Menjadi Perempuan, Hingga Keputusannya Untuk Memiliki/Tidak Memiliki Anak

Agnicia Rana
8 min readFeb 14

--

Day 2 of 30 Days Writing Challenge— Talk about Viral Issue (Childfree).

Source: Pinterest.

“Di mana-mana sepanjang zaman”, kata Juliet Mitchell, ahli psikoanalisis dan feminis sosialis inggris, “perbedaan anatomi antara laki-laki dan perempuan mendapatkan konsepsi sosialnya.” Tentang soal perempuan, kata K.H. Dewantara, yang terpenting dan sama sekali tidak boleh kita lupakan atau kita ungkiri ialah “kodrat” perempuan. “Inilah keadaan yang nyata, yang khaq dan… bahwa tubuh perempuan itu berbeda sekali dengan badan orang laki-laki, karena perbedaan itu berhubungan dengan kodrat perempuan, yaitu kewajibannya akan menjadi ibu, akan mengandung anak, melahirkan anak dan lain-lain.” — Hersri Setiawan, Awan Theklek Mbengi Lemek, 2012.

Aku sudah pernah bahas ini sebetulnya. Kamu bisa cek di tulisanku, Childfree, lah emang ngapa?

Siapa bilang menjadi perempuan itu mudah?

Sedikit bahas sejarah, yang kurang lebih dibahas di buku yang sedang kubaca ini, Awan Theklek Mbengi Lemek — yang baru kubaca 2o halaman, yang tentunya belum bisa untuk menyimpulkan keseluruhan isi bukunya. Baca buku ini aku jadi ingat kelas Feminis, Hypatia, bareng Mba Ester Lianawati, yang di awal-awal tahun kemarin banyak membahas mengenai sejarah perempuan dan ideologi kejantanan itu sendiri.

Sejarahnya, dalam bertahan hidup, perempuan sejak dulu memegang peran yang penting. Dulu, seperti yang sudah kita tahu, cara bertahan hidup dimulai dengan berburu. Berburu itu tugas siapa? (Sebetulnya tidak ada bukti konkret juga, tapi dari fosil yang ditemukan — kalau tidak salah memahami, ditarik lagi ke zaman jauh-jauh sebelum ini, bahwa perempuan juga sejak itu memegang alat berat untuk berburu.

Semakin majunya peradaban, pola pikir manusia pun berubah. Cara bertahan hidup berubah. Selanjutnya, tugas berburu (mencari hewan untuk dimakan), adalah tugas lelaki. Perempuan bertugas untuk mencari tanaman, tumbuhan, untuk dimakan atau dijadikan obat. Perempuan keluar juga untuk mencari bahan makanan supaya ia dan keluarganya bisa bertahan hidup. Ia tidak kemana-mana hanya di saat mengandung, atau bayinya masih merah.

Semakin majunya pola pikir manusia, kemudian, segalanya pun berevolusi. Perempuan pada akhirnya, dengan segala kelihaian berpikirnya saat itu, yang awal mulanya ia keluar jauh untuk mencari tanaman untuk dimakan, ia belajar untuk mulai bercocok tanam. Dibawanya tanaman itu ke rumah, dan mulai bercocok tanam. Ia taruh benih-benih itu di dekat rumah, agar nantinya ia tak perlu jauh keluar rumah.

Pada masa itu, karena memburu sumber pangan yang berlarian dari tempat satu dan lainnya. Sekarang sesudah kaum perempuan pandai bercocok tanam, mereka diikat oleh sumber pangan yang tidak berkisar bahkan satu jengkal pun! — Hersri Setiawan, Awan Theklek Mbengi Lemek, 2012.

Selain bercocok tanam, perempuan juga lah yang membangun gubuk untuk berteduh baginya dan anak-anaknya, sambil menunggu tanaman mereka berbuah. Perempuan juga yang mengambil daun pandan untuk dianyam menjadi tikar, mencoba berbagai macam resep makanan, mencari ramuan obat-obatan, hingga menjadi komponis lagu ninabobok yang pertama, ya dilakukan oleh perempuan (Hersri Setiawan, Awan Theklek Mbengi Lemek, 2012).

Bisa dibilang, awal mulanya kenapa perempuan disebut sebagai pembangun peradaban, ya ini! Maka betapa besar jasa perempuan dalam kehidupan, kita harus sama-sama mengakuinya.

Namun seiring berjalannya waktu juga, tentu ada perubahan. Dalam bercocok tanam membutuhkan lahan yang datar, bukan hutan. Binatang buruan mundur terdesak jauh ke belakang. Kebutuhan memakan daging pun berkurang. Kaum laki-laki mulai berternak sebagai persediaan daging dan alat pendukung lainnya. Kerbau untuk membajak sawah, anjing untuk menunggu ladang, dll.

Dari peradaban yang kian maju, fungsi sosial pun berubah. Perempuan yang tadinya aktif bercocok tanam, kemudian fungsinya digantikan oleh laki-laki, termasuk masih berternak. Perempuan selanjutnya hanya sebagai pendukung saja untuk mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, dan mengurus anak-anak.

Laki-laki bekerja — yang artinya menghasilkan, ada nilai produksi dan ekonomi di dalamnya. Sementara, hamil, melahirkan, menyusui, mengurus anak, mengerjakan pekerjaan rumah lainnya tidak disebut pekerjaan karena tidak ada nilai produksi dan tukar ekonomi di dalamnya.

Perempuan kemudian dibatasi ruang geraknya, perempuan adalah milik lelakinya saja. Maka ia harus dijaga betul-betul dan tidak bisa membagi dirinya untuk lelaki lain. Pertarungan perebutan tanah dan hasil produksi pun dimulai, dan bisa ditebak: yang kalah akan menjadi budak. Diperbudak untuk melaksanakan fungsi bercocok tanam dan berternak tadi.

Perempuan masih di rumah, dengan anak-anak dan pekerjaan rumahnya yang katanya tidak menghasilkan itu. Fungsinya bertukar. Dari yang sebelumnya menjadi awal mula pendiri peradaban, kemudian hanya menjadi makhluk yang selalu melekat dengan lelakinya.

Perempuan kemudian jadi sex kedua, yang fungsinya untuk menghasilkan anak. Yang suaranya, dirinya ada di bawah lelaki. Yang tidak bisa memilih, tapi yang dipilih. Yang selalu disalahkan karena ia perempuan.

Dari pemaparan di atas, yang sebagian besar aku tumpahkan dari buku Awan Theklek Mbengi Lemek, juga materi kelas Feminis, Hypatia, bareng Mba Ester Lianawati — kelasnya bisa kamu cek di instagram official Hypatia atau di websitenya (link).

Kebayang ngga? Bahkan dari dulu perempuan sudah dibebankan untuk melakukan pekerjaan rumah yang katanya, “itu kodrat perempuan”. Untuk di rumah, untuk melahirkan, untuk mengurus anak, untuk patuh kepada suaminya. Padahal pekerjaan paling sulit dan tidak dibayar adalah: menjadi ibu.

Sedikit mengenai kodrat, yang awal banget kubahas, bahwa: ……..yang terpenting dan sama sekali tidak boleh kita lupakan atau kita ungkiri ialah “kodrat” perempuan. “Inilah keadaan yang nyata, yang khaq dan… bahwa tubuh perempuan itu berbeda sekali dengan badan orang laki-laki, karena perbedaan itu berhubungan dengan kodrat perempuan, yaitu kewajibannya akan menjadi ibu, akan mengandung anak, melahirkan anak dan lain-lain.” — Hersri Setiawan, Awan Theklek Mbengi Lemek, 2012.

Kodrat itu sendiri, menurut KBBI ialah “kekuasaan Tuhan”, yang mana manusia tidak akan mampu menentang atas dirinya sebagai makhluk hidup.

Perempuan selalu dilekatkan pada kodratnya untuk hamil, menyusui, maka mengurus anak-anaknya pun melekat pada tugasnya sebagai ibu — yang juga perempuan.

Lantas, apakah ia tidak bisa memilih? Apakah ia tidak bisa memutuskan untuk tidak menjadi ibu?

Pertanyaan ini sungguh mengusik diriku. Jelas, karena sebagai perempuan yang pernah menikah, aku dibebankan oleh mantan suamiku untuk menjalankan “kodrat”-ku sebagai perempuan — yang istrinya. Mengurus rumah tangga, hamil dan melahirkan anaknya, kemudian duduk di bangku sambil ia menasehatiku tanpa aku membantahnya. Baginya, ia adalah raja, dan menurutnya, ia memperlakukanku sebagai ratu — ratu yang akan dan harus melahirkan puteri dan pangeran dari spermanya.

Sementara dalam pikiranku, dalam benakku, segalanya tidak pernah mudah. Termasuk pertanyaanku pada diriku sendiri, apakah aku (secara biologis) mampu memiliki anak?

Jika menstruasi, hamil, menyusui adalah kodrat bagi perempuan, apa mereka yang tidak mampu, menjadi bukan perempuan? — termasuk aku, yang 2 tahun menikah belum memberi suamiku anak? — katanya, aku yang tidak bisa karena ia pikir ia cukup jantan untuk bisa menghamili perempuan, siapapun perempuannya.

Itu jelas ideologi kejantanan.

Tubuhku saat itu dijajah sebegitunya. Untuk menjadi mesin anak, yang selalu dipertanyakan kemampuannya untuk mengandung bayi hasil kerja isi perut suaminya.

Betapa mengerikannya menjadi perempuan yang selalu berdiri dengan kodrat-nya menjadi perempuan hanya karena ia perempuan.

Kembali ke pertanyaan: Lantas, apakah perempuan bisa memilih?

Menurutku, keputusan yang dibuat oleh Gitasav, atau banyak orang di luar sana (laki-laki maupun perempuan), yang memilih untuk menjadi childfree, itu adalah keputusan yang sangat berani, terutama untuk mereka yang hidup di lingkungan di mana perempuan menikah, kemudian selanjutnya hamil dan melahirkan anak.

Kita — masih — hidup di tengah ideologi yang mendiskreditkan perempuan sebatas alat reproduksi semata, dan laki-laki sebagai raja, di atas perempuannya.

Maka keputusan perempuan yang memilih untuk childfree, patut diberi apresiasi. Di luar jawaban yang: melawan kodrat lah, tidak bersyukur, dll. Memang kita — di luar dirinya ini, paham apa yang terjadi pada mereka?

Kita sibuk membanding-bandingkan, mengagung-agungkan influencer/orang-orang yang menikah dan langsung punya anak, lalu langsung iri akan pencapaian itu. Kita berpikir itu hal yang romantis, memabukkan, hidup yang sempurna. Padahal itu hanya ilusi.

Bagiku, perempuan pun punya pilihan. Sama seperti laki-laki yang selalu punya opsi lainnya.

Perempuan yang memilih untuk tidak menikah dibilang: perawan tua, perempuan ngga laku, atau perempuan mandiri yang terlalu ambisius yang mementingkan pekerjaannya.

Laki-laki yang tidak menikah dibilang, “Wajar, kan mau capai A, B, C dulu.”

Perempuan sudah menikah, kemudian ditanya, dipegang perutnya, “Kapan isi?” Suaminya? Apa pernah ada yang tanya sambil memegang penisnya, “Hei, bung, kamu sudah berhasil belum menghamili istrimu?”

Laki-laki yang merokok dipandang keren, maskulin, sementara perempuan yang merokok akan selalu dibilang, “Jangan merokok, nanti susah hamil”, sama dengan perempuan yang memelihara kucing di rumahnya. Pernahkah laki-laki yang merokok, atau memelihara kucing, dibilang, “Heh, nanti kau ngga bisa menghamili istrimu! Nikotin itu merusak spermamu, bulu kucing itu menghambat gerak spermamu.”

Perempuan yang berhasil hamil pun dibuat bingung. Lahiran harus normal, kalau engga katanya belum sempurna menjadi ibu. Begitu anaknya lahir, ia harus langsung menyesuaikan diri dengan tangisan dan kebutuhan anaknya. Ia menjadi kehilangan dirinya sepersekian persen, karena harus membersamai tumbuh kembang anaknya.

Belum lagi, saat suami bekerja, ia harus tetap menjaga kebersihan dan kerja rumah. Makanan di meja makan harus ada, pakaian suaminya harus siap selesai suaminya mandi, urus bekal suami dan bekal anak, mencuci pakaian, dan banyak lagi.

Kalau suaminya selingkuh, ia akan dibilang: istri yang tak mampu menjaga keutuhan rumah tangganya. Kurang bersolek, ngga jago di ranjang. Ngga bisa kasih keturunan.

Kodrat perempuan jadi bertambah, ya? Selain menstruasi, hamil dan menyusui, bertambah jadi melakukan pekerjaan rumah, sampai menjaga keutuhan rumah tangga. Bukankah itu tugas yang berat?

Tugas berat yang tidak dibayar.

Menurutku, keputusan untuk tidak memiliki anak adalah keputusan yang personal (masih sama seperti yang kutulis di tulisan sebelumnya). Apapun itu alasannya, sebetulnya, sama saja seperti alasan untuk memiliki anak — yang ngga perlu juga ditanyakan, harusnya.

Kalau dibilang ngga mau punya anak itu egois, menentang kodrat, menentang Tuhan, apa bedanya sama keputusan untuk memiliki anak? Karena kodratnya perempuan bisa hamil dan laki-laki mampu membuahi, dan mereka yang memliki anak dianggap lebih baik, kah?

Apa bedanya sama orang tua yang menelantarkan anaknya? Bikin anaknya jualan tissue di jalan? Bikin anaknya bertanya-tanya, “gue disayang ngga sih, sama orang tua?”

Apa bedanya? Kita akan dianggap egois untuk pilihan apapun yang ngga sama dengan orang lain, bukankah begitu?

Anak mungkin menjadi korban. Orang tua juga mungkin adalah korban ketika dia jadi anak. Akan terus berputar seperti itu, kalau kita ngga punya kesadaran untuk memutus rantai yang ngga tahu juga ujungnya di mana ini.

Maka, seperti kamu ingin dimengerti, bagiku, seperti itu pula Gitasav, dan teman-teman yang memilih childfree ingin dimengerti. Biarkan saja, hidup yang mereka pilih punya mereka. Anak-anak mereka nanti (kalau Tuhan tiba-tiba kasih pun), itu tanggung jawab mereka.

Segala pilihan pasti beriringan dengan konsekuensinya. Dan seperti kamu yang memilih untuk punya anak, kamu juga sudah memikirkan konsekuensi ketika kamu nanti punya anak, toh?

Tambahan sedikit, menurutku, menurut kami Aya Canina dan Ayyara Fay Japakyati, justru Gitasav adalah contoh perempuan yang sadar penuh bahwa ia lah yang memegang kendali atas tubuhnya. Ia bisa berkompromi dengan suaminya, yang mulanya ingin punya anak, kemudian akhirnya teguh memilih untuk mendukung keputusan istrinya.

Jarang loh, ada lelaki yang mau mendengar dan mengerti dengan keputusan yang dipilih dan akan dijalankan seumur hidup ini (re: keputusan childfree).

Di luar alasan tersebut, sebetulnya kami sama-sama tidak setuju dengan caranya memberi komentar yang menurutnya itu “sarkasme”. Sarkasme ke siapa? Ke perempuan yang memilih menjadi ibu?

Gitasav, barangkali juga terjebak dalam pikirannya, dalam buah partriarki lainnya (yang mungkin akan lebih lengkap dibahas oleh Aya Canina).

Dengan pernyataannya yang bilang “Not having kids is indeed natural anti-aging. You can sleep for 8 hours every day, no stress hearing kids screaming. And when you finally got wrinkles, you have the money to pay for botox,” tentu bukan kata-kata yang bijak.

Seolah ia menentang perempuan lainnya yang memilih untuk menjadi ibu. Seolah ia tidak menghormati pilihan perempuan lainnya untuk menjadi ibu. Maka pantas saja banyak perempuan, ibu, dan perempuan yang ingin menjadi ibu ikut mencak-mencak.

Menjadi ibu berat, kita patut mengapresiasi pilihannya, kita juga perlu mendukungnya. Sekecil apapun itu, termasuk tidak mengeluarkan kata-kata minim empati yang ditunjukkan kepadanya.

Semoga kita bisa belajar terus!

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. IG: agniciarana #MemulaiKembali