Filosofi Gelas Penuh

Agnicia Rana
5 min readSep 19, 2022

Rasa bahagia datang bukan dari seberapa tinggi sebuah pencapaian namun dari seberapa rasional sebuah harapan.

Kalimat di atas adalah salah satu ajaran Stoikisme, yang baru saja aku pahami, mengenai kebahagiaan.

Dalam ajaran Stoikisme, ada dua hal penting yang insightful banget.

Pertama, bagaimana Stoikisme membagi hidup ke dalam dua dimensi yaitu Dimensi Internal (di dalam diri kita, yang bisa kita kendalikan secara penuh) dan Dimensi Eksternal (di luar diri kita, yang tidak bisa kita kendalikan). Dimensi yang bisa kendalikan ngga terlepas dari pikiran kita sendiri, keputusan-keputusan yang bisa kita pilih, bagaimana kita merespon sesuatu/seseorang. Sementara Dimensi Eksternal ya.. yang di luar diri kita, yang ngga bisa kita kontrol, seperti bagaimana respon orang lain terhadap kita, gimana pendapat orang lain..

Kebanyakan dari kita mungkin mendefinisikan kebahagiaan dari faktor-faktor eksternal, ya gak sih? Baru kemarin… aku begitu.

Kupikir aku bahagia kalau ada seseorang yang bisa bareng kemana-mana nemenin aku biar ngga kesepian, kupikir aku bahagia kalau orang yang menyakitiku bisa berhenti kirim kata-kata buruk buat hidupku even hal sekecil mereka lihat story instagram aja sudah mengusik, kupikir… aku ngga akan bahagia kalau hidup sendirian.

Padahal engga, loh.

Sebelumnya aku pernah nulis, bahwa kebahagiaan=keputusan untuk menjadi bahagia. Yang artinya, bahagia itu ya sepenuhnya diri kita yang pegang kendali.

Dari sini aku belajar bahwa aku harus fokus ke hal-hal yang bisa bikin diriku bahagia, instead of hoping somebody coming to give me a bunch of happiness.

Karena ngga akan pernah bisa.

Kemarin aku konseling juga dapat insight serupa, psikologku bilang, “Bedakan fakta dan opini.”

Ditinggalkan oleh seseorang, adalah fakta. Aku ngga bisa dengan semberono beropini bilang bahwa dia pergi karena salahku, bahwa dia memilih yang lain (yang belum tentu juga) karena salahku, bahwa dia bahagia dengan pasangan barunya. Semua ini cuma opini, yang ada di pikiranku aja, yang sebetulnya bisa aku kendalikan untuk ngga jauh-jauh berpikir ke sini.

Kita ngga bisa loh memaksa seseorang untuk stay. Aku jadi belajar bahwa to letting him go is the way much better than hoping him to come back. Karena faktanya dia sudah memilih pergi. Itu pilihannya, yang ngga bisa aku kontrol. Lagian, deeply, secara psikis, mungkin mental aku belum siap untuk menerima kemungkinan kalau dia balik, bahkan mungkin ngga akan pernah siap.

Aku pernah dengar salah satu podcast, atau dari siapa ya, lupa tepatnya. Kalau dalam sebuah hubungan ada orang kedua di hati kita, brarti kita ngga mencintai orang yang pertama. Dan ini bikin aku tanya balik ke diriku, “memangnya aku mau hidup sama orang yang ngga mencintaiku?”

Betul, cinta bisa tumbuh, cinta bisa ditanam, tapi ngga pernah ada guarantee untuk hal-hal yang ngga bisa kita kontrol: masa depan, dan tentunya perubahan sikap juga pola pikir pasangan yang pernah menyakiti kita.

Ternyata lebih enak begini, memahami bahwa kita harus bisa menerima hal-hal yang di luar kendali kita. Dan ya udah, fokus aja ke diri sendiri untuk menciptakan bahagia.

Kedua, Stoikisme ngajarin kita untuk melakukan sesuatu secara rasional. Aku belajar untuk hidup jangan melulu untuk pemenuhan ekspektasi. Dulu aku diajarin, bahwa we need to put our dreams as high as we could. If we put target as big as we want to achieve, then we will get it.

Question is.. Mau sampai kapan?

Mau sampai kapan kita hidup cuma untuk capek-capek menuhin target? Mau sampai kapan kita hidup dengan ekspektasi bahwa seseorang akan suka sama kita juga, dan akan bahagia kalau hidup sama kita?

