Bernapaslah

Agnicia Rana
8 min readMar 6, 2023

Week 4: Traumatic Moment

Source: Pinterest.

Tiba di minggu ke-empat. Apa pula yang kami pikirkan waktu memilih tema ini?

Pertanyaan mengenai trauma ini bawa aku balik jauh ke belakang. Ke belakang banget. Dan kupikir bagus, karena artinya aku paham bahwa yang kubutuh adalah: sembuh.

Pelan-pelan, satu persatu, aku coba ya.

Sebetulnya hati ini (tentu hati) sedang tidak baik-baik saja. Aku paham, dan aku tahu dan wajar adanya bahwa banyak issue yang ada di dalam kepalaku. Aku paham aku hanyalah manusia biasa yang pasti pernah — boleh saja — terluka.

Pengennya terlucky-lucky, malah terlucka itu kayak… but life is life. Ngga akan pernah mudah. Katanya, tanda Tuhan mencintai umatnya ya dengan terus dikasih “kesesakkan”. Dan percaya adalah salah satu cara agar kesulitan yang terjadi menjadi ringan sekian persen.

Aku bukan orang yang berhasil, jika definisi berhasil itu punya banyak duit dan langgeng usia pernikahannya. Uangku selalu cukup, seberapapun itu banyaknya — yang tentunya tergantung definisi masing-masing. Kerapkali cukupnya ya karena ditambal sana-sini. Tapi ya, cukup.

Tandanya?

Aku masih dikasih hidup, cok! Buat makan dan ongkos main tiap minggu. Buat bagi kisahku yang tidak berhasil ini ke kamu yang baca dengan sukarela.

Pernikahanku gagal karena orang ketiga — yang kutahu jumlahnya tiga orang, dan ketiganya tahu rasa kontol suamiku. Ketiga perempuan itu tahu dan mengagumi milik suami orang — suamiku. Kok tahu? Ndak perlu dijelaskan. Konsep kejantanan dapat menjelaskan bagaimana perzinahan itu terjadi.

Aku paham, terlalu banyak yang kisahnya jauh lebih parah. Kisahku makan kontol yang kupikir satu-satunya punyaku ternyata dibagi ke tiga perempuan lainnya mungkin bukan kisah paling ngeri dan getir. Banyak di luaran sana yang lebih parah.

Ada perempuan yang sampai positif HIV padahal ia cuma tidur sama suaminya — Puji Tuhan aku negatif, ada yang bunting dan tetap sendirian sampai anaknya lahir, ada yang bertahan dengan pasangan yang abusive dan tukang selingkuh sementara anaknya tak tahu apa-apa — atau tahu sekalipun, ada yang suaminya mati di jalan, ada yang hidup mati-matian hanya untuk tak mati dikejar lintah darat karena pinjaman atas namanya yang untuk memenuhi kebutuhan suami dan keluarganya, ada yang rela buka-bukaan selangkangan demi uang dari lelaki beristri, ada… yang dipotong-potong tubuhnya dan dibuang begitu saja karena menolak cinta lelaki yang menyukainya, ada yang diperkosa dan dihancurkan tubuhnya dari dalam.

Do we (women) have a choice?

Setiap perempuan punya getirnya sendiri yang karena laki-laki. Begitu pula aku. Aku bukan bilang semua perempuan pasti korban, dan setiap lelaki pasti pelaku — tapi memang kebanyakan begini. Kalaupun ada lelaki yang menjadi korban, jarang sekali itu ulah perempuan — bisa jadi ulah lelaki lainnya.

Maka aku paham betul bahwa aku memiliki trauma — yang merupakan respon dari luka — yang bikin aku tetap di tempat yang sama, bahkan mundur jauh ke belakang.

Bulan ke-6 tahun lalu, aku tahu suamiku selingkuh lagi. Tanpa sengaja, dari seekor kucing yang aku beri makan dan aku biarkan tidur di kasur lipat di dalam rumah. Sekarang ini aku paham kenapa ia lahir, kenapa ia aku asuh dengan cukup, kenapa aku akhirnya suka kucing padahal dulu aku takut kucing, kenapa Mbah Putri selalu bawa kucing dari pasar untuk diasuh di rumah dan akhirnya aku terpapar kucing juga — panjang ya? Kalau kita tahu kinerja semesta di awal, mungkin kita ngga akan bersyukur di saat seperti ini.

Respon pertama kali membaca pesan itu, aku hanya bisa tertawa dan bilang, “CKCK. LAGI?”

Aku tetap baca pesan itu, sampai atas, sampai lama, sampai aku berhenti di bulan ke-3 tahun itu. Terlalu banyak informasi yang kudapat malam itu. Aku seperti kembali ke satu tahun sebelumnya, di bulan januari 2021, di mana aku dapati foto USG di galeri handphone suamiku dengan nama perempuan yang kutahu pacarnya di tahun 2020.

Rumit ya?

Aku digilir oleh dua perempuan (sebenarnya tiga. Fakta yang kutahu di tahun ini), dan mereka semua mengaku bunting anak suamiku — sampai sekarang tidak terbukti, dan itu sudah bukan tanggung jawabku lagi.

Pergulatan antar kelamin mereka ini bikin aku balik jauh ke belakang, sebelum aku memutuskan untuk menerima dia dalam hidupku. Kukira ia rumah. Kukira ia lelaki yang mencintaiku dengan tulus. Kukira ia lelaki yang takkan pernah menyakitiku.

Nyatanya, aku saja yang terlalu mudah baginya. Aku menerimanya dengan dada yang lapang dan tangan yang terbuka lebar. Kupikir itu saatnya. Itu waktu yang tepat. Aku telah menemukan si “the one”.

Ternyata, aku yang terlalu mudah.

Mundur sedikit lagi ke belakang, di mana aku menjatuhkan diriku ke lubang hubungan tak sehat sebelum ini. Aku mudah sekali menjatuhkan hatiku, sampai aku menyadari, bahwa yang terjadi bukan karena aku cinta. Tapi karena aku tak bisa sendirian. Aku butuh yang bisa di sini, di sebelahku, menerimaku apa adanya dan menjalin kasih pada akhirnya.

Aku haus. Bibirku kering, tubuhku kerontang. Aku merindukan kasih sayang.

Yang kutahu, kasih sayang yang aku ndak pernah dapat dari siapapun — termasuk keluargaku di rumah. Bagaimana pun bentuknya aku tak tahu — kecuali hadiah saat aku rangking 1, dan hadiah ulang tahun mahal. Bagaimana mungkin aku bisa sepolos itu tentang cinta?

Aku terus mencari, mencari, dan aku temukan jalan buntu. Maka aku terus mencari, mencari, mencari lagi. Mencari ia — entah apa rupanya — yang bisa aku jadikan sandaran, yang bisa aku ceritakan semua-muanya tentang hidupku, yang mencintaiku — sementara aku masih tak paham rasanya dicintai.

Aku tak menemukan apapun, malah aku selalu terjebak pada sakit ke sakit lainnya.

Mundur lagi jauh ke belakang, barangkali ini alasannya.

Jauh sebelum aku dewasa, aku menyadari satu hal. “Aku tidak pernah punya rumah.”

Seringkali aku dapat penolakan. Dari keluarga, dari lingkungan sekolahku. Dulu aku sering dibully. Aku dikatain gendut dan germo, waktu SD. Aku juga dimusuhi teman-temanku karena aku dekat sama temanku lainnya yang tak mereka sukai.

Mungkin waktu itu mereka tidak serius.

Tapi pernah suatu kali aku mimpi sampai menangis tersedu. Aku mimpi lagi jalan ke sekolah, dan sepanjang jalan itu, anak-anak, teman-temanku, bahkan ibunya meneriakiku “gendut” sambil tertawa.

