Childfree, lah emang ngapa?
--
Bicara topik ini, sama sensitifnya kalau ditanya, “agamamu apa?” atau “kapan nikah?”. Sama-sama personal. Ya terserah yang punya otoritas lah, kan itu pilihan dia sendiri.
Topik ini rame sejak dibahas oleh salah satu influencer, yang padahal… kalau dirunut ke belakang, hal ini bukan hal yang baru juga sih.
Tapi karena ini Indonesia yang menganut budaya ketimuran yang mana anak itu adalah ladang pahala dan rezeki, juga penerus garis keturunan, maka memilih untuk tidak memiliki anak, dan diutarakan di muka publik pula, malah memancing banyak pihak untuk berkomentar.
Kenapa di sekeliling kita — ok, let’s say di Indonesia, pembicaraan macam ini masih sering terdengar “taboo” dan penuh kontroversi yang kayaknya ngga ada habisnya?
Selain paham anak adalah ladang pahala dan rezeki tadi…
In my opinion, Indonesia itu banyak orang kepo yang merasa engage — you named it, secara sosial dengan orang-orang di sekitarnya alih-alih peduli. Karena merasa ada “ikatan” ini lah, sebagian orang jadi merasa “penasehat ulung” nan unggul dan berhak memberikan saran yang “menurutnya” terbaik akan permasalahan atau keputusan orang lain.
Semisal, beberapa waktu lalu gue dan suami yang belum punya keturunan tanpa meminta atau curhat atau cetita apapun terkait ini, tiba-tiba dapat input dari kerabat, “Mba kalau mau cepet hamil coba beli obat A (lupa namanya, tapi ini dari jenis rempah-rempah).” Gue “iya” kan.
Beberapa waktu kemudian ketemu lagi, “Mba, sampeyan beli kunyit muda, ditanem semingguan sampai tukul (tumbuh) daunnya, ambil lagi, kasih air anget lalu diminum.” Gue iya-in lagi.
Waktu itu pun ibu gue terang-terangan bilang tiap berdoa semoga gue cepet hamil, dan ya gue amini. Beberapa bulan sebelumnya, baru nikah beberapa bulan, gue udah dikasih minum air doa dari ulama setempat— yang katanya bikin cepat hamil juga. Ini testimoni kerabat lain, yang “katanya” kerabatnya nikah beberapa bulan, terus datang minta didoakan ulama ini, dan dia langsung hamil.
Jauh sebelum hari ini pun, kerabat lainnya pernah mengomentari gue yang suka pelihara kucing, “jangan mainan kucing nanti susah hamil, loh!” Bukan cuma bilang depan mata gue, dia juga bilang ke mama gue secara personal– katanya sih menasehati – “Itu perawane jangan mainan kucing, nanti susah hamil.” Dan mungkin mereka berdiskusi singkat soal ini di belakang gue.
Gila! Gue dari SMP, yang ngga sama sekali kepikiran buat hamil – atau buru-buru hamil saat itu cuma bisa manyun. Bahkan mungkin saat itu gue belum ngerti apa itu hamil, gimana cara biar bisa hamil — selain tutorial dari mama yang bilang, “Iya besok mama bikin kue dibentukin bayi dulu, biar langsung ada dede bayi dalem perut”, waktu gue merengek minta adik bayi lagi.
Ok, sampai di sini, gue lanjutkan menyoal perbincangan hangat mengenai childfree.
Dari kasus gue sendiri di atas, gue bisa bilang kalau Rakyat Indonesia itu peduli sebetulnya, demi apapun.
Kalau ada musibah pasti dibantu saling gotong-royong — ini gue rasakan banget waktu kakek gue meninggal tahun lalu, bukan keluarga inti yang sibuk, justru saudara dan tetangga. Waktu gue menikah pun sama. Rasa-rasanya orang Indonesia — or at least di kampung gue tidak pernah hitung-hitungan kalau urusan gotong royong. Ibaratnya, dikasih kopi dan gorengan aja udah senang dan siap mengerahkan seluruh tenaga.
Tapi beberapa masih lupa atau belum bisa bedain mana yang “personal” mana yang bukan. Mana yang kelihatannya butuh nasehat atau bantuan, mana yang ngga perlu. Mana yang elu kenal bener-bener, atau yang cuma sekedar tahu doang.
Dan sangking kepo dibalut adanya rasa keterikatan dan otoritas untuk berkomentar, maka hal personal pun luput untuk dibicarakan di publik.
Harusnya ada peraturan secara konsensual yang isinya, “anda bersedia atau tidak ditanya soal kapan nikah, kapan punya anak, agama, dll” biar kalau kita memilih untuk ngga setuju dan ada yang tanya bisa langsung diperkara.
Tapi lagi-lagi, apa bakal mempan?
Menyoal childfree ini, menurut gue ya itu adalah keputusan pribadi yang bersangkutan yang dipilih secara sadar — dan tolong diberi highlight — dan sudah dipertimbangkan secara matang oleh si pembuat keputusan. Percaya aja udah, kalau si pembuat keputusan sudah mempertimbangkan semuanya.
Pasangan yang sedang program punya anak pun sama: memiliki berbagai pertimbangan untuk akhirnya memutuskan punya anak dan akhirnya program. Atau kamu yang sudah punya anak, ngga benar-benar memikirkan itu sebelumnya? Atau… kamu cuma orang yang beruntung baru nikah langsung dikasih keturunan?
Semua manusia punya belief — kepercayaan yang dia bawa entah dari keluarga, lingkungan, apapun— masing-masing, yang sangat mungkin berbeda antara dia dengan yang lain. Unik memang manusia. Dan keunikan ini ngga bisa diganggu gugat, kalau menggugat silahkan ke Yang menciptakan.
Menurut gue, selama keputusan orang tersebut tidak menggiring opini atau menghasut, dan terutama ini nih: mengganggu kemaslahatan umat dan tatanan sosial, apalagi. Ya, ngga jadi masalah.
Setiap keputusan, mau punya anak dan langsung hajar biar langsung jadi, mau tahan dulu sampai siap, atau mau ngga punya pun, balik lagi ke orang yang bersangkutan. Semua punya konsekuensinya.
Ngga semua orang bisa atau mampu punya anak, ada yang gampang banget sekali coba langsung jadi. Yang dapet cepet juga ngga menjamin mereka lebih siap, yang lama usahanya juga bukan berarti dia yang ngga mau atau ngga mampu.
Jadi, udah deh, daripada pusing dan pengen tahu dan mengulik-ulik keputusan orang lain menyoal urusan domestiknya, mendingan fokus ke diri kita sendiri. Keputusan orang lain mah ngga usah dipusingin, biar jadi urusan dia.
Sama seperti halnya kebahagiaan yang terpancar dari pasangan-pasangan yang menjadi orang tua — yang tentunya buatmu bahagia juga, bahkan ngga jarang kau kasih selebrasi, mari ikut berbahagia pula bagi mereka yang belum, atau memutuskan untuk tidak memiliki keturunan.
Sebaliknya pun, jika itu keputusanmu untuk tidak memiliki keturunan, dengan berbagai alasan yang mungkin bagi sebagian orang sulit untuk diterima, ya biarin aja dia dengan pendapat atau pilihannya untuk punya keturunan, dan untuk beropini apapun tentang keputusanmu.
Keputusan yang kau pilih adalah yang terbaik untuk dirimu. Saling mendoakan aja udah paling bener dah.
Oke, gue rasa udah soal opini gue. Well, tiap orang punya opini masing-masing soal ini. Gue menghargai jika ada yang mau berdiskusi atau menyampaikan pendapat. Let’s catch up!