Ia disebut: Rumah

Agnicia Rana
5 min readSep 25, 2020

--

Day 5: Your Parents #30dayswritingchallenge

Illustration by Daria Petrilli on Pinterest.

Ia balur tubuh anaknya dengan dempul — lebih banyak pada wajahnya yang halus dan merah. Ia hirup wanginya dalam-dalam dan merasakan lembut memasuki hidungnya dengan sopannya. “Nak, kelak kau besar, jadilah wanita pejuang yang tanggung dan cantik. Wangimu kelak akan tercium sampai Mars tempat para lelaki memacu kuda dan mengasah pedangnya. Mereka dirapali mantra adiguna. Setelahnya ia turun ke venus, tempatmu lahir, dan seketika itu ia memboyongmu ke Bumi. Terberkatilah engkau, anakku, Arami.”

— Hari Kelahiran Arami, Agnicia Rana.

Tak perlu kau tunggu ada inspirasi, mulailah menulis. Dan kini saatnya tulisanku dimulai.

Ibu.

Hari-harinya lelah, namun hilang dibayar lunas oleh kepulangan anaknya di sore — kadang malam hari — sepulang sekolah, tiap akhir pekan.

Tak ada yang di bawanya selain tas kecil berisi kupon tagihan — yang ia tagih tiap hari. Jumlahnya banyak, perkupon tertera dua ribu perak (re: Rp2.000). Kadang ia pulang bawa puluhan ribu, kadang hanya dua ribu perak. Tak apa, dua ribu pun bisa untuk beli sayur harga lima ribu, tinggal bayar sisanya esok.

Sampai rumah, ia meramu bumbu. Bawang dan cabang, lengkuas hingga cengkeh, ia paham betul wangi dan rasanya. Ia pipil kulit bawang perlahan, ia letakkan buahnya di wadah berisi air, kemudian lanjut ke cabai, dan bumbu-bumbu lainnya.

Hari itu ia masak tongkol balado dan tumis kangkung. “Ekstra pedas, sampai buat bool panas.” pinta anaknya pekan lalu. Ia tertawa sedikit, tersenyum kemudian. Matanya pun ikut memipih.

Ia selesaikan semuanya, meletakkan sebagian di meja, dan menyisihkan sebagian kecil di piring berbeda, lalu disimpannya dalam lemari makanan. Ini spesial — tentu ngga pakai telur — untuk putri satu-satunya.

Ia melanjutkan pekerjaannya lagi: mencuci pakaian. Satu ember besar pakaian empat orang. Ia pilah dan pisah berdasarkan warnanya, ia taburi bubuk pencuci, dan ia sikat kemudian pakaian satu per satu dengan tangannya. Hampir satu jam ia duduk di jengkok sambil mencuci. Ia keluar sebentar, sambil menunggu pewangi terserap utuh ke dalam pakaian.

Kadang sambil duduk di depan kipas angin, kadang sambil terlentang membayangkan masa depan anak-anaknya. Lima belas menit kemudian ia bangun untuk menjemur pakaian yang baru selesai ia cuci.

Tibalah saat paling melelahkan: menyapu dan mengepel tiap sudut ruangan. Ia selalu mulai dari paling belakang ke depan — paling dalam ke luar. Jangan sampai dari luar kebawa taik ayam, menurutnya. Maka ia selalu mulai dari dalam. Ada empat ruangan, dan satu dapur yang lumayan besar. Ia kerjakan sendiri sampai peluhnya jatuh dan menempel pada lantai — yang ia lupa seketika ia menghapusnya dengan kain pel yang ia pakai.

Setelahnya itu ia bergegas mandicepat-cepat, agar ia dapat istirahat lama — setidaknya sebelum anaknya pulang — , merebahkan tubuhnya dengan nyaman di depan kipas. Ia tertidur kemudian. Mimpinya tak ada. Tidurnya terlalu pulas untuk dapat mimpi.

Bapak.

Wajahnya tetap tampan, meski tubuhnya menghitam terbakar terik. Tubuhnya kurus, tak terlalu tinggi. Ada kantung di bawah matanya, pun kumis tipis. Senyumnya manis dan polos, khas orang sunda.

Hari-harinya penuh ketegangan. Keringat mengucur, tenaganya ikut rontok tiap kali ia angkat beban di hadapannya. Pikirnya bercabang, antara rumah dan isi perut. Ya. Seringkali ia bekerja saat lapar, namun tetap ia hajar.

Ia keluar di pagi hari, berkelana lewat mesin-mesin mobil yang dicopot dari kerangkanya. Lewat oli yang menetes di tanah — yang ini aku suka saat lihat pantulannya, seperti pelangi. Lewat baut-baut kecil yang terkadang melukai jari dan asanya.

Ia tak menjadi rapuh, meski kehilangan hartanya. Baginya itu kesalahan, dan sudah berlalu. Tiap hari kita butuh duit untuk isi perut. Tak apa hilang habis berak, jelas sari-sarinya dibutuhkan untuk berpikir.

Makanan yang ia makan selalu bersih, meski ia sangat suka daging dan jeroan ayam. Sayur hijau mentah dan sambal tak pernah absen jadi menu santapannya. Ia suka nasi dingin — tak seperti tiga kepala yang lain. Aneh memang. Kebiasaannya sebelum makan: berdiri di depan kipas angin sambil mendinginkan nasinya.

Waktu putrinya kecil, ia paling suka melakukan hal yang menyebalkan. Menepuk tubuh pundak atau kaki putrinya sambil bilang,”Ih, ada nyamuk!” Dulu menyebalkan, belakangan putrinya itu rindu juga.

Ia adalah penyanyi kamar mandi terkenal, sampai pernah dinobatkan sebagai penyanyi dengan aksi panggung terbaik — sampai panggung (re: gilesan cuci) pecah — dan mendapat protes dari istrinya. Seketika itu juga ia pensiun nyanyi di panggung — tapi tetap konser. Tanpa panggung tak apa, karena ia sudah memiliki pendengar setia — cicak dan nyamuk kamar mandi.

Ia tak pernah marah, lebih banyak diam juga walau dimaki.

Banyak kisah lucu darinya, beberapa:

  1. Jatuh di depan lemari pendingin
  2. Nyasar di hutan sepulang tahlilan malam jumat
  3. Mengusir kucing di rumah — ia yang terakhir datang ke rumah, ketika putrinya sudah pelihara tiga anak kucing — lalu esoknya kucing itu pulang dengan tubuh kotor, ia suruh anaknya memandikan kucing itu. Setelah kering, ia diam-diam mengelus manja tubuh berbulu itu, dan menaruhnya di pahanya. Belakangan, ia jadi sangat dekat dengan kucing-kucing anaknya.
  4. Lagu yang paling sering ia nyanyikan, “Idiiih, mama genit. Suka ciumin Papa. Millaaa, jadi iri. Pengen dicium juga.” Lalu ia ulangi dengan nama anak keduanya.

Ini tahun ke sepuluhku jauh dari rumah. Sepuluh tahun yang lalu masih bisa pulang tiap minggu — masih berasa punya rumah. Setelah kuliah, waktu jadi makin sempit. Libur 2–3 hari dipakai untuk tidur di kos atau ke Jatos. Ingat makanan di rumah mendadak bisa sangat menyiksa, karena yang ada di kamar cuma mie instan.

Dulu, tempat dingin di masa kuliah itu jadi alasan kabur, pergi menjauh dari rumah dan kepala-kepala di sana. Pernah muak karena rasanya ngga ada yang menyenangkan di sana, kecuali tongkol balado dan tumis kangkung ekstra pedas.

Belakangan, sampainya di perantauan yang dingin jadi ingat, kalau ia yang disebut rumah itu selalu ada dan hangat. Ia ada saat kau butuh kapanpun. Tak usah bayar karena itu rumah. Tak usah dibalas dengan prestasi pun — dan memang tidak pernah, mereka sudah bahagia dengan pulangnya aku ke sana. Terbukti, tiap makanan yang kuminta satu hari sebelumnya saat aku di rumah, selalu ada keesokan harinya.

Maka ia disebut rumah, membuat ada yang sebelumnya tidak ada, menyediakan apa yang kau mau, memfasilitasimu dengan segala kebutuhanmu.

Apapun keadaanmu di luar, tetap rumah adalah tempat kembalimu.

“Ah… jadi ingin pulang.”

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. IG: agniciarana #MemulaiKembali