Bangun tidur kuterus nangis — bukan mandi.

Aku nangis, lapor ke orang tuaku, minta pindah secepat mungkin ke tempat lain yang jauh dari rumah kami dulu — yang belakangan aku menyesal. Mama papaku berusaha menenangkan tapi “ya begitu saja”.

Aku tetap masuk sekolah hari itu.

Sampai akhirnya di akhir kelas 6 SD, semua membaik begitu saja. Aku yang masih di peringkat satu — yang selalu didorong oleh hadiah dari orang tuaku, bahwa aku harus selalu ranking 1, harus ikut lomba, harus ambisius maka nanti mereka belikan yang aku mau (dan selalu aku pilih buku atau cat air — seharusnya dulu aku minta dibelikan saham atau tanah), rasanya ngga sulit untukku menyesuaikan banyak hal.

Sampai aku mulai merasa berarti setelah sering ajak temanku ke mall, dan kasih jajan mereka — yang tentunya uangnya dari papa. Seringkali kalau ada teman main pun, papa kasih mereka oleh-oleh — uang jajan.

Di usia itu, memasuki masa remaja, puber ala anak ABG, banyak temanku yang sudah punya pacar. Dan aku yang mellow ini mulai sering lirik anak lelaki di sekolah atau tempat ngaji. Beberapa kali pernah diceng-cengin sama beberapa anak laki yang belum baligh — meski ada yang menarik, ngga ada juga yang suka aku. Kok tahu? Ya karena ngga ada yang pernah confess dan nembak aku.

Di situ aku sadar, bahwa barangkali aku bukan yang siapa-siapa inginkan. Anak umur 12 tahun menyadari bahwa ia tidak diinginkan.

Di rumah, jaman Sekolah Dasar dulu kegiatanku selalu sibuk. Pulang sekolah istirahat sebentar lalu ngaji, sore dikit les sempoa dan bahasa inggris. Anak yang memang dididik untuk ambisius dan ngga pernah mau kalah itu mungkin aku.

Kalau aku sakit, aku selalu takut bilang ke orang tuaku, dan berakhir ingusan di kelas. Pernah, aku sakit pipisku berdarah dan aku ngga bilang. Kenapa ya, susah banget bilang ke orang tua kalau ada apa-apa?

Tapi memang, sejak dulu, seingatku, kedua orang tuaku luput bertanya kabarku tiap pulang sekolah. Papa yang selalu bangun pagi sudah sibuk di kantornya. Aku pulang sekolah ia masih di kantornya. Aku berangkat ngaji, les, sampai pulang sore pun papa masih di kantor. Papa baru naik ke rumah jam 9 malam.

Dan ngga pernah tanya kabarku hari itu. Aku ingat, selalu ingat, papa dulu suka cerita raja yang tidur dan ngga bangun lagi sampai besok paginya. Narasinya kurang lebih begini:

Judul: Raja yang tidur.

Suatu hari ada seorang raja yang baik dan bijaksana. Setelah memimpin di istananya, lalu ia capek dan tidur. “ZZZZZ” (menirukan suara ngorok, dan pura-pura tidur).

Sampai situ, aku dan adikku bangunin papa lagi, tapi dia ngga bangun sampai besok. Sangat inspiratif, bukan?

Cerita lainnya, judulnya “Jeni dan Johan”, adik kakak yang malang. Aku selalu menangis dengar cerita ini.

Kami berempat (papa, mama, aku dan adikku) ndak pernah duduk bersama makan bareng, atau becanda apalagi diskusi. Berangkat sekolah aku cuma salim. Kepalaku ngga pernah dielus, jidatku selalu luput dari kecup mereka, pelukan pun tak pernah sampai tubuhku. Tapi jajanku selalu Rp50.000,- jauh dari teman-temanku lainnya di jaman itu.

Aku selalu pikir itu semua baik-baik saja, sampai aku lihat temanku yang ketika orang tuanya pamit pulang (karena sejak SMP dia sudah tinggal di kos), kepala dan wajahnya habis penuh kecupan ibu dan ayahnya. Ia dipeluk erat sambil diusap punggungnya dan didoakan.

Kok, aku ndak pernah ya?

Dari situ kupikir itu awal segalanya bermula. Itu yang kucari. Aku mencari kehangatan, pelukan, kecupan di kening, sampai saat aku dewasa ini… itulah yang kucari.

Dewasa ini, setelah berbagai kegagalan, trial and error dalam bercinta, aku jadi belajar untuk mengenal diriku sendiri. Aku harus lebih paham diriku sendiri. Kekuranganku, kelebihanku, apa yang kumau.

Semakin ke belakang, aku semakin lihat diriku mengecil tiap inchi. Begitu lemah dan kurang. Begitu kecil, cuma setitik saja. Begitu buruk, ngga ada baiknya.

Aku mungkin mandiri, si paling mandiri di keluarga. Tapi di luar aku mencari sandaran, dan aku selalu ingin didengar. Mungkin aku terlalu banyak bercerita ke sahabatku, pasanganku, atau teman lainnya. Rupanya — kupikir — karena aku tak pernah didengar. Aku tak pernah punya tempat bercerita.

Perjalanan panjang yang kulalui di masa kecil, baru aku sadari betapa membentuk diriku yang sekarang. Dan itu wajar, bagaimana kita terbentuk.

Kemarin aku sempat konseling, dan aku dapat banyak menyoal kekurangan dan kelebihanku, juga apa yang aku butuhkan dari relasi romantis.

Dari situ aku belajar untuk melepaskan banyak hal yang menempel di tubuhku, yang bikin jalanku sempoyongan. Sulit, tapi aku belajar pelan-pelan.

Apapun itu yang terjadi di belakang, yang kuceritakan padamu, atau yang belum kuceritakan, rasanya saat ini aku pelan-pelan sudah bisa menerimanya. Aku menyadari bahwa tak ada yang sempurna. Justru, kesempurnaan itu datang di saat kita siap menerima apapun yang datang di hadapan kita.

Mungkin aku terluka dulu — terluka banyak dan lebar, namun sekarang aku sudah melepas semuanya. Aku sudah memaafkan. Meski mungkin belum 100%, tapi sekarang pundakku lebih terasa ringan, pun napasku.

Dalam relasi romantis, tentu sudah ada perkembangan yang cukup besar. Meski masih clingy dan selalu berekspektasi, aku sudah bisa bilang ke semua lelaki yang kukenal dari mana-mana bahwa yang kubutuhkan adalah: hubungan romantis.

Maka, sekarang ini lebih mudah bagiku untuk memangkas hubungan yang tidak penting dan merugikan diriku. Ini sebuah improvement yang besar. Aku bangga pada diriku soal ini.

Sebagai individu, aku bukan orang yang sempurna, aku bukan orang baik, kekuranganku di sana sini, tubuhku berlubang di sana sini. Dan tak apa.

Aku tak takut — atau mungkin takut? — untuk menjalin relasi romantis lagi, setelah pengalaman buruk yang kualami. Meski begitu, aku paham betul bahwa bagian dari diriku berupa racun yang siap menghancurkan hubungan jenis apapun.

Maka, pelan-pelan… pelan-pelan…

Terlalu banyak, ya?

Menulis ini ternyata membutuhkan energi yang sangat besar. Sudah begitu pun, masih banyak yang belum tertulis, masih menempel di kepalaku dan dadaku. Lagi-lagi, ndak papa.

Kita pasti punya cerita soal trauma masing-masing. Ngga papa, kok.

Semua yang terjadi padaku, pada dirimu, semuanya.. wajar adanya. Ingat! Kesedihan ngga akan bertahan lama, juga kebahagiaan.

Apapun itu, kamu sudah luar biasa. Semoga kita lekas sembuh! ❤

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali