Mati Sepi Sendiri
Lagu dari Mas (1)
Terima kasih mas, sudah kasih aku dengar lagu ini. Aku suka banget sama lagunya, terutama intronya. Enak banget.
Tapi dipikir, lama-lama aku sedih.
Ribuan syair indah
Terlantun suara sumbang
Hanya gila di dalam rasa sayang
Kamis lalu aku kirim mas tautan kolaborasi playlist di spotify. Aku sudah tambahkan lagu favoritku di dalamnya, selanjutnya mas kuminta untuk bisa turut serta masukkan lagu apapun yang mas suka.
Menurutku, ini cara yang penuh romansa, dan termasuk bagaimana cara kita mengenal satu sama lain. Dengan berbagi musik yang kita sukai.
Kuberi judul, “Dengerin bareng cok” — awalnya: “Dengerin bareng mas”.
Aku sadar ada lagu yang mas tambah pernah mas cover juga. Dan aku lebih suka versi yang mas cover, jujurly. Ndak tahu kenapa. Ya suka aja. Aku selalu suka dengar mas bernyanyi — aku suka suara mas.
Sorenya, setelah mas tambahkan lagu ke dalam situ, aku langsung putar lagu-lagunya. Orang di belakangku pasti pikir aku aneh, karena jalanku loncat-loncat sedikit saking girangnya. Untung aku pakai masker, jadi senyum yang kusimpulkan di bibirku ndak terlihat.
Aku senang sore itu.
Aku senang jalan pelan-pelan sambil dengar lagu dari mas.
Aku senang tahu apa yang biasa mas dengar.
Aku senang dengar lagunya bareng mas.
Aku sebetulnya bukan mau bahas lagu ini.
Aku mau berterima kasih atas semua yang terjadi di hidupku. Aku mau berterima kasih kepada diriku sendiri yang sudah memberi waktu dan ruang pada keadaan — untuk belajar menerima semuanya.
Aku mau berterima kasih pada takdir yang begitu lucu dan gemas. Takdir perkenalan ini. Hidup memang sekocak itu. Tidak bisa diprediksi, penuh ketidakpastian. Penuh dengan jalan yang tak pernah kita duga sebelumnya.
Meski kerap kali di depanmu aku tak ubahnya “reog”, sejujurnya aku seperti bulu babi. Aku lebih suka diam, tidak menggunakan otakku untuk merespon stimulus terlalu banyak.
Orang terdekatku lainnya mungkin akan tertawa membaca ini. Aku bukan bulu babi yang ngga punya otak! Aku ini bebek. Kalau sudah bicara, aku bicara terus. Aku ngga akan berhenti kecuali sudah berpisah, dan kemudian aku mengaktifkan mode bulu babi lagi tepat aku sampai rumah.
Bebek dan bulu babi itu menyebalkan. Egois. Terlalu paham caranya menyakiti. Begitu pula aku.
Berapa banyak aku menanyakan kabarmu? Tidak sebanding dengan usahamu memastikanku sedang baik-baik saja tiap harinya.
Berapa banyak kamu mengeluh padaku? Tidak sebanding denganku yang selalu ingin didengar dan dimengerti, meski kadang aku cuma butuh tong sampah saja. Dan rasanya tidak bijak menjadikanmu tempat berkeluh kesah sejauh itu.
Aku paham betul bahwa sebagian besar diriku adalah racun untuk hubungan jenis apapun. Termasuk untuk diriku yang lemah ini. Yang selalu kesepian berharap kasih tanpa tahu bagaimana aku memberi kasih.
Seperti katamu, orang sesabar apapun akan muak juga.
Bagaimana kalau kita dipertemukan untuk ujian lainnya?
Aku yang tak punya sabar ini diuji untuk “belajar” sabar, dan kamu yang sabarnya seluas lautan diuji untuk tetap sabar dan tidak pada akhirnya muak?
Seperti katamu juga, ini tak akan berakhir sia-sia. Maka aku mengamini kata-katamu lagi, “Kalaupun kita disatukan, pasti selalu ada jalan.”
Aku ngga mau sendirian.
Aku ngga mau sendirian.
Mau sama mas.
Mau sama mas.