Mau sampai kapan, Mel? (Nanya ke diri sendiri).

Punya target boleh, berusaha boleh, tapi kalo bisa targetnya yhaa… yang seputar diri kita aja kayak: ekhm, turunin berat badan, target baca buku buat nambah edukasi.. daripada.. target punya pacar lagi, apalagi nikah hehe.

Dari menurunkan ekspektasi, aku belajar bahwa ngga semua terjadi harus karena keinginan kita, dan harusnya sih aku bisa nerimo apapun yang dateng ke aku dengan bahagia dan legowo. Berapapun, cukup. Masih ada hari esok, kita bisa belajar lagi.

Lagipula, rasa bahagia datang bukan dari seberapa tinggi sebuah pencapaian namun dari seberapa rasional sebuah harapan, kan?

***

Ekhm, sebuah intro yang sangat panjang, rupanya.

Aku sebetulnya ingin membahas hal yang lebih relate ke “relasi” yang mana, sepertinya ini menjadi issue terbesarku saat ini, dan mungkin bisa relate juga buat kamu yang baca.

Aku masih konseling, ngobrol bareng Psikolog. Kemarin itu aku down lagi, yang rupa-rupanya ini karena aku masih memusatkan kebahagiaanku di orang lain. Betul, aku masih berpikir kalau aku bahagia ketika aku dicintai oleh seseorang, kalau ada seseorang dalam hidupku (dalam konteks pasangan) maka hidupku akan sempurna.

Tidak begitu, sodara… Nyatanya,

Kita harus memandang diri kita sebagai gelas yang penuh.

Sebagaimana gelas yang penuh, kita harus memandang diri kita sebagai seseorang yang sudah komplit, sudah utuh, ngga perlu ditambah-tambah lagi.

Bayangin kalau dalam hubungan, kita jadi gelas yang kosong. Kita berharap seseorang mengisi kekosongan itu. Kalau ngga ada orangnya, gelas kita masih kosong, dan kita ngga bahagia.

Kalau kita sudah memandang diri kita complete as a person, kita ngga akan butuh orang lain lagi untuk memvalidasi eksistensi diri kita. Ngga perlu juga, dipikir-pikir.

Balik lagi ke stoikisme, mendefinisikan faktor eksternal sebagai definisi bahagia kita itu keliru. Karena pada dasarnya manusia itu adalah makhluk sosial sekaligus makhluk individu yang berdiri di kaki sendiri.

We’re not the centre of the world. Kita mungkin berpikir kita jadi pusat perhatian orang di jalan waktu kita pakai barang-barang tertentu, padahal orang lain juga sedang berpikir hal yang sama, atau bahkan… dia lagi mikir cicilan rumah, kendaraan, atau apalah yang atas nama mereka, yang ya.. masalah hidup mereka.

Dalam hubungan, dari apa yang aku pelajari kemarin, once, we’re ready, kalau gelas kita sudah penuh, dan kita memandang diri kita sebagai manusia yang komplit, kalau ada orang lain yang datang ke kita, itu menambah kebahagiaan kita, bukan ada dia maka kita bahagia. Dan kalau ngga ada orang itu, bukan berarti kita menjadi tidak bahagia.

Aku masih belajar, sejauh ini. Naik turun perasaannya masih ada banget. Masih berasa banget beratnya bangun di pagi hari karena ketindihan kucing, berbeda jauh dari beberapa bulan lalu.

Tapi bukan manusia kalau hidup bukan untuk belajar.

Kerugian yang sebelumnya aku pikir berat dan banyak banget, aku bisa lihat itu sebagai biaya sekolah, yang mana sekarang bikin aku lebih pintar, dan belajar untuk nggak mengulangi kesalahan.

Dan, tahu gak?

At the end, ternyata enak banget kalau punya pemikiran-pemikiran di atas. We will less worry about anything. Walau, kita ngga bisa pungkiri, dan wajar banget kalau kita punya pemikiran buruk akan suatu hal. Wajar banget. We only human, kita hanya manusia biasa yang punya perasaan. Tapi jangan lupa, kita juga punya akal.

So, for those who feel that your life is in the bad state, for those who feel that you’re suffering a lot, you’re feelin’ sad all along the night, please.. survive. Please. Take control of what you can control, and let go for whatever things you can’t control.

Lihatlah diri kamu sebagai gelas yang penuh, sebagai manusia yang utuh.

And then, please, be happy.

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali