Kasih Beta Kepada Ibu
--
Tulisan ini dibuat di akhir tahun 2020.
Akhir 2020 ini agaknya akan sangat tidak menyenangkan. Dua tahun sebelum ini, di akhir tahun, kisahnya selalu — terlalu manis. Nampaknya ini cara Tuhan bilang, “Nih, kukasih kau susah, biar kau…”
….
….
Ah aku tak bisa menebak apa mau Tuhan, jujur saja.
Berawal dari sifat angkuh yang bilang pasti akan baik-baik saja kalau aku keluar dari lingkaran kerja, ternyata ndak begitu juga.
Ada lebih dan kurangnya.
Kurangnya duit, lebihnya aku bisa berguna buat keluarga — terutama karena Papa tiba-tiba sakit.
Agustus aku keluar, oktober aku masuk ke lingkaran kerja — di rumah — berikutnya. Kerja yang ndak digaji.
Papa tiba-tiba sakit, dan aku harus pulang, mengenyampingkan mimpiku dan pasanganku untuk berbisnis dan menabung.
Kau kira kedua hal itu bisa kau lakukan di mana saja?
Kami tinggal di planet lain, dan harus datang ke bumi. Butuh sekitar 5 jam (bisa lebih) untuk sampai ke rumah orang tua. Dan sampai rumah orang tua, pekerjaan pertama yang dilakukan anak pertama dan pasangannya adalah memberikan yang rumah butuhkan.
Kalau dari planet lain kau bisa patok dari sepersekian pemasukanmu — ditambah lagi kau masih tinggal hanya dengan pasanganmu, sampai rumah kau tahu berapa riil yang sebuah rumah dan isinya butuhkan.
Pulsa listrik baru isi, dua hari kemudian sudah habis lagi. Lalu kau harus isi lagi. Kalau kau lapar di malam hari dan bermaksud beli nasi goreng untuk dirimu, kau turut serta harus tanya ke keluargamu, dan jarang yang menjawab “tidak mau”. Akhirnya kau beli empat atau lima bungkus juga, tergantung banyaknya kepala di rumahmu.
Belum lagi akan tiba masanya keluargamu melakukan kebodohan yang bikin kantungmu bangkrut. Sebut saja contohnya, menunggak bayar BPKB motor hingga motor disita dan dendanya berkali lipat.
Itu bisa terjadi.
Dua bulan ini berat. Untukku dan pasanganku, juga untuk Mazdi (mobil kesayangan kami). Dia yang sudah tak perjaka lagi dituntut untuk mengerahkan seluruh tenaganya untuk bolak-balik rumah-rumah sakit setiap minggunya, yang berjarak lebih dari 30 km. Belum lagi hal mendesak lain yang mengharuskan ia jalan jauh untuk sepersekian kalinya tiap minggu, juga ego ingin jalan-jalan membawa sanak saudara untuk sekedar menikmati jalanan.
Dan kami sama-sama angkuh, saat ia mengeluh, dengan menunjukkan suara mesinnya yang pincang, juga tanda berkedip di ujung kemudi.
Ia dipaksa dengan keangkuhan dan pikiran, “demi menghemat uang dan tenaga”, juga ego biar ngga ribet di jalan karena harus naik turun kendaraan umum.
Sudah bisa ditebak?
Ya. Ia menyerah. Sehari setelah sampai di Semarang, tempat Papa akan diambil lensa matanya, digantikan dengan yang buatan.
Mazdi kesayangan kami menyerah. Ia terlalu marah dan lelah. Ia berhenti tiba-tiba di jalan. Seperti anak ngambek, disentil dengan kontaknya pun ia tak bereaksi seperti biasanya. Terdengar lemas dan lemah. Namun ia masih selamat, dan tentu kami paksa terus hingga ia sampai bengkel terdekat.
Sebelum sampai, tentu ada drama — selalu. Kami tunggu seorang montir kiriman papa dari tukang parkir di rumah sakit (bisa-bisanya lagi diopname persiapan operasi, ia keluar untuk cari bala bantuan) yang baru dua jam setelahnya sampai, lagi-lagi karena egoku yang ragu bercampur kasihan bahwa mazdi akan selamat kalau dipaksa jalan.
Dua jam berlalu, yang datang seorang montir yang sudah telalu tua untuk seukuran montir. Tubuhnya kurus, rambutnya putih, tangannya bergetar sambil bawa ember kecil berisi peralatan seadanya, dan jalannya pun membungkuk.
Tepat seperti yang aku pikirkan, ia sedikit kesulitan untuk membuka tutup mesin (entah apa namanya kalau ada — bukan kap mobil karena kap mobil sudah kami buka sebelumnya), dan ia pun seperti tak bisa berbuat apa-apa, dan akhirnya membuat kami berjalan cari bengkel lain.
KALAU TAHU UJUNG-UJUNGNYA JALAN JUGA NGAPAIN GUE NUNGGUIN MALIIIHH….
Kesal, tapi sudah kejadian.
Kami pergi ke bengkel dinamo untuk mengecek, dan sialnya masalahnya bukan di dinamo. Ia mengusulkan untuk pergi ke bengel yang lebih besar, kami berjalan kemudian dan Mazdi sempat ngambek lagi — berhenti di tengah jalan. Aku hampir menyerah di sini, dan bilang ini kalau ngga sampe gimana. Dan kakek itu terus bilang, pasti sampai.
Kita memang sampai, tapi pada kekecewaan.
Dia ajak kami ke bengkel mobil khusus *****, dan tentu tak bisa menangani mobil kami dengan brand berbeda. Aku kesal, dan antar dia pulang akhirnya. Pasanganku pun memutuskan untuk bawa ka bengkel khusus Mazdi. Dan ia menginap semalaman.
Sampai hotel, kami tak lega juga. Niat ingin istirahat pun jadi misuh-misuh dalam hati karena mama yang temani Papa di rumah sakit ngga mau keluar beli makanan untuk dirinya sendiri, malah lebih memilih untuk tak makan. Di satu sisi aku berpikir keras, dan mulai menghitung.
Nasi satu bungkus di sana harga Rp9.000. Grabcar — karena hari itu hujan, pun aku harus berangkat bersama pasanganku — Rp20.000 satu kali jalan.
Belum lagi masuk kamar papa yang jalannya jauh di ujung lorong yang berkelok-kelok, dan jauh dari pintu masuk. Aku sudah ingin menyerah dan melampiaskan kesal ini, tapi ndak keluar. Aku memilih menyimpannya sendiri, dan berdiskusi dengan pasanganku enaknya gimana ya ini.
Yang keluar dari mulutnya, “Ayo kita ke rumah sakit antar mama makanan.” Aku jawab dengan semua pertimbanganku tadi, dia jawab lagi,”Ngga papa, udah siap-siap. Kasihan kalau mama ngga makan.”
Damn. Laki gue lebih sayang orang tua gue dibanding gue. Sad. Dia bisa bilang begitu, dan aku pikir seketika, aku ini jahat.
Tapi aku masih misuh-misuh dalam hati.
Singkat cerita, sampai kamar papa, aku dapati mereka tersenyum dan bilang terima kasih dengan tulus. Misuh-misuhnya hilang seketika. Aku dan pasanganku curi-curi pandang ke kanan-kiri takut-takut ada suster lewat suruh kami keluar karena ini bukan jam besuk.
Sepi, dan kami bodo amat pada akhirnya.
Tiga puluh menit kemudian, kami pun pamit, dan berdoa agar besok semuanya lancar.
Aku di sini sebagai anak tertua, yang belum pernah berurusan sama rumah sakit, karena seumur-umur hidupku di keluarga, kami berempat — termasuk orang tua dan adikku, tidak ada yang pernah merasakan kasuh rumah sakit untuk waktu yang lama.
Aku pernah sekali, waktu dulu jatuh dari motor yang membuat kepalaku pitak. Itu pun hanya menginap 12 jam mungkin.
Ini berhari-hari, dan persiapannya pun bukan main.
Disitu aku kembali hitung-hitungan. Adikku tak ada andil apapun, kecuali bikin kami semua stress.
Biaya rumah sakit, biaya menginap di hotel, biaya makan, plus plus plus biaya berobat Mazdi. Aku berdebar membayangkan tagihannya. Beban ini nampaknya terbagi rata antara aku dan pasanganku.
Dan aku mulai berandai-andai… seandainya papa ndak sakit, seandainya aku banyak duit, seandainya aku ndak resign, seandainya dapat suami kaya-raya, seandainya punya adik yang bisa diandalkan, seandainya aku bukan anak pertama, lebih jauh ke… seandainya aku bukan terlahir di keluarga ini.
Sampai tak sadar, mataku basah kemudian.
Aku peluk tubuh lelakiku yang hangat ini, sambil dia bilang sabar.
Akhirnya kami memutuskan untuk membawa kembali Mazdi, karena belum ada budget untuk pengobatannya, ditambah Papa yang juga seorang ahli mesin mobil. Papa bilang, kalau papa sembuh, Papa yang beresin. Biayanya jauh lebih murah dibanding berobat di luar.
