung kali dengan perasaanku yang naik-turun ngga tentu ini. Sebetulnya, tentu kupikir-pikir, pasti ada sesuatu di diriku, dan itu menyangkut trauma yang wajar bagi aku si penyintas kekerasan yang dilakukan oleh pasanganku sendiri.

Aku melihat ada satu pola, namun jujur aku takut menuliskannya. Barangkali betul, aku bersyukur, karena tahu lebih awal. Kalau ndak, aku bersyukur juga, setidaknya aku sudah peduli dan sadar penuh dengan kebutuhanku.

Awal Juni 2024

Aku senang bukan main, mungkin karena baru dapat komisi yang angkanya lumayan, dan aku punya beberapa rencana yang mestinya akan menunjang hidupku.

Agustus 2024, uang itu hampir lenyap, dan aku belum membeli apapun yang sudah aku rencanakan sebelumnya. It’s sad, but it’s true. Aku yang begitu impulsif ini, mencoba mencari penyembuhan.

Aku ngga bisa bilang berapa banyak yang aku habiskan, dan aku terlalu takut untuk cek rekening koranku, meski itu sudah aku usahakan.

Awal juni itu, aku beli kucing — Lumos, aku beri nama. Ngga sampai seminggu bersamaku, Lumos meninggal karena panleukopenia. Aku sedih bukan main. Uang yang aku habiskan sudah jutaan untuk satu minggu itu. Dari situ aku hilang kendali, dan aku sadar ada yang perlu dibenahi.

Aku berdiam diri di pojokan. Makan sebanyak yang aku mau, dan tidak menyentuh tempat gym. Aku mengisolasi diriku di kamar kos, kecuali saat bekerja — dan itu saat-saat terburuk dalam hidupku. Aku balik ruminasi dan meromantisasi kesedihan tanpa aku ingin — bisa — balik bahagia. Aku mengutuk hidup, dan berharap waktuku habis saat itu juga.

Sekitar dua minggu aku di fase buruk itu. 19 Juni 2024, aku memutuskan untuk ke Psikolog, dan berakhir dengan satu diagnosa (yang ngga akan aku sebutkan di sini, terlebih, pertemuan pertama dan langsung muncul diagnosa?).

Dari situ aku diminta untuk mengerjakan tugas — yang tidak terbahaskan di konseling kedua, 10 juli 2024. Di hari itu aku ingat kalau aku lebih banyak bercerita tentang aku dan masa kecilku dulu. Pun aku cerita lebih dalam mengenai gejolak emosi yang aku rasakan, yang… berpola itu.

Dari situ, diagnosa lainnya muncul. Aku denial. Bagaimana bisa?

Dan tentu aku mesti kritis. Ini hidupku.

Day after, 20 juli 2024, aku menyaksikan diriku yang bahagia luar biasa. Berbanding terbalik dengan minggu-minggu sebelumnya. Rasanya dopaminku di puncak, seperti aku orgasme, tapi jelas bukan karena aku bercinta dengan lelaki yang aku idamkan dan mampu memenuhi ekspektasi kelaminku.

Aku tertawa bahagia menikmati peranku hari itu, 20 juli. Aku ngga ingin hari itu berakhir. Aku ingin hari itu terus panjang. Hari itu bikin aku ingin hidup lagi. Aku ingin berumur panjang. Aku ingin bertemu teman-teman. Aku ingin menikah lagi dan bercinta dimana-mana sampai lupa waktu.

Hari itu bikin aku yakin akan berbagai keputusanku dalam hidup.

Tapi hari itu berakhir juga.

Meski tak 100% memenuhi ekspektasiku, hari itu tetaplah berkesan luar biasa. Aku masih bisa mengingat euforia hari itu, bahkan aku dan teman-temanku — kami semua — merayakan dan mengabadikannya di instagram kami.

Apakah sampai di situ?

Tidak. Hari setelah kami berpisah, rasanya kosong. Tombolku sedang menyala di mode “tidak bahagia”. Aku masih baik-baik saja, siang itu habis kami ngobrol dan bikin konten di cafe. Pulangnya, aku dan salah satu temanku di grup yang sama berpisah dengan yang lainnya dan memutuskan untuk makan mie ayam chili oil di sekitaran Blok M.

Kami makan mie bareng dimsum masing-masing 5 pieces. Kenyang dan bahagia luar biasa. Memang, sedih dan capek bisa diobati instan dengan makanan.

Kami ngobrol sedikit, di sisa waktu dua jam itu, karena temanku harus jalan ke stasiun. Aku masih mode santai karena kosku masih di Jakarta, temanku itu balik ke rumahnya di Indramayu.

Kami berdua update kehidupan, ngga jauh dari cerita lelaki dan pekerjaan (template obrolan dewasa kini). Aku menambahkan ceritaku mengenai lelaki yang beberapa waktu lalu kutemui, dan tak menunjukkan keseriusannya, meskipun aku sudah tanya kabarnya. Apa betul, lelaki umur di atas 30-an dan belum menikah adalah lelaki yang butuh psikolog?

