Blue Feeling in the Orange Sky (1)
--
This is the pain, when I hurted by the destiny
Making me so weak, making me broke…
Barangkali, ini adalah tanda-tanda yang wajar bagi sebagian wanita di hari mendekati menstruasi. Kemarin aku cek aplikasi (yang tiap masa ke masa berbeda tujuannya — if you know what I mean), dan sudah seharusnya memang sari pati yang tidak terbuahi ini keluar.
Setiap bulan, sejak remaja, memang selalu ada rasa yang lain. Entah badmood melanda sepanjang hari, merasa tidak berharga dan jelek (disertai jerawat dan muka nggremet karena sebum di wajah meningkat), sekarang ini… kesepian.
Deal with separation dan loneliness itu ternyata berbeda, ya.
Mungkin kemarin dan masih juga sampai sekarang, aku masih baik-baik saja dan bisa bilang bahwa perpisahan adalah sebaik-baiknya jalan yang dipilih. Dan memang betul. Dikhianati dua kali, ditinggalkan demi orang lain, dibanding-bandingkan urusan diri dan domestik, dan diabaikan sudah jadi alasan kuat untuk tidak lagi jadi bodoh untuk memintanya kembali.
Aku bisa terima, dan dengan gamblang membuat pernyataan bahwa iya, benar, tidak ada lagi hubungan, maka aku tak lagi punya kewajiban untuk membahagiakan siapapun, kecuali diri sendiri.
Dan ya. Memang harus fokus ke diri sendiri dulu, diri sendiri aja.
Bicara kesepian, kemarin aku baca, memang rasa kesepian ini bisa muncul pada kondisiku: pasca perpisahan.
Tentu ngga akan mudah, dan aku sadar betul ngga akan mungkin mudah. Selama empat tahun bersama, ngga pernah ada jarak. Ada, mungkin paling lama satu minggu — yang dia pakai untuk meniduri perempuan lain di siang bolong di waktu shalat jumat, agustus 2020 — dan itu sudah berat setengah mati. Kami berdua sama-sama menghargai waktu bersama, meski akhirnya ia memilih berkhianat.
Kami jadi ekslusif. Kemana-mana berdua, kemana-mana harus berkabar (minimal chat, seringnya video call — bahkan di saat kami sama-sama kerja, kami video call cuma buat saling nemenin aja. Kerja, literally, ngga bicara apapun juga), dan kupikir itu bukti bagaimana kami ingin menikmati waktu bersama.
Bersamanya aku mengasingkan diri dari dunia. Dari teman-temanku, dari hal-hal duniawi yang untuk umurku masih sangat wajar bila aku nikmati — hangout, main game, shopping, banyak lagi. Aku beralih profesi dari burung bebas yang pandai berkicau menghibur diri, menjadi makhluk anomali — semua yang kudapatkan harus kubayar dengan tidak cuma-cuma, menuruti keinginannya.
Aku bukan orang baik, memang. Mungkin aku tak mampu mencintai ia sebagaimana yang diharapkannya — pengorbanan saat ovulasi (kerelaan untuk dibuahi), kerelaan untuk melayani dengan segenap hati (mulai dari memberi kopi di pagi hari, membersihkan pakaian; piring; rumah), kerelaan untuk menerima keadaannya seada-adanya tanpa menuntut — karena baginya ia selalu berusaha sementara aku tidak, kerelaan untuk dituntut atas apa yang bisa atau tidak bisa kukontrol, kerelaan untuk menafkahi batinnya meski tak selamanya lahir dan batinku puas.
Rasanya semua sepakat bahwa hidup seumpama roda. Berputar. Ada saatnya kau di atas, ada saat sebaliknya. Saat di atas, barangkali aku lupa banyak hal. Bahwa kami melampaui batas yang begitu banyak, dan esensial.
Sejak awal aku tak pernah menentukan batasan di antara kami. Baginya, memang bila perlu tak ada, sebagai bukti tak ada rahasia — yang belakangan baru kusadari, itu adalah murni rasa ketidakpercayaan dirinya padaku. Kami saling tukar password handphone, pun login instagram satu sama lain di handphone masing-masing — yang kulupa satu hal: bahwa ia punya dua handphone dan lebih dari satu nomor handphone, juga akun instagram yang tentu ia gunakan untuk menyeleksi perempuan lain sementara aku dituntut untuk menjadi sempurna.
Kami selalu bersama, dan kupikir itu hal yang wajar bagi insan yang sedang dimabuk asmara.
Aku jatuh cinta, begitu pun ia. Kami sama-sama mematut diri di kaca dan melihat bayangan satu sama lain sempurna — setidaknya dulu sekali. Hidup kami sempurna, pada awalnya. Kami pikir semesta begitu merestui, meski kami sama-sama melawan restu ilahi. Kami berkorban untuk banyak hal, demi mencapai tujuan kami bersama.
Aku merasa begitu dicintai, meski mungkin apapun yang kulakukan akan selalu kurang. Dari awal aku memang kurang. Kurang banyak hal. Aku bukan sosok perempuan yang biasa dan mau mengerjakan pekerjaan domestik. Waktu kos, kamar selalu berantakan dan bersih hanya kalau ada teman atau pacar yang berkunjung.
Tapi aku bisa dan mau masak (yang menurutku cukup enak untuk menu tertentu), dan aku ndak masalah untuk cuci baju (kecuali setrika).
Kupikir ia terima. Setelah aku nyatakan kekuranganku, ia bilang, urusan domestik bukan hanya tugas perempuan, tapi dia pun bisa. Ia pun biasa melakukannya. Kupikir itu bentuk agreement, persetujuan bahwa meski aku harus belajar bersih-bersih, ia akan terima jika ia pun melakukannya.
Pada perjalanannya, aku tak bisa melakukan itu. Ia selalu bersih-bersih lebih dulu, sementara aku menunda. Kupikir, ia ikhlas saja melakukannya. Nyatanya, seperti yang ia bilang, “Aku bisa sabar, aku bisa terima, tapi tak bisa selamanya.” Setelah kami menikah dan perselingkuhan terjadi. Bukankah menikah untuk selamanya? Maka penerimaanmu pada pasangan juga harus selamanya?
Kami pernah membahas soal anak, dan aku mengindahkan keinginannya untuk segera memiliki anak. Kubilang, “Aku ingin punya anak lima.” Memang, aku suka anak-anak, dan aku selalu tertarik dengan perempuan hamil dan selalu bertanya-tanya bagaimana rasanya. Merasakan sesuatu tumbuh dan bergerak di dalam tubuh kita tentu rasanya mengagumkan bukan?
Dan sampai saat ini, belum ada satu pun anak yang lahir dari hubungan kami. Kami tentu berusaha, dan kupikir ia paham betul ketakutanku seputar banyak kemungkinan, yang selalu ia bilang baik-baik saja selama kita berusaha dengan bersetubuh sebanyak-banyaknya.
Namun tentu, bagiku tidak.
Aku selalu overthink, dan semakin hari, semakin usia kami bertambah, semakin banyak rambut putih di kepalanya, tuntutan itu semakin kencang. Awalnya kami sama-sama, namun lama-lama aku lelah juga. Dan lelah sekaligus cemas ini diartikannya sebagai aku yang tak ingin dan tak serius.
Respons orang berbeda-beda. Aku sadar aku menjadi dingin dan malas melayani. Terlalu takut gagal. Lantas ia bilang padaku untuk berkorban, di saat ovulasi — yang ini tentu paling berat. Kenapa aku harus berkorban? Kenapa berkorban?
Ia selalu update jadwal menstruasiku untuk melihat hari ovulasi di aplikasi. Dan saat-saat mendekati hari ovulasi itu, rasanya semakin berat. Takut gagal lagi, takut gagal lagi, takut gagal lagi. Ia selalu bilang, “Baby, please sacrifice yourself, ini ovulasi, malam ini kita harus buat cinta. Tiga kali, di minggu ini.”
Aku bisa melakukannya tiga kali satu hari, tapi bukan untuk ini, bukan dengan tuntutan ini. Bukankah bercinta butuh kenyamanan? Bukankah fungsi bercinta lainnya adalah untuk rekreasi? Aku tak dapatkan itu, kecuali rasa kecewa dan takut gagal.
Tiap telat menstruasi (tentu dia selalu tahu), ia akan suruh aku pakai testpack. Dua hari telat, garis masih satu. Empat hari telat, ia suruh cek lagi, dan garis masih satu. Seminggu telat, aku menstruasi. Setiap menstruasi.
Ia pernah bilang, “We need to check gradually, something might happened. Mungkin kamu ngga tahu kamu hamil. If we check it, at least kita tahu dan jaga itu baik-baik.”
Bukankah kalau ada sesuatu dalam tubuhku aku pasti tahu?
Setiap mesntruasi, dia selalu kecewa. Terlihat di raut wajahnya dengan jelas. Ia akan masuk ke ruang kerjanya dan duduk di mejanya kemudian diam. Lalu apakah hanya dia satu-satunya yang berduka?
Dulu, kami semangat. Beli susu persiapan hamil, minum vitamin, pergi ke dokter, bahkan… sampai hal-hal spiritual kami coba. Perlahan, kalau lelah, dan apakah itu tanda menyerah? Bukankah harus saling menguatkan? Bukankan keajaiban datang di saat yang tepat?
Kata-katanya yang bilang, “Kamu ngga serius”, “Kamu ngga mau”, “Kamu ngga siap”, lama-lama bikin aku mempertanyakan diriku sendiri. Mempertanyakan apakah aku mampu, apakah tubuhku mampu. Setiap bulan, selama ovulasi menjadi masa paling menakutkan, sebaliknya, aku ingin menstruasi lebih lama.
Ngga papa, sakit. Aku tak perlu berkorban saat menstruasi.
Segalanya menjadi sulit, bahkan untuk menyenangkan diriku sendiri. Perlahan, aku menghilang. Dan aku ingin teman-temanku menghilang. Setiap ada teman yang menikah, kemudian hamil, bikin aku makin bertanya-tanya dan tak berhenti menilai bahwa, “Jangan-jangan memang aku yang salah.”
…
Pemikiran itu semakin-makin, setelah bulan januari 2021, seorang wanita datang bilang bahwa ia mengandung anak suamiku. Aku tahu dari foto USG di galerinya. Kubaca namanya, dan itu adalah nama yang sama, yang Agustus 2020 lalu ketangkap selingkuh dengannya.
Dan aku percaya waktu lelaki ini bilang, “Ngga ngapa-ngapain, cuma jemput dia di kantor dan makan siang”. Aku percaya padanya, sementara jauh sebelum ini, di tahun 2019 sebelum kami tunangan, waktu aku dengan sengaja mengakui bahwa aku ngopi bareng lelaki yang kukenal di aplikasi, dan ia begitu marah berpikir aku mematutkan kelaminku pada laki-laki itu. Setelahnya, ia tak pernah lagi percaya.
Semua informasi dari informan yang berbunyi:
Suami mbak datang ke rumah tantenya Dini, bawa mobil, siang hari, jumat kemarin. Lalu saya lihat mereka berdua masuk ke rumah, padahal di situ ada tantenya Dini.
Dan aku percaya, di Agustus 2020 itu, kata-kata itu bohong. Aku percaya kalau mereka hanya pergi makan siang, lalu kembali ke kantor perempuan itu. Aku percaya bahwa itu pertemuan pertama mereka, padahal, kata informan:
Dini cerita sering main ke apartemen Mba, dan makan di kantin bareng suami mba. Sering keluar makan bareng, pas Mba lagi kerja.
Bukti ini didukung oleh banyak hal, namun aku tutup mata karena aku percaya padanya. Aku percaya waktu ia bingung tentang perasaanku. Aku percaya waktu ia bilang, ia takut aku yang pergi meninggalkannya.
Saat ia bilang itu semua, di situ aku percaya bahwa, oh, barangkali mungkin memang semua salahku. Barangkali aku yang tak mampu menunjukkan rasa cintaku, maka itu semua buat ia kebingungan. Oh, barangkali ia begitu mencintaiku, maka ia takut kehilanganku.
Saat mereka tertangkap basah, dan masih sempat ia melindungi perempuan itu. Ia tak membawa perempuan itu datang untuk klarifikasi. Aku dan ibuku datang. Namun ia tak membawa serta perempuan itu.
Aku sibuk mawas diri dan lihat diriku ke belakang. Benar, aku memang mengecewakan. Dan di saat itu, saat aku marah dan menangis di mobil, ia menatapku dan bilang, “Sekarang aku tahu kamu benar-benar mencintaiku”. Detik ini aku paham, orang macam ini ternyata dirinya, dengan mental pengecut, yang menghancurkan hati wanitanya demi melihat bukti rasa cinta. Lalu cinta seperti apa yang ia harapkan dari menyakiti?
Januari 2021, aku lihat foto USG dengan nama yang sama, perempuan di Agustus 2020. Aku marah, kupikir ia mengolok-olok kami karena aku belum hamil, lalu dia sudah hamil duluan. Aku ngga berpikir bahwa kemungkinan anak itu adalah anak dari lelaki yang baru saja aku setubuhi.
Malam itu aku langsung bangunkan dia. Aku tahan segala amarah di tangan. Aku tanya meminta klarifikasi darinya. Tentu defense yang keluar. Dia tak mengakui apapun, dan bilang padaku untuk jangan khawatir. Dan aku tidak khawatir. Kupikir benar, wanita ini cuma mengolok-olok kami, seperti mantan pacar lelaki ini, yang sebelumnya bilang bahwa dia hamil dan kirim foto USG ke mantan pacarnya yang sudah jadi suami orang — suamiku, dan dengan entengnya tanya, “Istrimu sudah hamil?”
Lalu mereka cerita panjang lebar, dan mantannya ini (mantan tepat sebelum ia sama aku) bilang, “Suruh dong istrinya turunin berat badan.”
Bagaimana jika kamu, pembaca, jadi aku?
Aku marah. Lelaki ini jauh melewati batas. Kusuruh ia langsung block perempuan bunting itu, dan ia langsung block. Aku lega, tapi jujur, kesalnya sampai sekarang.
Kupikir, si Dini juga datang untuk mengolok-olokku.
Paginya, lelaki ini datang ajak aku berbicara, dan ia bilang, “Anak di foto yang kamu lihat semalam itu anakku. Last year, august, I met her once, and we make love”.
What you expect, for me to do, after you read this, readers?
Aku meledak. Aku marah dan kecewa, dan aku tak berdaya. Detik selanjutnya ia bilang, “If you can’t accept, let’s file for divorce. Dia anakku, aku harus bertanggung jawab padanya.” Lalu bagaimana denganku?
Aku merasa jadi pilihan, padahal jelas, sejak awal aku sudah dipilihnya. Kenapa harus aku yang dikorbankan? Aku marah sejadinya, kubilang, “Please, kill me. It’s hurt. How could you do that?” Berkali-kali kubilang, marah, dan dia lebih marah, lalu bilang, “You pushed me into this! I don’t have intention to do that and you pushed me to do a wrong thing. Aku ngga pernah kayak gini, dan kamu paksa aku melakukannya.”
“Why? Kamu lebih pilih dia?” Ini yang kutanya berkali-kali, dan ini yang ia jawab berkali-kali:
“Aku ngga mungkin ngga bertanggung jawab sama anakku. Kalau kamu ngga terima, cerai aja.” Lalu bagaimana aku?
“I’ve told you before marriage that I want you to change.” Berubah menjadi istri menurut definisi dia yang bisa mengurusi urusan rumah tangga (sementara kupikir sudah ada perjanjian yang bilang bahwa ia bisa terima aku seperti ini).
Kupikir memang semuanya salahku. Seharusnya aku melayaninya dengan baik. Seharusnya aku bisa menjadi istri dengan definisi: di rumah saja urusi pekerjaan rumah, memenuhi kebutuhan kelamin suami apapun yang terjadi, dapat memberinya anak….
Ada yang hilang dan aku tak tahu itu apa.
Ruhku seperti ditarik paksa separuhnya untuk hidup, separuhnya lagi untuk menerima bahwa aku masih hidup.
Aku tak punya siapa-siapa, kecuali satu kawanku yang sempat kujauhi karena lelaki ini tak suka aku kontak terlalu banyak dengannya. Lelaki ini pikir aku terlalu mengumbar permasalahan kami, dan dia tidak suka aku cerita apapun lagi. Aku sempat menjauhinya, menuruti kata lelaki yang paling kupercaya di dunia ini.
Aku pun tak kuasa, tak ada keberanian untuk cerita ke orang tuaku. Kondisinya tidak memungkinkan, karena waktu itu ayahku baru saja selesai operasi glukoma, dan masih dalam proses penyembuhan. Kupikir tak mungkin aku membebani mereka berdua saat itu.
Aku tak punya pemasukan apapun. Agustus 2020, sebelum kutahu ada perempuan lain dalam hidup kami, aku baru resign, dan hingga januari 2021 itu aku belum dapat kerja lagi. Aku bergantung padanya seluruhnya.
Aku marah, marah besar, tapi ia tak memberiku ruang. Ia malah jauh lebih marah dan menyalahkanku atas semua ini. Ia minta maaf, namun ego tingginya menolak untuk itu. Ia bersikeras harus bertanggung jawab atas anak itu, dan aku dipaksa menerima bahwa ini semua karna aku yang tak becus menjadi istrinya.
Aku kehilangan akal, aku kehilangan kesadaran akan sekelilingku, aku tak bisa tidur dan makan. Lagi, ada yang hilang, entah apa.
And it couldn’t make me to stop feeling worry
That I knew it’s all because of me
Aku linglung, merenung, rasa bersalah terus muncul, andai-andai pun bermunculan. Aku menyesal menjadi aku yang membuatnya selingkuh dan tidur dengan perempuan lain.