Untunglah, biaya berobat Mazdi bisa kami pangkas.
Aku pun tenang sedikit, sambil was-was menunggu jadwal operasi — yang akhirnya dijadwalkan keesokan harinya — setelah mundur dua hari.
Setelah misuh-misuh melewati jalan yang jauh untuk sampai kamar papa, kami pun sudah tahu polanya. Makan harus tiga kali sehari, aku belikan langsung saja di pagi hari untuk mama. Sebagai yang bisa diandalkan, kami melakukan kewajiban itu, pun mama bisa santai.
Esoknya kami sudah stand by di rumah sakit, setelah check out hotel. Aku ketawa-tiwi melihat tingkah Papa yang gugup sebelum operasi.
Jam yang telah ditentukan pun datang, dan kami semua mengantar papa ke ruangan operasi, lanjut menuju pintu keluar ruangan untuk pergi ke pintu keluar pasien pasca operasi.
Puji syukur, segalanya lancar. Setelah menunggu satu jam lebih, akhirnya papa keluar juga, kami pun kembali ke ruangan papa dirawat. Papa bisa pulang keesokan harinya.
Ditilik lagi ke belakang, aku banyak mengevaluasi diriku sendiri. Sifat misuh-misuhku yang kebangetan, bikin aku ribet sendiri. Masalah yang terjadi di belakang, sempat kusinggung sebagai ujian — yang entah apa maksud Tuhan kasih ke kami sekeluarga.
Diluar itu, aku kembali bertanya-tanya, “Kenapa selalu ada pertanyaan ‘kok gue lagi sih’ atau ‘kenapa harus gue yang bertanggung jawab’ padahal kebaikan itu untuk orang tua sendiri?”
Aku jadi ingat dulu waktu aku kecelakaan yang bikin kepalaku pitak itu, entah keadaan keuangan papa dan mama seperti apa, mereka langsung bergegas ke Bandung dari rumah kami di desa, naik travel pula yang pastinya ndak murah. Sampai Bandung langsung lihat tagihan IGD. Bahkan setelahnya mama bilang, papa nangis sepanjang jalan dan panik takut aku kenapa-napa, apalagi kepala yang jatuh nubruk aspal jalan.
Aku bahkan masih menimbang-nimbang ongkos makan yang cuma Rp9.000.
Aku ingat juga waktu pertama kali menginjakkan kaki di Jatinangor untuk daftar ulang. Papa bahagia sekali kelihatannya. Anak perempuan pertamanya masuk universitas favorit. Kita sama-sama naik bus pula kesana, dengan aura cerah, bahagia.
Aku bahkan hitung-hitungan ongkos bensin mobil dan biaya perawatan mobil, untuk bantu papa berobat.
Mama juga wanita paling kuat, dan selalu siaga untuk siapapun yang membutuhkannya. Ia anak perempuan tertua di keluarga, dan harus mengayomi lima adiknya. Di rumah ia mengerjakan apapun sendirian. Cuci baju manual, belanja ke pasar tiap hari — termasuk beli sarapan apapun yang diminta anak-anaknya.
Aku pernah sakit di perantauan, esoknya mama langsung datang naik bus dari kampung kami ke kosan. Tanpa mengeluh ongkos atau capek, hanya untuk memastikan aku baik-baik saja.
Tapi kok aku sebagai anaknya sendiri malah misuh-misuh karena malas antar makanan untuk mama ke rumah sakit, yang paling cuma 10 menit dari hotel?
Benar memang pada kasusku,
Kasih ibu kepada beta tak terhingga, kasih beta hanya sepanjang galah.
Ibu selalu siaga. Apapun untuk anaknya. Bahkan sampai hal kecil receh, yang bisa dilakukan nanti, tapi dilakukan saat itu juga sama Ibu. Tiap aku minta sesuatu hampir ngga pernah dapat jawaban “engga”. Kalau ngga iya, pasti nanti.
Masakan di rumah terlalu sering masakan favoritku. Merantau sejak SMA bikin aku jarang pulang. Tiap pulang pati di meja makan sudah tersedia makanan ala surga dunia. Kalau aku di rumah seminggu full, bisa dibayangkan semua makanan pasti pedas dan “itu-itu lagi”. Tapi selalu dibuatin.
Sosok Bapak juga ngga kalah pekerja keras. Kalau belum tumbang, ngga akan berhenti, ga akan mau ke rumah sakit. Sampai ditegor kan, sama Tuhan biar istirahat dulu dari kerjanya.
Ma, Pa, semoga selalu sehat, panjang umur, bisa lihat aku sukses nanti. Semoga anakmu ini makin tahu diri, ya. Love ❤