Mengapa bukan aku yang dipilih? — Part 2

Melepas yang tak ingin digenggam.

Milla Christia
9 min readFeb 19, 2025
Photo by Giuseppe CUZZOCREA on Unsplash

Tak berapa lama ia membalas….

Jawabannya jelas drama dan defensif. Daripada menghargai perasaanku yang valid dan bermakna kekecewaan yang jelas, dia memilih untuk menghindari tanggung jawab dan mengubah narasi seolah-olah aku yang salah karena berasumsi.

Mari kita highlight bersama.

Aku ngga akan menjelaskannya satu persatu, tapi dengan mengetahui jenis defense dan manipulasi dari jawabannya, aku harap kita akan lebih pintar dan tahu kapan harus pergi, jika menemui kasus serupa.

Balasannya (1)

Kotak merah.

Amboi, baru kalimat pertama sudah defensif.

“Aku sesalah itu ya?”

“Masih salah di matamu?”

Balasannya defensif dan mencoba menarik simpati seakan dia adalah korbannya (dengan dia bertanya, ‘masih salah di matamu?’), dan narasinya memutarbalikkan fakta seolah aku yang salah karena berasumsi. Lagipula itu bukan asumsi. Instagram reels yang dia post di waktu berdekatan setelah ‘ajakan pertemuan’ itu benar adanya.

Aku akui, satu kesalahanku adalah: di pagi hari saat baru bangun itu, tiba-tiba saja tanganku membuka isi instagramnya. Saat itu aku lihat konten se-proper-itu yang isinya dia dan pacarnya sedang menikmati waktu bersama, dengan backsound lagu The Adams.

Bunga-bunga yang bermekaran di situ menguarkan wangi harum dan senyum bungah keduanya. Rekaman perjalanan yang dimulai sejak boarding, tangan mengepal tanda ‘deg-degan’ dalam pesawat untuk pertemuan yang sudah dinantikan, perjalanan di atas awan, rekaman candid sang kekasih.. semua terlalu proper dan tak canggung sama sekali.

Aku tidak sedang berasumsi.

Aku semakin yakin bahwa ajakannya hanyalah basa basi busuk dan coba-coba — seperti yang selama ini dia lakukan padaku — di saat kegabutannya.

“Coba like instagramnya, ah.”

“Coba chat lagi, ah.”

“Mau ke Jakarta nih, sekalian ketemu Amel, ah.”

Perhatikan. Kata-kata ‘sekalian’, beda tafsir dengan, “mau ke Jakarta untuk bertemu Amel”. Tidak ada urgensi di balik kata “sekalian”. Percaya tak percaya, terima tak terima, aku memang tak pernah sepenting itu baginya.

Beda “menyempatkan waktu” dengan “sekalian” atau “jika sempat”. Jangan terkecoh, ladies!

Narasi berbau gastlight dan memutar balikkan fakta ini bikin kamu merasa konyol dan mempertanyakan sendiri perasaanmu. Bikin kita mikir, “apa benar aku yang berasumsi?” atau, “apa aku berlebihan?”

Kotak kuning.

Penjelasan yang tidak perlu, tapi pada satu kesimpulan: sudah ada ‘kecenderungan’. Aku menerima kalau bukan aku. Bukan aku satu-satunya.

Emotional justification, yaitu ketika seseorang menggunakan emosi untuk menjustifikasi/mewajarkan apa yang mereka lakukan. Ini jelas taktik busuk manipulatif.

Dia menyajikan penjelasan berbelit yang ngga perlu untuk membenarkan tindakannya. Aku tak minta penjelasan apapun. Perlu diingat dan digarisbawahi: aku tidak kecewa dia punya pasangan. Aku kecewa karena dia hanya mempermainkanku.

Faktanya: dia bertemu pasangannya yang sekarang di waktu bersamaan dia mengajakku bertemu.

Bukankah ini mempermainkan perasaan orang lain?

Dia bilang sendiri tuh — yang ngga dia sampaikan ke aku menyoal tujuannya ajak aku ketemu, kecuali untuk ‘sekedar’ nongkrong— , “ketika ketemu dan ngga sreg silahkan pergi”. Artinya antara dia dan pacarnya sudah ada kecenderungan ke arah hubungan, kan?

Kenapa jadi aku yang berasumsi?

Kalau sudah ada kecenderungan dengan perempuan itu, kenapa juga ajak aku ketemu? Jangan pernah lupa sejarah! Hubungan kita tak pernah berakhir baik.

Kotak hijau.

Garis bawahi “kehati-hatian”.

“Sama seperti kamu….”

“Posisi kemarin sama seperti yang pernah kamu lakukan kepadaku.”

Whataboutism adalah taktik manipulasi dalam percakapan di mana seseorang mengalihkan perhatian dari isu utama dengan membandingkannya dengan hal lain yang sebenarnya tidak relevan.

Keadannya jelas berbeda. Aku buka dating apps saat aku tidak sedang berhubungan dengannya — setelah dia lari saat aku tanya status kami apa. Sementara dia bertemu pasangannya saat dia masih memberikan harapan kepadaku. Dengan dia ajak aku ketemu, bukankah akan sama saja seperti sebelumnya? Kau datang, kasih harapan, lalu pergi lagi?

Dia bilang begitu seolah-olah aku pantas mendapatkan hal yang dia lakukan kepadaku karena aku pernah melakukan hal yang sama menurutnya (main dating apps dan bertemu dengan orang dalam satu jangka waktu). Padahal jelas, situasinya berbeda.

Ditambah dia bilang, “kehati-hatian”. Sudah punya dua perempuan yang sama-sama dia dekati pun, dia masih bilang — kehati-hatian. Sebingung itukah dirimu, kawand?!!

Lagipula, hati-hati seperti apa? Hati-hati kalau A tidak mau, maka ke B, sebaliknya pun begitu, iya kah?

Kalau dari awal ragu, mestinya ngga perlu maju-mundur tarik-ulur. Kalau begitu banyak pertimbangan, lebih baik kau akhiri, timbang bingung dan bikin orang lain tambah bingung.

Balasannya (2)

Kotak ungu.

Lucu.

“Mungkin kalau kamu iyakan kemarin”.

“Aku sakit hati baca pesanmu, lalu salah aku menghubungi dia?”.

Gaslight. Memutarbalikkan fakta dan berperan sebagai korban (playing the victim). Menyalahkanku akan keputusannya memilih perempuan lain.

Dengan dia bilang, “mungkin kalau kamu iyakan kemarin”, sama dengan “kalau aja kamu mau ketemu, aku ngga akan sama dia”, begitu kan?

Keputusan dia melanjutkan hubungannya dengan perempuan lain, BUKAN karena penolakanku. Penolakanku adalah insting alami yang lahir dari akumulasi sikapnya selama kami berhubungan, dan pilihannya berpasangan dengan perempuan lain itu bukan karena aku, tapi karena dia yang memutuskan untuk melanjutkan hubungan dengan pasangan yang sekarang. Tolong bedakan ini ya, mas pulu-pulu!

Kotak orange.

Sesat.

“sama ketika aku mencoba nanya baik-baik blah blah…. ketika kamu berpacaran dengan…”

False equivalence. Membandingkan situasi kami saat ini dengan hubunganku dan pasanganku sebelumnya. Ini jelas beda konteks. Hampir sama dengan whataboutism, dia mencoba untuk membandingkan situasi masa lalu yang jelas beda konteks.

Sekali lagi kubilang, saat aku bertemu pasanganku yang dia bilang itu, aku sudah memutuskan hubungan dengannya setelah dia menolak dan menghindariku. Sementara dia, bertemu pasangannya saat mengajakku bertemu.

Menyamakan situasi yang berbeda jelas taktik manipulasi. Dia mau bilang kalau dia bisa bersikap lebih dewasa karena saat itu dia tak marah padaku karena aku pacaran sama laki-laki lain, yang ujungnya untuk membuatku merasa bersalah karena aku kecewa, sementara saat aku punya pacar, dia tidak kecewa atau bereaksi apapun.

Balasannya (3)

Kotak coklat.

LOLOT!

“Aku bahkan ga menganggap kita berakhir, cuma belum waktunya”.

Ini tolol banget. Maksudnya nyuruh aku nunggu lagi? Tolol!

“Tidak menganggap kita berakhir, hanya belum waktunya”. Bahkan sampai dia yang sudah JELAS punya pacar dan dipublish ke dunia pun, dia masih kasih ‘harapan’ ke perempuan lain — aku?

Ladies, kata-kata ini jelas untuk menarik kita dalam ambiguitas, abu-abu, ngga jelas, cuma harapan palsu!

Kotak biru muda.

Kapan aku puas? Kau hanya memuaskan kejantananmu!

“Aku yang salah ngga bisa maintance, puas?”

Dari sekian banyak respon yang lebih sehat, dia memilih mengakui kesalahannya TAPI diakhiri pertanyaan retoris yang sarkas untuk membuatku berpikir bahwa aku yang bersalah. HAH??!

Dia mengaku salah, tapi bukan karena dia betul-betul merasa bersalah. Itu hanya bentuk defensifnya, bukan betul-betul dia paham ‘tindakan yang ia lakukan telah menyakitiku’.

Kotak fuschia.

Udah? Buru-buru amat kaburnya!

“Udah, ya.”

“Terserah kamu mau menilai gimana lagi.”

Rasanya gimana kalau di tengah perdebatan, lawan debatmu bilang “udah, ya, terserah kamu”, wooyyyy tolong ini namanya sikap pasif-agresif!

Dia ngga mau bertanggung jawab, dia ngga mau menghadapi masalah, dia mau lari! Alih-alih menghadapinya secara terbuka, dia memilih untuk menutup diri dan lari!

Kau sering begini, kan? Berkali-kali balik, datang-pergi-datang-pergi, ketika aku tanya “kita ini apa?” kau akan lari.

Laki-laki ini lagi-lagi “tidak menganggap perasaanku penting”. Dia seperti bilang, “Aku nggak peduli lagi dengan apa yang kamu rasain atau pikirkan. Jadi, yaudah kita akhiri saja.”

Lagi-lagi dia tidak memedulikan perasaanku. Untuk sekian waktu yang kita lalui, untuk sekian banyak perbincangan, untuk sekian banyak masalah yang ujungnya tanpa resolusi, dia masih sama tidak pedulinya pada perasaanku.

Pola seperti ini yang terus-terusan terjadi antara aku dan dia. Ini yang bikin aku menyerah. Kebodohanku lainnya: aku menerimanya kembali.

Kembali ke konteks

Semuanya belum berakhir. Aku menjawabnya lagi untuk mengembalikan jawaban ngawurnya ke dalam “konteks”.

To make it clear. Aku tidak muncul untuk mengonfrontasi dia secara dramatis. Fokusku adalah rasa kecewaku padanya. Fokusku adalah perasaanku. Fokusku adalah membuat closure untukku.

Aku mengembalikan konteks ke “alasan aku mengirim pesan, ya karena aku kecewa dia mempermainkanku, bahkan sampai kemarin.” Perasaanku valid, dan terbukti.

Aku sampaikan juga padanya bahwa aku ngga mau membuang-buang waktuku lagi, apalagi untuk menunggu hal yang tak pasti buatku. Ingat! Meminta orang lain menunggu padahal kamu tak bisa kasih kepastian itu tindak kejahatan emosional! Kamu mempermainkan perasaan orang lain.

Kalau ngga, bilang engga. Kalau iya, bilang iya. Orang yang sehat ngga akan pernah bikin orang lain bingung.

Ia menjawabnya lagi.

Masi defensif, kawan!

Kotak abu-abu.

Semua salah aku, semua karena aku, nyenyenyenye…

“Iya emang semua salah aku…..”

“Aku yang ngga pernah ngerti.”

“Aku yang selalu telat.”

Mengasihani diri sendiri berlebihan. Untuk apa? Untuk bikin aku bersimpati padanya. Oh, amboi.. Kata-kata ini rasanya ngga asing dalam hubungan kami. Ternyata, ini yang bikin aku selalu balik.

Kotak lilac.

Sumpah serapah lolot!

“Aku terima semua sumpah serapahmu.”

Tidak ada sumpah serapah. Coba kau baca ulang baik-baik dari awal pesanku. Tidak ada sumpah serapah sama sekali. Aku hanya menyampaikan rasa kecewaku.

“Gak perlu diingat juga kok, hal baikku, kalau terkalahkan dengan rasa sakitmu.”

Amboi… Rasa-rasanya kecewaku ini masih tidak seberapa besar sampai-sampai aku perlu menyebut kebaikanmu satu per satu? Ayo sebutkan kebaikanmu. 1, 2, 3… apa? Kebaikanmu yang mana?

Ladies, jangan terkecoh kalau ada laki yang bilang gini. Dia bilang hal ini — lagi-lagi — untuk mengerdilkan perasanmu (minimizing your feelings). Dia mau bilang bahwa reaksimu berlebihan dan kamu hanya fokus pada kesalahannya, bukan kebaikannya.

Kotak biru tua.

Maaf maaf maaf.

Pasrah. Lagi-lagi pasrah dan bermain peran korban. Bermain peran legawa, lagi-lagi untuk apa ladies?

Yes. Untuk mengerdilkan perasaanmu — rasa kecewamu — lagi-lagi. Untuk membuatmu merasa bersalah, membuatmu merasa yakin kalau kamu sudah berlebihan.

“Kalaupun emang semua doa buruk juga pantas buatku aku selalu menerimanya, Mel. Asal kamu bahagia dan lega.”

Playing victim (lagi-lagi). Memutarbalikkan fakta jadi aku yang “jahat” karena misuh-misuh dan mengutuk dia. Padahal, aku hanya menyampaikan rasa kecewaku.

Baca dah, pesanku dari atas. AKU tidak pernah memaki, tidak pernah satu kata burukpun keluar, meski yes… ada banget pengen bilang KONTOL dan marah membabi buta. Tapi aku memilih menyampaikan perasaan kecewaku se-asertif-mungkin.

Kenapa jawabannya malah defensif?

Babak Akhir

Tidak sampai di situ, aku masih melanjutkannya. Meski bagiku sudah cukup, satu statement terakhir ini menjadi penutup untukku, dengan masih mempertegas “rasa kecewaku”.

Sekali lagi aku menyampaikan perasaan kecewaku.

Dia membalas…..

(end)

“Iya maaf, KALAU MENURUTMU…..”

Kalau menurutku berarti bukan menurutmu?

Dia masih membalasnya dengan permintaan maaf yang ngga tulus juga. Permintaan maaf hanya untuk meredakan konflik, permintaan maaf yang “yaudahlah, lo mau gue minta maaf, kan?”

Aku tidak membutuhkannya. Toh, dari dulu begitu.

Aku tidak membalasnya lagi, dan itu lah bagaimana kami berakhir.

The end

Sebelum menulis ini, aku bilang ke Aya Canina, “Gue pengen ni orang baca! Tapi ya ngga perlu juga sih, dia ngga akan ngerti!”

Aya jawab, “Mel, emang menurut lo, apa yang selama ini gue tulis menyoal enabler, kekerasan, tu orang-orang — enabler dan pelaku kekerasan — bakal baca, lalu sadar? Engga!”

Aya melanjutkan, “Pada akhirnya, kita berharap, tulisan kita akan dibaca oleh orang-orang yang bernasib sama seperti kita.”

Pada akhirnya, tulisan ini aku tunjukkan untuk kalian yang bernasib sama, atau kemungkinan memiliki nasib yang sama.

Jangan lagi kasih kesempatan orang yang tak menghargaimu masuk ke hidupmu. Kamu pantas mendapatkan hal yang lebih baik. You deserved the world!

Aku sudah satu langkah lebih maju.

— end.

[Part 1], kalau kau belum baca atau mau baca lagi.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Milla Christia
Milla Christia

Written by Milla Christia

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali

No responses yet

Write a response