Hitung Mundur

Agnicia Rana
3 min readNov 11, 2023

Kisah kita berakhir sebelum genap satu bulan, dan aku cuma bisa bergeming sambil hitung mundur, melihat awal kita bermula, dan bagaimana semua berakhir.

Aku janji ini yang terakhir — tentangnya.

Kalau ada nominasi penghargaan, “Dating paling sebentar”, barangkali aku masuk nominasinya. Hubungan terlamaku dengan lelaki, jatuh di 4 tahun — dengan mantan suamiku. Dua tahun pacaran, dua tahun menikah, lalu bercerai.

Sisanya, kuncup pun belum tumbuh, bahkan belum cukup pupuk dan air kusiram. Sudah kandas, mengering, lalu mati. Aku juga bingung, tapi barangkali alasan paling positif adalah: aku dihindari semesta dari kesia-siaan.

Tapi selalu setelah aku kasih diri dan hatiku.

Ini terjadi berulang kali, sampai aku lupa berapa banyak lelaki yang masuk dan pergi begitu saja, meninggalkan bekas luka yang sukar aku sembuhkan, kecuali mencari lelaki lainnya untuk masuk — dan berharap ia tak akan lakukan hal yang sama, kenyataannya… berakhir sama juga.

Yes, sejauh ini aku belum dapat.

Aku kembali menghitung mundur, kira-kira ke dua minggu ke belakang, saat semua itu berakhir, dan dikonfirmasi lagi olehnya kemarin. Saat… aku meminta maaf (seminggu sebelumnya) atas apa yang bukan salahku juga.

Memang aku ini sakit.

Aku punya standard untuk lelaki seperti apa yang aku mau, tapi aku ngga pernah konsisten dan stick dengan standar itu. Aku selalu lupa dan menormalisasi perlakuan lelaki yang datang, bahwa mungkin memang tiap lelaki berbeda — ngga mungkin sama — dan coba aja dulu, deh.

“Coba aja dulu” ini tai dan malah jadi boomerang.

Aku yang terima-terima saja, malah jadi jatuh hati beneran. Berkorban, lalu tetap menjadi yang tidak dipilih — yang ditinggalkan.

Kemarin, ia baru saja membalas pesanku yang sudah kukirim seminggu yang lalu. Iya, aku masih manifestasikan dia, bahwa ia akan kembali lagi. Betul, ia kembali, tapi untuk kasih closure. Aku bersyukur untuk ini, setidaknya dia bukan orang yang pergi begitu saja, dan datangnya dia semakin buatku yakin bahwa aku tidak pantas mendapatkan perlakuan buruk dari siapapun.

Ia membalas pesan minta maafku — yang ngga perlu, karena bukan salahku kalau aku tersinggung dengan sikapnya yang cuek, ngga sensitif,— dengan, “Sudah tau kan aku ngga suka? (dengan sikapmu yang keras dan sumbu pendek)”.

Kupikir itu bentuk keterbukaan, bahwa barangkali masih ada kemungkinan lainnya — untuk bertemu lagi, untuk bercinta, untuk lebih mengenal satu sama lain. Nyatanya tidak juga.

Ia bilang “ngga ada terusan, inget aja sama kata-kata (selesai) yang diucapin”. Aku tanya kemudian, “udahan?”, ia jawab, “yups, itu kata yang kamu ucapin kan?”

“Kamu yang bilang”, aku balas lagi.

“Kamu mengiyakan”, balasnya lagi. Tetap, dia ngga mau bertanggung jawab atas apa yang terjadi di antara kami. Benar-benar lelaki dengan bibit gaslighting. REDFLAG!

“Aku harus mohon-mohon?” tapi aku masih menjawab dengan tololnya. Mari kita tertawakan kebodohan ini bersama, kawan-kawan :)

“Nggak.” ia jawab lagi dengan balasannya yang singkat dan ngga berperasaan itu, untuk aku yang super sensitif.

Dan si bodoh — aku — malah bilang ke dia, “Aku masih mau”, yang ia jawab, “Kita ngga ada persamaan keknya”.

Aku mengiyakan dan bilang, untuknya aku masih bisa berkompromi — untuk menerimanya dengan banyak hal yang ngga aku suka itu, dan dia tetap pada tekadnya yang bulat. Bahwa kami ngga cocok, jadi.. ngapain lagi?

Tai! Harusnya aku yang bilang gitu!!!

Bagaimanapun, mungkin dia adalah salah satu lelaki paling jujur — dari apa yang ia katakan, typing chat-nya, persis seperti apa yang ia lakukan. Aku sempat ragu dengan chatnya yang dry text, dan sekarang ini aku sadar, makin sadar bahwa kata-kata bisa dirangkai, perilaku menunjukkan segalanya.

Apapun itu, aku mungkin berduka, dan masih sering mundur ke belakang, menganalisa bagaimana cara kami berkomunikasi, dan aku temukan kejujuran di sana — yang sepenuhnya ngga bisa aku kontrol. Yang aku pertanyakan padanya bukan sepenuhnya kebenaran atau tidak — mungkin dia hanya belum ceritakan semua tentangnya, dan aku ngga butuh juga kebenaran versinya.

Kejujuran.. itu semua, yang sejak awal bilang padaku bahwa, “Mel, bukan dia orangnya”.

Meski ada rasa kehilangan — yang aneh — , beruntungnya… pada akhirnya aku paham bahwa memang sejak awal kami “ngga bisa berjalan jauh”. Kami sama-sama mencari, dan ngga menemukan hal yang kami inginkan di diri satu sama lain, jadi, untuk apa lagi? — pemikiran logis.

Aku seharusnya bisa berpikir begini sejak awal. Pakai logika, dan menyampingkan perasaan. Sayangnya si bodoh ini memang demen coba-coba — yang objek coba-cobanya adalah tubuh sendiri.

Bagaimanapun, aku menyadari bahwa aku pantas mendapatkan yang lebih dari sekedar ia yang melihatku dari luar saja, jadi…
GWS, Mel! You’re enough.

Denger versi audionya juga di Monolog Desah Desus: Hitung Mundur.

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali