Belajar Mencintai 101 #2

Agnicia Rana
6 min readOct 24, 2023

Mulanya Semua Terasa Berat

Juni 2022 benar-benar jadi bulan terburukku di tahun itu — pun mungkin seumur hidupku — , dan kupikir… aku kehilangan segalanya, termasuk diriku.

Rasanya waktu itu nyawaku tinggal setengah. Setengah masih di tubuh, setengahnya lagi melayang keluar entah kemana — mungkin ia melayang-layang mencari inang yang baru, karena yang sebelumnya menolak merawatnya.

Lalu kalau ditanya, apa yang membuatku punya kekuatan pada akhirnya?

Tentu aku tak langsung utuh — pun mungkin sampai saat ini. Semuanya naik-turun sesuai… entah. Tapi banyak situasi spesifik yang sangat mengganggu, seperti.. saat melihat pasangan-pasangan muda apalagi kalau mereka punya anak. Atau juga… pencapaian-pencapaian duniawi yang aku belum, tapi orang lain sudah.

Bukan aku iri juga — atau iri ya? — , bahkan aku sebisa mungkin bersyukur itu terjadi pada mereka, dan aku turut mendoakan diriku bahwa suatu saat pasti aku akan begitu juga.

Rasanya lebih ke… aku punya kesempatan dan aku berpotensi untuk hidup seperti itu, kalau saja pasanganku setia. Aku punya kesempatan dan aku berpotensi untuk mencapai mimpi duniawiku… kalau saja aku tidak memilih mantan pasanganku — tidak memilih menikah. Begitu kurang lebihnya.

Mungkin bukan iri, mungkin lebih tepatnya aku masih menyesali pilihanku menikah dengan lelaki yang ternyata kasih aku rasa sakit yang sebesar ini.

Kalau diri ini sedang tak masuk akal, aku akan mengutuk dan membenci diriku sendiri yang punya pemikiran itu. Pemikiran yang melihat orang lain lebih, dan melihat diriku kurang, dan masih menyalahkan keadaan, dan semakin menyalahkan diriku yang menyalahkan keadaan.

Bingung ngga, sih?

Maksudku… perasaan mana yang seharusnya betul?

Wajar kalau iri dan ya… gapapa namanya juga proses, atau memaksa diri untuk selalu positif dan mentah-mentah membuang iri itu, padahal berduka seharusnya wajar saja, kan? Atau keduanya sama, sih?

Aku bingung harus bersikap apa.

Yang aku lakukan adalah menjauhi segala macam hal yang bisa menjadi trigger, dan berusaha keras untuk fokus ke diriku sendiri. Ini susahnya minta ampun. Susah banget, ya Allah….

Satu hal sepertinya, yang paling bikin aku bertahan: aku takut mati.

Iya, aku selalu takut mati. Bukan hanya mati harfiah, yang benar-benar mati kehilangan nyawa. Mati rasa, mati kepribadian, pun bikin aku takut. Hidup tapi mati, bikin aku takut.

Di sela-sela nyawaku yang tinggal sepersekian, sisa nyawa yang masih menempel di tubuh susah payah menopangnya. Ia memulainya dari menyembuhkan kepala dan isi hati terlebih dahulu.

Aku beruntung aku menyadari bahwa psikisku harus dibenahi sejak awal. Aku beruntung punya kawan-kawan yang support aku di kegiatan baik. Ada Aya yang kenalin aku ke Sasha, dan mereka jadi support system terbesarku.

Aku kadang malu kalau mendramatisasi semua ini, karena aku sadar, bahwa aku bukan satu-satunya manusia paling sial. Banyak yang tidak beruntung lainnya — bahkan jauh lebih tidak beruntung dibanding aku — , dan mereka bertahan.

Ada dua orang, yang satu si “iya-iya” saja tapi ternyata jahat di belakang, ada si paling pasrah tapi diam-diam suka marah dan kabur. Mereka berdua sama-sama bilang, “Yang hidup susah bukan cuma kamu, masih banyak.”

Aku tahu.

Tapi aku masih di fase denial, kemarin. Kadang cuma butuh didengarkan, atau… didukung saja pemikirannya, kayak… “Ya memang hidup itu tai! Masalah itu tai!” Jadi… bantu lah aku memaki kehidupan. Kalau aku cerita dan memaki kehidupan, dan ada yang bilang, “Banyak orang yang susah, lebih susah darimu…” Aku jadi malu, dan rasa itu jadi aku tekan ke dalam. Akibatnya? Emosi itu tidak selesai, dan efeknya jauh lebih bahaya.

Saat ini, saat aku akhirnya belajar terima semua, baru pemikiran kemarin masuk ke kepalaku, dan lama-lama jadi terinternalisasi di dalam diriku. Iya, aku jadi bisa terima dan lebih bersyukur atas apa yang terjadi padaku kemarin, yang menjadikanku “aku yang sekarang”.

Tentu tidak begitu saja. Aku banyak mawas diri dan mencari dukungan eksternal, seperti: ketemu Aya dan Sasha tiap minggu, aku ikut kegiatan healing penyintas, aku beli ukulele; gitar, aku join membership Fithub, ah.. banyak.

Tapi terkadang itu semua belum cukup. Seringkali aku kembali berduka, dan menciptakan awan gelap di atas kepalaku. Aku ngga tahu kenapa, mungkin benar kata si pasrah yang demen kabur, kalau aku kurang shalat. Kalau auraku gelap. Mungkin betul, tapi dalam kepalaku yang penuh ini, aku ngga percaya kata-katanya begitu saja. Toh, bukan kata-katanya yang bikin aku shalat, tapi karena Tuhanku mencintaiku dan aku mencintai-Nya.

Aku Temukan Diriku

Bagian terpenting, terindah, dari sebuah perpisahan adalah: “Meski kau kehilangan ia (yang kau pikir mencintaimu), kau pada akhirnya temukan dirimu”.

Aku sepakat.

Dalam hubungan abusive, korban disalahkan, disakiti, dikomentari ina-inu, sampai eksistensinya sebagai manusia yang well-being hilang. Bikin bingung, disorientasi. Saat ada di posisi itu, aku bingung bukan main, dan hal defensive yang dilakukan — yang paling aman — adalah “menyalahkan diri sendiri”. Kenapa? Karena pasanganku begitu. Menyalahkan diriku atas perselingkuhan yang ia lakukan.

Tentu aku pernah marah. Tapi alih-alih ia adalah suami — kepala keluarga — dan aku adalah istri, ia bilang, aku tak boleh marah padanya dan tetap harus menghormatinya.

Aku jadi mempertanyakan kapabilitasku sebagai istri. Apa betul aku tak bisa melayani suamiku? Apa betul secara seksual ia tak puas denganku? Apa betul aku tak bisa kasih dia anak? Apa betul, apa betul lainnya.

Lain waktu, ia mendapat dukungan dari teman perempuannya, yang kasih tahu ke dia kalau dalam islam, seorang istri ngga boleh menolak ajakan berhubungan intim dari suami. Aku kemudian ia kirimi ayat-ayat yang bilang bahwa dosa besar bagi istri yang menolak berhubungan intim dengan suami.

Plot twist, dia bukan seorang muslim. Dia pindah agama cuma demi menikahiku. Lalu mengapa ayat yang sepenggal itu yang ia berikan untuk menyerangku?

Aku mempertanyakan diriku, dan semakin aku belajar, aku semakin menyadari bahwa aku mengalami kekerasan yang berlapis.

Pertama, kekerasan psikis: yang mana ia berselingkuh — dengan lebih dari satu perempuan — menyalahkanku atas perselingkuhannya, bilang aku ngga bisa kasih dia anak, meremehkanku yang menurutnya tak bisa urus rumah — sementara aku juga kena kekerasan finansial: aku tetap bekerja, dan seringkali kebutuhan kami tidak terpenuhi, dan ini bikin aku harus pinjam duit.

Kekerasan fisik, pernah, waktu aku pertama tahu dia selingkuh dan aku ketahuan menghubungi pacarnya — yang saat itu sedang hamil. Gawaiku ditarik paksa, sampai aku mental dan kakiku kena kaki kursi kerjanya, sambil ia bilang, “Dia lagi hamil, kamu engga”. Lain waktu, ia pernah mendorongku, sambil kemudian mengepalkan kedua tangannya lalu bilang dengan penuh amarah, “Kalau tangan ini kena ke tubuhmu sedikit saja, pasti aku sudah kena masalah!” Artinya, ada intensi untuk melakukan kekerasan fisik, kan?

Aku juga ingat, lewat ambisinya untuk punya anak, aku kerapkali dipaksa untuk berhubungan seksual — terutama saat ovulasi — dan itu sangat menyiksaku. Tiap ovulasi aku takut. Perasaanku tak nyaman, tak ada gairah. Di hari ovulasi, pagi-pagi saat aku tidur — ngga peduli aku harus kerja di hari itu dan melewati perjalanan panjang untuk sampai ke kantor — ia melucuti bagian bawahku, meraba dadaku, dan memasukkan penisnya yang keras. Aku seringkali pura-pura masih tertidur, dan itu tak membuatnya menyudahi persetubuhan. Aku menangis dalam diam — dalam gelap, tak bergerak. Aku diperkosa suamiku sendiri. Aku kena kekerasan seksual, yang dilakukan oleh suamiku sendiri.

Setelah ovulasi — dan ia merasa itu kesempatan yang tepat untuk membuahi — satu-dua minggu setelahnya aku diminta untuk test pack, apalagi kalau aku sudah lewat waktu datang bulan. Ini perasaan pahit lainnya, saat aku menyelupkan test pack itu ke urinku, dan tak menemui garis dua. Aku takut keluar kamar mandi, dan bilang padanya kalau hasilnya negatif, karena setelahnya ia pasti akan sedih dan mengurung dirinya, mematungkan dirinya di depan laptop kerjanya.

Setelahnya, dua hari aku masih belum datang bulan, ia akan suruh aku test pack lagi. Seminggu setelahnya, dan aku masih belum datang bulan, ia suruh aku test pack lagi. Hasil negatif, dan ia akan menunjukkan ekspresi kesedihan dan kekecewaan yang sama.

Tiap bulan begini.

Apa semuanya salahku, kalau Tuhan belum menjawab doa kami untuk punya anak?

Apa salah rahimku? Apa salah aku yang terlalu gemuk?

Ditambah, dua perempuan — pacarnya, keduanya mengaku hamil anaknya. Rasanya aku semakin kehilangan nilai diriku. Aku semakin memandang diriku rendah. Aku semakin jauh dengan diriku.

Dengan memutuskan untuk mengakhiri pernikahan dengan lelaki itu, pelan-pelan aku belajar bahwa aku ini berharga — jauh lebih berharga daripada yang kukira — , dan pelan-pelan aku temukan diriku.

Perjalanan yang panjang, naik-turun, melelahkan. Pada akhirnya, membuatku paham esensi dari mencintai. Proses ini, yang namanya, “Belajar Mencintai”.

Denger versi audionya juga di Spotify:

Monolog Desah Desus – Belajar Mencintai 101 #2

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali