Dear Aya,

Agnicia Rana
5 min readOct 6, 2020

--

Day 10 0f 30 days writing challenge: Your Best Friend, Aya Canina.

Source: Pinterest.

Rupanya perangai itu nyata adanya, sampai kau apit dirimu di pojokan dan belukar tumbuh di kepalamu.

Hidup akan tak selalu lurus, kecuali kau hidup di tusuk sate. Itu pun kau bisa pilih untuk keluar dari situ tanpa ragu. Hidup itu fase yang di dalamnya ada waktu. Dan waktu itu relatif. Mungkin bagiku dua jam di rumah itu lama, karena aku bosan ndak bisa ngapa-ngapain. Beda lagi buatmu yang menanti jam pulang kerja kekasihmu, 10 menit saja bagimu terasa seperti 2 tahun.

Maka baca baik-baik ini, Nona. Tiap orang punya fase dengan putaran waktunya sendiri. Mungkin saat ini kau sedang gusar akibat domba jantanmu yang sibuk menggembala rumput di Neptunus nan jauh di sana, barangkali yang lain sudah menikmati dombanya lekat-lekat — dekat-dekat.

Mungkin kau masih sibuk memainkan gawai yang hampir 24 jam di tanganmu — yang aku tahu lebih banyak untuk membuat konten — dan kau sibuk melihat perangai orang lain yang sepertinya bahagia di jajaran foto-foto di layarmu yang sedang kau geser itu.

Ada yang sudah bertunangan, menikah, punya anak, ada yang bertubuh langsing amboi aduhai, berwajah mulus bak pantat bayi… mungkin ada yang sudah mati kerontang tapi kau tak peduli amat. Dan kau masih bersama gawaimu, buku, juga kertas dan pulpen tempat kau memuntahkan isi hatimu di sana.

Mungkin kau masih sibuk membahas tema-tema menarik di instagrammu yang nilai interaksinya cukup tinggi. Dan percayalah, ada pula yang baru memulai.

Kita semua nol besar di mata Kronos dan Rhea — Bapak dan Ibu para Dewa — bahkan Zeus sekalipun. Maka tak bagus jika kau lihat orang lain sebagai +1 atau versi lebih baik darimu.

Tentu hal ini kukatakan baik-baik pada diriku juga. Karena aku pun tak dapat berhenti membandingkan diriku dengan selebgram yang kaya-raya — perbandingan yang tidak sebanding.

Kita semua sama: terjebak dalam lingkaran waktu yang tak pernah mampu memberi kita jawaban, apalagi kepastian. Dan wajar, sangat wajar, dalam upaya bertahan hidup, kita memiliki banyak wajah.

Normalnya manusia punya tiga wajah, katanya: yang kau tunjukkan pada dunia, yang setengah mati kau sembunyikan, dan yang tak sama sekali kau pun dunia ketahui.

— Si Pendendam, Agnicia Rana, 2017.

Wajah ini barangkali adalah kau, saat kau bisa berlenggak-lenggok di area pentas yang gemerlap itu, memberi kabar ke dunia bahwa kau selalu baik-baik saja, tapi siang itu kau duduk mematung seorang diri dengan wajah menunduk di ujung lorong. Aku tak lihat wajahmu, namun hanya dengan melihat tubuhmu dari kejauhan, aku tahu bahwa mendung sedang menyelimutimu.

Maka aku — yang baru habis tertawa dan cerah mengikutiku, terdiam beberapa detik. Aku bisa memilih untuk berjalan mundur detik itu juga karena ego. Tapi aku memilih maju menuju manusia satu-satunya di ujung lorong itu dan menyapanya — menyapamu.

Hari itu pun tak lagi panjang, kau kembali menjadi milikku. Kita nikmati angin siang sambil bersikap seolah tak ada apapun yang terjadi sebelum ini antara kau dan aku. Kita bermalam bersama, bercinta dengan pikiran dan tubuh masing-masing, sampai akhirnya kau buka suara. Aku pahami kau betul-betul.

Namun rupanya, setelah itu Tuhan beri kita waktu untuk berjalan sendiri-sendiri (lagi) dan melakukan apapun yang kita mau. Selama dua tahun. Dua tahun. Aku bercinta dengan imajinasi busukku sambil mencari cara untuk hidup di Jakarta yang rumit, dan kau bercinta dengan kata-kata dan hingar bingar di balik pentas. Kita berdua sama-sama menikmatinya — setidaknya menurut bagian kecil dari diri kita yang selalu bilang, “semua baik-baik saja”.

Tapi ada geram sekaligus rindu yang menjalar lewat gambar-gambar di setiap update storymu, di setiap suara puan yang bercerita di ruang rekaman saat aku sedang buka spotify secara random— yang sumpah tak sengaja aku dengar, tapi aku tahu itu kau, dan tentu langsung aku lewati di detik aku menyadarinya. Oh, sebelum kulewati, aku hide dulu— , di setiap kata-kata yang ingin kutulis dan lagi-lagi selalu ada kau di situ — maka aku memilih untuk tak menulis — , di pencapaianmu pada anak pertamamu, dan pada apapun yang tentang engkau.

Picik, memang aku.

Kurasa kau pun demikian, entah apa wujud yang kau munculkan saat ini terjadi. Tapi kau yang mengaku pernah diam-diam melirik instagramku cukup kasih makan egoku — dan aku diam-diam tersenyum dalam ekspresi biasa saja.

Hari yang indah itu, tak dapat kubayangkan jika tak ada kau di sana.

Kegamangan muncul saat mendekati hari paling bahagia seumur hidupku. Kau jadi orang terakhir yang tahu, dan dengan biasa sekali tapi degdegan aku memberi kabar padamu.

Sekarang aku paham mengapa aku yang pertama. Ternyata supaya kita yang sama-sama tak mau kalah pada ego ini kembali menyapa setelah dua tahun. Bayangkan kalau bukan aku yang pertama, mungkin kita berdua akan menciptakan alasan masing-masing untuk tak datang. Mungkin.

Sekarang semuanya menjadi seperti biasa, seperti dulu saat kita berdua lihat barang-barang lucu di mall — yang tentu lucu kau dan aku beda versi, atau sekedar foto yang tiba-tiba di studio foto masih di mall yang sama, atau menu hemat di KFC, atau paket A/B/C/D Hokben yang tak pernah ada di daftar menu, apa lagi?

Nona, dirimu yang sekarang ini tak berubah sedikit pun kecuali model kerudung dan sepatu ikan yang tak lagi kau pakai. Kau masih sama. Kita semua masih sama.

Caramu berbicara dan mendengarkan masih sama. Humor kita masih serupa. Tipe lelakimu masih sama, dan jelas yang sekarang aku lebih suka. Issue feminisme yang sering kita perdebatkan masih serupa api, dan bagaimana cara kita membahasnya masih sama.

Buku-buku yang kau baca masih seputar hal yang sama, dan beberapa bikin aku penasaran. Tapi karena gengsi, aku sukar bertanya alih-alih aku sudah tahu buku yang kau baca — padahal banyak yang baru kutahu, dan diam-diam aku cari sinopsisnya berharap bisa beli lain waktu.

Memori di kepala sering berputar mengingat ada lampau yang menempel di punggung. Tawa yang senada antara aku dan ibu segala umat di kelompok bermain kita, aku dan kau yang masih sama-sama overthinking — lagi-lagi masalah cinta dan gairah, dua orang yang sama-sama santai, kalem, lurus, dan…. ya, begitu— apa lagi sebutan tepat untuk mereka? Satu lagi si kecil cabe domba, yang diam-diam suka tidur duluan.

Cuma lo yang tahu gue seborok-boroknya gue, cuma gue yang tahu lo seborok-boroknya elo.

Rasanya ini tidak berlebihan, mengingat apa yang kita bagi adalah wajah yang sama sekali dunia tak tahu. Mungkin sebagian kita buka ke dunia lewat tulisan-tulisan yang kita cipta, namun tidak semuanya — atau paling tidak tak secara gamblang dan utuh.

Melalui project yang redup-terang ini kita kembali menyatukan diri kita lagi lewat kesukaan kita yang sama. Menulis. Dan bahkan dari sini pun sifat masing-masing kita terlihat. Kau yang selalu membuat rencana, aku yang santai saja. Kau yang membuat daftar pertanyaan podcast, aku yang oke-oke saja. Kau yang hampir selalu tepat waktu, aku yang selalu terlambat. Haha.

Terakhir, semoga project ini cepat selesai, kau dan aku sehat selalu.

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali