Burung yang Bingung
--
Week 3: Animal.
Aku sempat bingung mendefinisikan hewan yang seperti diriku. Tadinya kupikir babi — karena aku pemalas, lambat, bisa hidup di tempat yang kotor dan urakan, juga suka tidur, tapi aku ngga suka makan tai sendiri. Jadi kupikir, hewan lain saja.
Aku sempat pikir, mungkin singa, karena zodiakku “leo”, tapi sepertinya, aku tak sebuas singa juga. Kalaupun singa, mungkin aku singa yang masih piyik, atau singa pecundang.
Atau mungkin kucing, ya? Pemalas, suka makan, nyeleneh?
Tapi kucing itu hewan favoritku. Sejak lama. Bahkan aku menyebut diriku “Mommy”, ke anak-anak buluku yang lucu.
Pokoknya kucing itu obat dari segala obat, kecuali ketika mereka lagi birahi — yang kebetulan terjadi dua hari ini pada anakku Miya yang baru puber di umur 10 bulan. Bukan main!
Lalu, aku tanya pada orang terdekatku yang masih konsisten sampai sekarang.
Dia bilang, “Burung aja, deh. Biar bisa terbang kemanapun kamu mau. Tanpa harus takut diterkam hewan buas di daratan”.
Aku menjawab, “Itu harapan. Aku tanya yang menggambarkanku.”
“Burung aja.”
“Kenapa?” Aku tanya lagi, “Dan burung apa tepatnya?”
“Burung Kutilang,” Katanya. “Biar kemana kemana atau diam pun masih selalu bernyanyi.”
Meski masih bau-bau harapan, tapi aku iyakan saja. Dan aku berpikir lagi — tentunya.
Dalam definisiku, burung adalah hewan yang bebas pergi kemanapun ia mau. Ia bisa terbang tinggi, jauh kemanapun ia mau. Ia bisa melawan angin, menyebrangi samudra, benua. Burung adalah hewan yang penuh kebebasan.
Tapi ada juga burung yang horror. Si burung hantu yang identik dengan hal mistis dan sihir, karena dia bisa lihat makhluk halus, katanya. Belum lagi film horror jaman dulu, sebelum nunjukkin hantunya, pasti ada aja shot butung hantunya yang lagi mendengkur dengan mata yang terbuka lebar. Udah gitu dia bertengger di atas pohon di kuburan.
Ada juga jenis burung yang ngga bisa terbang. Penguin — yang kalau jalan lucu. Kanan-kiri-kanan-kiri, kayak bayi baru belajar jalan — misalnya. Tapi meski ndak bisa terbang, mereka bisa menyelam dan berenang. Penguin punya kelebihan lainnya dibanding jenis burung lain.
Lalu, kalau aku burung, maka jenis apakah aku?
Dulu kupikir, aku lebih mengenal diriku sendiri. Begitu sedikit kekhawatiran dan kecemasan dalam diriku. Buktinya? Aku santai kalau mau ujian, aku berani menyampaikan pendapatku di forum — dan rasanya tidak menakutkan sama sekali, pakai baju apapun — walaupun nyentrik atau apa lah sebutannya — aku ngga pernah takut komentar orang juga.
Aku menyukai dunia menulis dan broadcast, dan aku mendalaminya. Mau bukti? Aku bisa kasih lihat kalau aku menulis sejak lama. Kau bisa kunjungi websiteku yang ada jauh sebelum medium ini, link.
Aku suka buku, terutama novel dewasa yang sarat makna. Seperti novelnya Nh. Dini, Ika Natasha, Bernard Batubara, juga Eka Kurniawan. Selebihnya, menyoal buku, aku suka buku textbook juga, yang isinya peran orang dewasa, menyoal seksualitas dan gender. Aku juga suka sejarah, tapi sekedar aja. Semuanya sekedar, sampai kau merasa mampu mencerna semuanya, iya nggak sih?
Maksudku, kau bisa suka, tapi belum tentu kau paham dan menguasai semuanya, bukan?
Bahkan dari dulu aku sudah bebas bermimpi, yaitu jadi penulis, dan penyiar radio. Tentu, bukan tak pernah dicoba. Menulis aku masih. Untuk jadi penyiar radio, aku pernah ikut beberapa audisi — dan sempat diterima, tapi aku memilih bidang lain yang lebih realistis untuk hidup, pada masa itu.
Aku paling suka masa saat aku kuliah. Hidup terbaik. Aku bisa eksplor banyak hal, kenal banyak orang dari latar belakang yang berbeda, belajar jadi pemimpin.. pokoknya banyak alternatif mengisi kekosongan yang pernah kucoba.
Maka, betul. Ya. Aku melihat diriku saat itu sebagai perempuan yang ekspresif dan bebas. Bebas memilih apapun yang aku mau, dan suka. Dan paling penting, tidak ada kekhawatiran untuk hidup, meski banyak juga aku mengeluh.
Kalau iya aku burung, aku lebih meyakininya jika pertanyaan ini kuajukan pada diriku 8 tahun yang lalu. Iya, aku burung. Aku bebas. Aku berdaya untuk diriku sendiri. Aku tak terkekang apapun. Aku bebas menjadi diriku yang suka bermimpi, dan bebas membawa diriku kemana pun aku mau.
Tapi hidup itu berputar. Kupikir dalam dua tahun terakhir adalah masa yang berat, yang bikin aku terkurung — mungkin hingga saat ini. Aku terkurung dalam sangkar yang aku belum temukan cara bukanya.
Apa aku butuh bantuan orang lain, untuk bukakan pintunya?
Ini tidak adil karena aku masih bisa lihat dunia luar. Aku lihat burung-burung lainnya yang terbang bergerombol, berkicau ria… Kulihat pula matahari yang menyembul membuat hangat sekitar. Kurasakan pula angin yang menyentuh tubuhku pelan-pelan.
Aku bingung.
Aku lupa. Aku enggan. Aku enggan mencari jalan keluar, meski barangkali aku tahu, mungkin pintu di depanku adalah jalanku untuk bisa terbang lagi.
Week 3 ini cukup bingung. Tapi cukup. Kupikir benar aku sedang (masih) bingung dan terombang-ambing pada banyak pilihan dan pertimbangan.
Hidup itu begitu, aku coba meyakininya.
Terima kasih Aya Canina dan Ayyara Fay Japakyati yang sudah ada. Barangkali lewat Aya dan Faye, aku bisa buka pintu sangkarku dan pelan-pelan terbang lagi.