Current Favorite Book

Agnicia Rana
5 min readMay 21, 2021

--

Day 13 of 30 Days Writing challenges: Favorite Book

Source: Pinterest.

Kalau ditanya hobiku apa, dulu aku selalu menjawab dua hal: membaca dan menulis. Ya karena memang kedua itu yang seringnya aku lakukan di sela-sela hari tak sibuk — dan sibuk.

Aku selalu punya tempat khusus untuk kusimpan buku-buku novel koleksi, buku-buku diary, juga binder dan isinya — yang selalu kuhitung takut-takut hilang walau cuma satu lembar. Ya, begitulah.

Sejak dulu, aku dan adikku memang dibiasakan untuk pergi ke toko buku. Aku selalu ke bagian buku pelajaran dan buku cerita, beda dengan adikku yang lagi-lagi ke bagian mobil-mobilan atau pesawat dan robot-robotan. Nampaknya tiap ke toko buku, aku selalu ambil satu buku cerita rakyat anak-anak, atau ensiklopedia bergambar — peta dunia aku paling suka.

Beranjak remaja, aku mulai tahu novel dan yang namanya “nangkring” di perustakaan. Buku yang kubaca saat SMP bahkan boleh dibilang novel yang cukup “berat”. Bukunya Asma Nadia — judulnya aku lupa, tapi kalau ngga salah novel itu sekarang ini diadaptasi jadi film layar lebar, bukunya Agnes Jessica, dan beberapa buku teenlit yang lupa dari penulis mana saja.

Oh, bahkan saat masih SD pun, aku membacaa novel horror jadul yang lagi-lagi cukup berat dan dewasa, isinya tentang perempuan yang hamil anak setan. Aku lupa judulnya apa.

SMA dan kuliah, tentu bacaan yang kubaca berubah. Aku makin kenal banyak penulis dan bukunya. Nh. Dini, Christian Simamora, Orizuka, Ika Natassa, Dee Lestari, Eka Kurniawan, Bernard Batubara, Agatha Christie, dan banyak lagi dengan genre yang ngga jauh-jauh dari percintaan dan nestapa.

Selama itu juga buku di spot kesayangan bertambah. Walau seringkali hanya dibaca sekali, nampaknya membeli sendiri bukunya lebih afdhol dibanding pinjam dari teman atau perpustakaan.

Membaca dan menulis pada jiwa yang cukup melankolis ini beriringan pula. Jaman sekolah dasar dulu, saat aku temukan novel perempuan yang hamil anak setan itu di rak televisi rumah, saat itu pula aku temukan yang namanya seni “menulis”. Kerabat dekat papa yang aku panggil paman pernah tinggal bersama kami dulu, untuk beberapa bulan. Dari situ aku lihat ia menulis cerita di lembaran HVS dan disertai ilustrasinya pula.

Aku lupa isinya apa, tapi aku ingat ilustrasinya: ibu hamil. Seingatku isinya bukan yang bahagia-bahagia amat, karena postur ibu hamil itu digambar dari samping sambil menunduk.

Dari situ pula aku temukan “kliping” milik kakak sepupuku yang umurnya lumayan jauh dariku, yang isinya puisi. Ia menulisnya dengan tangan, dan diberi tanda tangannya. Beberapa lembar ada pula bertanda tangan lain, atau hanya sekedar nama dari penulisnya.

Aku mulai tertarik. Kebetulan pula, pelajaran bahasa indonesia di sekolah saat itu menyoal pantun dan puisi. Kebanyakan dulu puisi yang kubuat dan pelajari selalu berirama atau berakhiran suku kata yang sama, tak ubahnya pula pantun.

Ah, sayang aku tak punya dokumentasi apapun soal tulisanku waktu SD, kecuali buku diary yang kukenal dan mulai aku rutinkan setelah rutin menonton “Buku Harian Nayla”, yang endingnya bikin aku mewek.

Dari situ aku juga belajar buat dialog dalam tulisanku, disertai narasi. Saat ada teman yang minta aku isi biodata di bindernya, aku selalu menjawab hobiku adalah menulis. Kemudian membaca.

Aku bahkan pernah menulis dan membuat deskripsi tokoh-tokoh dalam tulisanku dengan gambar: tentu gambar yang anak-anak banget.

Tambah tua, kemudian aku tahu di facebook ada wadah menulis, yaitu note, dan disitu aku mulai mempublikasikan tulisanku. Ada cerita pendek, pengalaman pribadi (ya, macam diary), ada juga cerita bersambung yang tak pernah tamat — aku tak pernah menyelesaikannya.

Semakin banyak buku yang aku baca, semakin banyak pula narasi dan dialog yang memenuhi isi kepalaku. Sebagian besar hanya draft yang tak pernah aku publikasikan. Bukan karena tak percaya diri, tapi karena malas aku selesaikan. Ha-ha.

Dalam dua atau tiga tahun terahir, produktivitasku kian menurun. Buku yang kubeli — pun yang kubaca, sangat sedikit. Aku kehilangan waktu dan minat dalam keduanya. Entah, rasanya tak ingin. Sekarang ini aku lebih sering habiskan waktuku untuk main game — ya, lagi-lagi game.

Ada satu buku yang benar-benar aku baca, dan aku sukai lebih dari apapun, hanya satu di tahun ini. Buku ini sudah lama jadi incaranku, namun selalu kutunda karena aku ingin punya yang versi aslinya, bukan terjemahan.

Buku ini bukan novel. Lebih seperti buku belajar, isinya teori-teori dan hasil penelitian. Judulnya: Why Men Want Sex and Women Need Love, karya Allan & Barbara Pease.

Dari sekolah dasar bahkan, aku sudah punya catatan akan banyak hal yang bikin resah. Dari situ nampaknya aku belajar yang namanya overthinking.

Seingatku aku bukan anak yang selalu tanya papa mama semuanya. Aku diam aja sambil berpikir dan menyambung-nyambungkan logikaku sendiri. Dan salah satu keresahan itu adalah menyoal “seksualitas”.

“Kenapa ade bisa lahir? Keluar dari mana?”

“Ma, pengen ade bayi lagi.”

Dan selalu dijawab, nanti besok mama bikin kue dulu. You got it right? Tidak pernah benar-benar terjawab sampai aku akhirnya tahu sendiri.

“Kenapa orang bisa pacaran? Suka satu sama lain? Kok dia bisa sama dia?”

“Kenapa orang menikah? Apa enaknya nikah?”

“Kenapa dia masih bertahan sama si A padahal udah disakitin terus-terusan?”

Menyoal ketertarikan, seksualitas, cinta, hasrat, semuanya, selalu ada di kepala. Dan belum pernah benar-benar terjawab. Sampai akhirnya aku banyak berburu bacaan. Beberapa hasil bacaanku aku tuangkan di blog lamaku, kau bisa cek profilku untuk lihat tautannya.

Beberapa masih di kepala, dan draft di kotak penulisan.

Singkatnya, buku Allan & Barbara Pease ini bisa dengan gamblang menjawab pertanyaanku dalam beberapa bulan terakhir. Dan yang paling kusuka, tulisan ini teruji berdasarkan hasil dari penelitian-penelitian.

Buku ini pun datang di waktu yang tepat, ia membantuku beberapa bulan yang lalu untuk deal dengan permasalahan yang sedang aku alami. Lucu ya, permasalahan yang kita hadapi kita jawab dengan teori. And its all makes sense.

Well, belum semua bab aku selesaikan. Tapi setiap lembar yang kubuka dan kubaca, cukup buatku puas dan mengangguk kagum.

“Oh, ternyata begini.” Begitulah rasanya, saat pertanyaan-pertanyaan dalam kepalamu bisa terjawab satu per satu.

Terlalu banyak topik yang bisa dibahas dari buku itu. Dan kau akan kaget ketika itu benar-benar kau rasakan, kau lakukan, kau dalami peranmu di sana sebagai makhluk.

Aku, dengan Aya Canina punya satu project cuap-cuap yang kami khususkan untuk membahas topik yang kerapkali bikin overthinking, dan sumber besarnya adalah buku ini. Terusin ngga nih?

Ha-ha.

Ya. Cuma satu buku itu yang benar-benar aku baca dan hayati, di lima bulan pertama tahun 2021 ini. Selebihnya, meski ada beberapa buku yang kubeli, hampir semuanya belum kubuka segelnya — belum kubaca.

Dan dengan ditulisanya tulisan ini, meresmikan pula bahwa kami, aku dan Aya Canina akan melanjutkan kembali project menulis kami satu ini lagi. Jangan berharap banyak, kami masih lebih banyak malasnya. Hu-hu.

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali