Kalau Aku Terlalu Bahagia

Agnicia Rana
3 min readJun 5, 2023

Kalau aku terlalu bahagia, seperti ada rasa bersalah setelahnya. Rasanya aku tak pantas, rasanya kisah masa laluku mengelabui tawa yang keluar (atau sebaliknya?), rasanya… aku belum bisa menghayati satu per satu kebaikan yang datang padaku.

Kalau aku terlalu bahagia, seringkali aku lupa. Aku lupa proses yang berjalan, aku lupa target yang ingin kucapai, aku lupa bahwa bahagia hanya sementara dan duka bisa jadi datang setelahnya — kapan saja.

Hari ini aku minta maaf banyak-banyak ke orang terdekatku. Dimulai dari ibuku, sampai ke sahabatku.

Rasanya kalau ada kendala dalam hidupku, itu balasan atas kesalahanku di masa lampau. Mau meyoal patah hati, duit, sampai hal-hal receh di pekerjaan. Barangkali semua itu karena dulu aku berinvestasi bodong — hal-hal buruk — dalam hidupku.

Aku pernah dengar juga, yang intinya begini:

“Kalau kita disakiti, mesti introspeksi diri dulu, bukan menyalahkan orang yang menyakiti. Kalau kita dapat sulit, itu untuk menghapus dosa-dosa (artinya kita ini berdosa, kan?)”

Maka barangkali, di masa jahilyahku dulu, aku banyak berbuat salah dan menyakiti orang lain. Barangkali ibuku, orang tuaku, keluargaku, teman-temanku… atau kamu yang baca.

Iya, aku terlena.

Satu bulan ini aku terlena. Dalam segala urusan. Urusan cinta — oh, ini pasti, urusan pekerjaan yang demandnya lagi tinggi bikin aku sibuk — iya, sibuk itu bikin aku senang karena waktuku ngga aku investasikan untuk mikir aneh-aneh, juga urusan-urusan lainnya.

Aku jadi lupa.

Bahwa takdir hidup tak selalu mulus. Hidup tak selalu bahagia. Seringkali kau sedih, seringkali awan mendung penuh di kepalamu yang bikin kau susah bernapas.

Parahnya, fase hidup ini, masih saja menyebalkan buatku.

Banyak hal irrasional yang jika itu orang lain yang cerita, aku bisa bilang: “Sabar, mungkin dia sibuk.” atau, “ Tunggu saja, coba kerjakan hal lain yang membuatmu produktif”.

Nyatanya, aku kesulitan produktif.

Kepalaku ndak berhenti mikir yang aneh-aneh yang kebanyakan menyoal cemas dan takut ditinggalkan, takut ada perubahan yang tidak menyenangkan, takut takut takut takut…

Rasanya aku selalu menuntut, dan tuntutan itu kudu dipenuhi atau aku jadi panik dan cemas. Beruntungnya, aku sudah belajar dari hubunganku yang lalu, bahwa aku harus cari kesibukan timbang melampiaskan kemarahanku pada pasangan.

Iya, aku menahannya ke pasanganku. Aku mencoba membiarkannya melakukan kegiatannya, pekerjaanya.. bahkan kalau ia sakit dan langsung tidur tanpa mengabariku, aku biarkan saja.

Buruknya, aku jadi sering misuh-misuh ke teman dekatku.

Tiap pasanganku ndak ada kabar, aku misuh-misuh ke temanku, menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan value dan self-worth diriku.

Seperti, “Apa aku ada salah? Apa ‘begini’ salah? Apa aku kurang?”

Jawabannya selalu aku rangkai sendiri,
“Ah, ndak kok. Kemarin baik-baik aja. Kami masih beromansa. Mungkin dia sibuk, mungkin dia sibuk, pasti dia sibuk.”

Setelah misuh-misuh, aku mencoba memanggil kembali akal sehatku, dan kata-kata itu akhirnya menjadi obat. ‘Ndak papa, pasti ndak papa, aku mungkin ngga ditinggal lagi.’

Kemudian ketika kami bertemu (pada akhirnya), aku berusaha sebaik mungkin untuk menyampaikan ketidaknyamananku sebelumnya. Aku takut, sebetulnya. Tapi aku lebih takut berdiam diri dan mengganjal dadaku dengan terpaksa.

Aku bilang, selalu bilang. Dan selalu dapat respon yang bikin aku kalem. Meski itu kerapkali ngga bertahan lama, karena episode ‘tidak nyaman’ itu bisa jadi datang lagi.

Maka, aku takut kalau aku terlalu senang dan terlena. Iya, itu bisa jadi hanya sementara, dan betul “namanya juga hidup, naik turun itu pasti”.

Ini yang bikin aku menahan. Menahan untuk ‘jangan terlalu bahagia, besok hari bisa diambil semuanya’. Termasuk untuk ‘jangan terlalu mencintai, besok hari bisa pergi yang dicintainya’.

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali