Menilik Kembali Luka Batin May

Agnicia Rana
4 min readSep 29, 2020

--

Day 7 of 30 days writing challenge: favorite movie.

Poster Film 27 Steps of May (Diambil dari Wikipedia)

Bicara soal film paling disuka, tentu hal yang sulit. Terlalu banyak film bagus yang ditonton, dan rasanya sulit untuk memilih mana yang paling baik. Terlebih, bicara hal paling disuka itu relatif. Kau bisa suatu hal yang bagimu menarik, belum tentu aku dan yang lain begitu. Begitu pula hal yang kusuka, belum tentu kau suka juga.

Maka kita buat singkat saja. Hal yang aku tulis kemudian seperti mereview film secara amatir, karena kau harus tahu, jika aku disuruh meranking, menilai satu-satu, aku paling susah. Di kepalaku hanya ada dua jawaban: bagus atau biasa saja. Untuk musik dan buku pun demikian — ah, pantas akun goodreadsku mati.

Baik.

Film yang paling kusuka — tentunya yang sudah aku tonton, jatuh kepada film berjudul “27 steps of May”. Film ini aku tonton di bioskop, di minggu awal pemutarannya di bioskop indonesia. Anyway, ternyata film ini diproduksi tahun 2018 dan pertama kali ditayangkan di Indonesia yaitu di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (sumber: Wikipedia).

Film ini disutradarai oleh Ravi Bharwani dan naskah film ini ditulis oleh Rayya Makarim.

Film ini bercerita mengenai May (diperankan oleh Raihanuun), seorang penyintas kekerasan seksual yang mengalami trauma setelah ia diperkosa oleh beberapa lelaki saat usianya 14 tahun. Di awal film, kita sudah disuguhkan adegan pemerkosaan yang memilukan.

Delapan tahun setelahnya, May belum juga sembuh. Di situ kita diperlihatkan betapa besar trauma yang dialami May. Ia membangun ruang pribadinya sendiri, yang bahkan tak bisa dimasuki oleh sang ayah. Di dalam kamarnya, ia hidup selama ini — barangkali sesaat setelah kejadian pemerkosaan itu terjadi. Ia membatasi dirinya dari dunia luar. Dunianya ya hanya kamarnya itu.

Film ini sungguh depresif, walau tanpa dialog — sedikit sekali dialog dalam film ini. Namun kita bisa melihat dengan jelas betul trauma yang dialami May hanya dari tatapan mata dan gesturnya. Serta kehidupan May setelah ia direnggut.

Barangkali ketika orang terdekatmu mati, masih mungkin kau untuk segera berdamai dengan rasa kehilangan itu. Namun bagaimana jika dirimu yang mati?

Lagi-lagi kubilang, kita semua bisa lihat itu dalam diri May.

Dalam film kita disajikan dengan kebiasaan yang monoton. Bangun pagi, kemudian mandi dan menyetrika baju dengan pelan-pelan dan hati-hati tak mau ada sedikitpun lekukan pada baju yang disetrika — baju yang dipakai pun selalu berwarna putih atau pastel dan seperti itu-itu saja — , kemudian bekerja menghias boneka, lalu makan makanan yang serba putih — setelahnya kita tahu, bahwa saat kejadian pemerkosaan itu, ia dicekoki makanan berbumbu, mungkin nasi goreng?

Ia bahkan membatasi interaksi dengan ayahnya sendiri. Ia tak membiarkan ayahnya masuk ke ruang pribadinya kecuali saat menyiapkan meja untuk ia bekerja menghias boneka.

Rutinitas yang begitu ia lakukan setiap hari selama delapan tahun. Bisa kau bayangkan? Sebagai yang bukan penyintas, rutinitas macam itu tentu membuat kau gila, bukan?

Jika ia marah, yang ia lakukan adalah lompat tali sampai ia lelah. Saat kejadian itu terbayang, ia akan pergi ke kamar mandi dan berusaha berdamai dengan melukai pergelangan tangannya sendiri dengan silet.

Bapaknya (diperankan oleh Lukman Sardi) pun tak kalah depresif. Rutinitas macam itu pun khatam dilakukannya tiap hari. Selepas penat dan patah hatinya melihat anaknya tersiksa, ia menghabiskan waktunya untuk menghajar siapa saja yang maju melawannya di ring tinju. Barangkali pun itu satu-satunya caranya untuk melepas rasa sakitnya.

Di pertengahan film, terjadi kebakaran tepat di belakang rumah May — lebih tepatnya bersebelahan dengan kamar May. Saat kejadian ini diperlihatkan, sangat jelas bahwa bahkan di saat tergenting pun May lebih memilih berada di area privasinya. Ia menolak keluar dari sana meski api mungkin saja melahapnya habis.

Kebakaran itu meninggalkan lubang kecil kemudian. Dari dalam lubang itu ternyata ada tokoh pesulap (diperankan oleh Ario Bayu) yang dengan trik-triknya mampu membuat May berubah lebih baik. Perlahan rutinitas May berubah. Tiap harinya ia selalu menyempatkan waktu untuk turut belajar sulap bersama sang pesulap. Melalui trik sulap itulah mereka berkomunikasi, hingga May mulai terbuka, bahkan melewati batas teritorynya sendiri, dan pergi ke tempat pesulap melalui lubang itu.

Di akhir cerita, kita bisa melihat akhirnya May keluar kamar dengan baju cerah, kemudian memeluk Bapaknya dan bilang, “Bukan Salah Bapak”. Kemudian ditutup dengan ia yang jalan keluar rumah.

Dari film ini kita bisa ambil kesimpulan: tak mudah untuk menyembuhkan trauma baik itu untuk penyintas maupun keluarganya. Mungkin jika tak ada kejadian pemerkosaan itu (atau di manapun di dunia ini), penyintas punya masa depan yang jauh lebih baik dan bisa hidup dalam hangat dan nyaman. Pentingnya support system dan keinginan untuk keluar dari zona nyaman (dalam hal ini kita bisa lihat pada adegan May dengan pesulap) begitu berarti juga bagi penyintas.

Luar biasa, buat sutradara, penulis, pun para pemain!

— — —

Sumber:

“Delapan Catatan Tentang 27 Steps ofMay” — https://cinemapoetica.com/delapan-catatan-tentang-27-steps-of-may/

“27 Steps of May” Wikipedia

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali