Kambing Pemalas

Agnicia Rana
4 min readOct 15, 2024

--

Week 10: My khodam.

Sudah setahun yang lalu ya, sejak terakhir aku, Aya (Aya Canina) dan Faye (Ayyara Fay Japakyati) menuliskan project kami ini.

Tiba-tiba, tercetus saja untuk melanjutkan project menulis ini. Excited, terharu, sekaligus gemas juga. Kenapa berhenti di tema nomor 9 — bahkan belum 1/3 nya? Lebih gemas lagi karena komitmen yang kami setujui, namun aku ngga bisa menyelesaikannya tepat waktu. Kalau boleh beralasan, mungkin salah satunya karena kepalaku penuh, dan alasan lainnya mungkin karena khodam-ku “Kambing Pemalas” — aku menunda, dan bermalas-malasan sambil terus kepenuhan.

Pekerjaanku sedang di tahap yang santai tapi penuh. Mengerti, kan? Santai, iya. Tapi penuh. Kerjaanku seputar administrasi dan follow up produksi — urus printilannya yang banyak itu. Santai tapi penuh, santai tapi pusing.

Akhirnya aku balik ke mode kambing pemalas.

Membiarkan diriku santai di atas kasur, menunda-nunda pekerjaan rumah — termasuk menulis ini — alih-alih menunggu mood tiba. Padahal, kalau boleh jujur, mood belum tiba. Sekarang ini aku memaksakan diriku dengan meletakkan bokongku tepat di tengah bangku indomar*, sambil minum kopi susu gula aren(less sugar, extra ice). Mengeluarkan duit Rp25.000 ditambah batagor Rp10.000,-

Kalau aku pulang, aku ngga akan mengeluarkan duit sepeserpun, tapi tulisan ini belum tentu jadi. Maka kopi dan batagor adalah bayaran untuk satu tulisan ini.

Sudah tahu arahnya, kan?

Bahwa aku ingin bilang bahwa aku setuju khodamku adalah “Kambing Pemalas.” Khodam-mu bisa dilihat di link ini: https://khodam.vercel.app/

Khodam-ku ❤

Sejak kecil memang aku sudah pemalas, kupikir-pikir. Aku susah kali bangun pagi, bikin aku sering kesiangan dan terlambat ke sekolah. Ini beneran, no tipu-tipu. Rasanya kasur lengket. Dan kebiasaan itu rasanya mendarah daging hingga sekarang.

SMA, malahan, sering kali aku telat tiap hari senin. Aku yang dulu ngekos, tiap sabtu pasti pulang, dan senin berangkat dari rumah. Dan kasur rasanya nyaman kali, bikin aku santai-santai. Saking seringnya, hampir mamakku dipanggil ke sekolah karena aku telat 3 kali berturut-turut tiap hari senin. Hukumannya? Disuruh jadi dirijen, memimpin siswa-siswa telat lainnya nyanyi lagu nasional indonesia.

Ngga sampai situ. Jaman kuliah yang berat itu pun, aku masih sering telat, yang solusinya, aku minta dibangunkan oleh Evy — teman satu gengku, dan satu kos juga. Pintu kamar kosku diketuk tiap jam 6 atau jam 7, tapi aku bangun tetap aja jam 8, sementara kuliah mulai jam 08:30. Tiap hari aku mengkhianati usaha Mboke — panggilanku ke Evy — yang harus naik ke lantai 2 tiap hari ke kamarku.

Waktu KKN bahkan aku dapat gelar “orang paling mager”, perkara bangun paling siang WKWKWK. BJIR GA ADA RAJIN-RAJINNYA EMANG IMAGEKU DI MANA-MANA.

Bahkan, salah satu alasan mantan suamiku selingkuh juga karena aku seorang pemalas yang ndak pantas jadi istrinya, dia bilang begitu. Maka tiap ada wanita yang dekat dengannya, ditanya, “Kamu cuci baju berapa kali satu minggu?” atau, “Kamu masak sendiri?” atau bisa jadi, “Kamu biasa bangun pagi jam berapa, dan apa kegiatanmu setelah bangun tidur?”

Ya, ndak papa, tapi harusnya itu dia lakukan sebelum memilihku yang berkhodam “Kambing Pemalas” ini, kan?

Kalau kupikir-pikir, ini jadi alasanku kenapa aku ngga memilih untuk menikah lagi — untuk sekarang, besok ngga tahu. Kalau perkara pemalas dibilang ngga cocok jadi istri, ya mungkin memang aku belum siap jadi istri lagi. Sekalian aja aku ngga siap jadi manusia. Wong dari kecil aku pemalas!

Melihat ke belakang, kekurangan ini kurasa salah satunya adalah karena aku suka menunda dan karena aku ENFP. Fleksibel dalam segala hal, termasuk waktu. Aku bukannya tidak menyelesaikan semua hal, tapi aku memilih-milih untuk menyelesaikannya kapan pun aku suka dan mau.

Contoh, ada dua hal. Mencuci baju dan mengerjakan tugas kantor yang harus dikumpulkan jam 9 pagi besok.

Aku ndak suka keduanya. Lagian, mana ada yang menyukai “kerja sukarela” macem itu?

Lanjut untuk case di atas. Pada prosesnya, aku merasa aku butuh semangat yang tinggi untuk melakukan keduanya. Tapi yang paling sulit adalah menyelesaikan tugas kantor ketika sudah di rumah, kan? Maka aku memilih cuci baju dulu, sambil menimbang, bahwa cuci baju butuh setidaknya satu jam, dan aku masih punya banyak waktu.

Ini dia. Aku selalu merasa masih punya banyak waktu, meski cuma 5 menit. Maka setelah aku benar-benar siap, aku beranjak dan cuci baju. Setelahnya, aku bersiap diri lagi untuk mengerjakan tugas kantor — yang biasanya ini sudah di tengah malam.

Begitu terus, dan begitu pun untuk hal lainnya.

Tapi aku tak pernah melupakan tugasku, dan hampir selalu selesai, kok. Meski hasilnya kadang aku kurang suka. Tapi lagi-lagi, aku rasa ya ndak papa untuk ngga berusaha berlebihan untuk hal-hal yang ngga benar-benar aku sukai/mau.

Dari situ aku sadar, bahwa aku memang sulit melakukan hal yang ndak aku sukai. Dan aku dibiasakan untuk melakukan hal-hal yang tidak aku sukai itu. Seperti belajar untuk dapat rangking 1 untuk selanjutnya diberi hadiah, atau bangun pagi untuk tidak dihukum, atau belajar mata kuliah yang aku ngga bisa, atau melakukan hal-hal lainnya yang ngga mau aku lakukan.

Kambing Pemalas ini memang pilih-pilih, atau ya… emang malas aja, ya?

--

--

Agnicia Rana
Agnicia Rana

Written by Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali

Responses (1)