Aku ngga mau menggeneralisasi, tapi, kebanyakan begitu. Atau… aku yang menarik mereka ke dalam hidupku? Kuanggap ini jadi bahan belajar saja lah.

4 Agustus 2024

Hari ulang tahunku. Aku ulang tahun. Yang ke 29 tahun. Hampir 30. Mengerikan, kah?

Lumayan. Aku benar-benar excited menyambut hari lahirku — dan hari lahir mamaku jadi Ibu. Teman dekatku Aya menambah hingar bingar perayaan HUT ke-29 tahunku. Aya kirim banyak. Aku ngga mengira kalau dia akan penuh effort untuk hari ulang tahun sahabatnya satu ini.

Aya belikan aku balon angka, balon warna warni, balon bunga, hiasan kain quotes, dan kado yang aku minta — bricks mainan yang menurutku sih lucu banget!

Ngga main-main effort Aya. Makasih ya, Bestie!

Di hari ulang tahunku, mamaku datang. Kami sama-sama merayakan hari lahir kami: hari lahirku ke dunia, dan hari lahir mama menjadi seorang Ibu. Mama kembali cerita bagaimana dulu aku keluar dari perutnya, di malam jumat kliwon itu.

Tanggal keramat pulak lah, aku lahir. Tanggal 4, malam jumat kliwon.
Aku sempat — hampir selalu — bilang kalau aku sial, dan itu karena aku lahir tanggal 4. Tapi rasanya, sekarang ngga begitu.

Kulihat-lihat, aku ini salah satu orang paling beruntung yang kukenal.

Pertama. Aku dikasih pengalaman perubahan kehidupan ekonomi keluargaku. Dari yang cukup banget, ke cukup. Dari yang tinggal di kota dengan hingar bingar dan hiruk pikuk keramaiannya, ke desa. Dari yang penuh ambisi, ke malas, ke yaudahlah. Pengalaman ini, bisa jadi bikin trauma, tapi sungguh aku belajar.
Kedua. Aku diselamatkan dari banyak hal. Dari kematian fisik dan psikis. Di tahun 2016, aku kecelakaan — untuk pertama kalinya — dan ku ditemani Kak Nces dan Aya, sahabatku, sampai ke rumah sakit di Bandung. Gila. Aku punya mereka. Di hari itu, kebetulannya, kakak tingkatku sedang survey ke klinik, dan aku baru tiba di klinik itu dengan luka di kepalaku. Heboh, satu Fapsi heboh, dan aku ditagani dengan baiknya. Bahkan, beberapa dosenku sempat tengok aku. Siapalah aku? :(
Aku diselamatkan. Lukaku sembuh, meski meninggalkan pitak sebesar 2 cm di kepala bagian kanan — satu jengkal menuju belakang kepala. Satu jengkal yang menyelamatkanku dari gegar otak.
Di tahun 2022, aku keluar dari hubungan toxic dengan lelaki red flag. Aku baru menikah 2 tahun, dan aku diselingkuhi 3 kali, pun aku dimanfaatkan secara finansial. Aku juga direndahkan dan dibanding-bandingkan dengan selingkuhannya yang selalu bunting itu. Aku lepas akhirnya dari lelaki patriarki yang menjeratku dan membunuh diriku.

Perlahan aku hidup kembali

Aku hidup kembali. Aku bertahan dengan kondisi buruk ini, dan aku bersyukur bisa belajar dari kondisi ini. Aya Canina jadi satu saksi dua kematianku, dan sampai sekarang Aya masih ada, bahkan di hari ulang tahunku kemarin, bahkan di hari ini.

Keluargaku pun masih utuh.

Waktu aku kecelakaan di 2016, papa dan mamaku ngga pakai mikir, mereka langsung datang ke Bandung. Kata mama, papa bahkan menangis di jalan. Papa yang kurang kasih kebutuhan emosional ke anak-anaknya itu menangis hari itu. Tapi sampai rumah sakit waktu kita ketemu, jelas tidak. Papa memandangiku dari jauh, sambil aku disuapin roti dan teh kotak sama mama.

Di 2022, di kematian ke-duaku, papa dan mama pun hadir di situ. Aku hampir masuk perangkap mantan suamiku lagi, kalau saja papa ngga bilang, waktu itu di putaran Central Park ke arah Gatot Subroto. Papa menyetir, aku di sebelahnya sambil menangis membaca chatku dengan mantan suamiku yang begitu memojokkanku.

Mantan suamiku bilang, “Ambil saja mobil itu, dari dulu yang kamu mau emang mobil kan? Yang kamu pikirin kan cuma uang!”

Aku ngga perlu membuktikan ke siapapun, tapi selama aku berhubungan dengannya, aku turut dimanfaatkan secara finansial. Lebih detailnya, aku turut membiayai hidupnya — dan pengorbanan-pengorbanan finansial lainnya.

Harga diriku diinjak oleh laki-laki yang suka menyetubuhiku karena itu cara ia dapat anak — lelaki yang suamiku saat itu. Bahkan aku dibandingkan dengan perempuan selingkuhannya. Pun aku direndahkan juga oleh perempuan selingkuhannya.

Momen di mana aku memohon lagi, sambil mempertimbangkan untuk batal melaporkannya (hari itu tujuan kami ke LBH Apik Jakarta untuk mencari keadilan), karena kupikir aku masih bisa memperbaiki semuanya, toh katanya perempuan selingkuhannya itu “keguguran”. Seperti di momen tahun lalu, selingkuhan lainnya (di 2021, sebelum dengan perempuan ini) terbukti bukan mengandung anak suamiku, seperti itu pula harapanku hari itu.

Tapi dia tetap memaksaku untuk bawa mobil pulang padanya, baru dia mau ceraikan aku. Mobil, mobil, mobil. Di saat aku menuntut untuknya mengembalikanku ke orang tuaku dengan cara terhormat, dia malah minta balik mobil yang akhirnya dia kutuk untuk jadi bala pembawa sial aku dan keluargaku.

Aku menangis, sambil teriak ke Papaku, “Dia ngga mau balik. Dia tetap pilih perempuan itu, terus Mba gimana?”

Papaku tanpa mengeluarkan setetes air mata pun, dengan raut wajah yang tak pernah terpancar darinya bilang, “Sekarang Papa tanya, apa yang mau Mba pertahanin lagi?”

Tanpa babibu, bermodalkan pertahanan diri, dari mulutku terucap, “Harga diri lah! Masa dia lebih milih perempuan lain?”

Tanpa ba bi bu, ngang ngeng ngong, hah heh hoh, Papaku lalu bilang, “Justru kalau Mba mau memperjuangkan harga diri Mba, Mba ngga akan mau diperlakukan seperti ini. Udah, sekarang lepasin. Kita perjuangkan harga diri Mba.”

Aku berhenti menangis.

Sejak hari itu semua berubah. Sejak saat itu aku ngga pernah lagi memintanya kembali. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi mengemis padanya — pun ke lelaki lain setelahnya.

Sadar peran Papa begitu penting, bagaimana mungkin aku asal memilih lelaki (lagi)? Bagaimana mungkin aku memilih lelaki yang tidak memilihku, sementara Papaku memperjuangkanku di separuh hidupnya?

Aku begitu dimuliakan papaku. Ngga pernah satu kata buruk pun keluar dari mulut Papa yang merendahkanku. Ngga pernah satu jari Papa pun membekaskan luka di tubuhku kecuali meninggalkan kasih sayang. Ngga pernah satu momen pun Papa meninggalkanku demi memilih orang lain.

Bagaimana mungkin aku memilih lelaki yang menggores luka sebegitu dalamnya? Bagaimana mungkin aku memilih lelaki yang dengannya aku tidak merasakan bahagia? Bagaimana mungkin aku memilih lelaki yang membunuhku?

Aku terus maju. Segala usaha aku lakukan, dan masih ada Aya di sampingku, masih ada orang tuaku. Aku main ke taman, aku main ke Perpusnas, aku ke Blok M, ke Sarinah, kemana-mana. Aku beli handphone baru, aku pelihara anak kucing, aku beli mainan, makanan enak, baju baru, sampai personal care, aku beli semuanya.

Dari yang murah sampai yang mahal. Dari yang mudah sampai seekstrim naik gunung. Semua aku lakukan.

Aku melihat diriku jauh lebih baik sekarang, meski masih banyak hal berceceran butuh aku susun kembali pada tempatnya. Meski aku harus mengeluarkan uang terus-terusan, aku lebih baik sekarang, jauh lebih baik.

Di bulan Mei ke Juni aku sempat hilang kesadaran, dan aku berduka sedemikian hebatnya — aku relapse: aku merasa kembali jadi perempuan paling sial di muka bumi. Aku merasa tidak beruntung dan tidak dicintai. Aku merasa Tuhan ambil semua kesenangan dariku. Aku kembali lihat diriku dua tahun lalu.

Hingga akhirnya semua membaik sekarang. Aku, masih ditemani Aya yang masih jadi tong sampahku akhirnya pergi menyelamatkan diri ke Psikolog. Aku ke Psikolog lagi. Aku menolong diriku. Tuhan menolong aku.

Di hari ulang tahunku 4 agustus kemarin, di momen satu kali tiap tahun itu, aku mendapatkan banyak doa dan kasih sayang dari orang-orang sekitarku. Ada mamaku, ada Aya — lewat kado dan pernak-pernik pesta kirimannya — , ada Papa — lewat doanya — , ada teman-temanku yang lain.

Ini doa dari Aya.

Aku senyum banyak-banyak di hari ulang tahunku itu, meski ada tantrum-tantrumnya juga ke mamaku. Repot kali ya Mih, jadi Mama :”)

Aku berdoa banyak-banyak untuk diriku, untuk mama dan papaku, untuk Aya dan sahabat-sahabatku lainnya, dan untuk kewarasan semesta.

Terima kasih, Tuhan.

Aku ngga mau hari-hari baik ini cepat berakhir. Jangan, jangan dulu berakhir.

--

--

Agnicia Rana
Agnicia Rana

Written by Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali