Momen Jatuh Cinta
--
Bagian pertama.
Kalau ada cinta yang abadi, mungkin benar, hanya ada pada ibu dan anaknya. Bahkan pasanganmu tak bisa mencintaimu melebihi ibumu sendiri, percaya padaku.
Lalu memgapa masih ada yang namanya cinta, jika yang tercipta tetap luka? Sekecil apapun luka, ialah luka. Bisa menginfeksimu hingga kau mati dibuatnya. Sekecil apapun luka, ialah luka yang tetap butuh dikasihani, diberi mantra penyembuh, agar hilang sampai bekasnya.
Namun agaknya goresan yang membuatmu luka tak bisa 100% hilang. Mungkin saja berbekas di kulitmu, mungkin di kepalamu. Luka tetaplah luka, ialah memori.
Tolong baca ini dengan seksama.
Siang lalu saat masih tertawa bersama mensyukuri masa berdua, siapa sangka kata sudah yang keluar di malam harinya? Bahwa hati bisa secepat itu berubah — mungkin rasa. Bahwa ego bisa semudah itu menghancurkan dua kepala yang resah.
Masa beberapa tahun silam hanyalah memori yang kalau kau ingat hanya menambah nyeri. Meringis, kau dibuatnya. Mangkuk isi mie panas yang dipesan dan satunya isi nasi dengan irisan daging super lembut, layar bioskop serta hangat telapak tangannya yang menutupi telapak tanganmu, saat dimana kau minum coklat dingin dengan bulir tai kambing yang hits itu dan ia bilang, “aku ingin mengenalmu lebih jauh.”
Saat itu pula kau tertawa, tapi hatimu gemetar. Heboh kemudian hingga bulu kudukmu berdiri. Kau tertawa setelahnya, mengira itu mimpi di keramaian. Tapi kata dan tatapannya makin jelas, “aku ingin mengenalmu lebih jauh.”
Malamnya sampai di kamar kau merenung, berusaha mengingat masa kelammu dan menimbang dengan hati-hati. Haruskah kau mulai saja?
Kau bebas memilih sesukamu, biar dia yang patah hati karena ditolak orang semenarik engkau. Tapi kau pilih membalasnya dengan satu kalimat di whatsapp, “oke. Aku juga ingin mengenalmu lebih jauh.”
Senyummu melebar. Hatimu siap seketika. Kau tunjukkan padanya versi terbaik dari dirimu.
Setelah itu semuanya mendadak cair dan hangat. Esokmya kalian ketagihan, ingin jumpa lagi. Dipilihlah dengan mantap “Taman Ismail Marzuki” sebagai tempat kencan kedua. Malam yang romantis, melebihi malam di kutub utara yang penuh aurora.
Kau jalan dari pintu, melewati auditorium yang sudah tutup sambil bergandengan tangan dengannya, mengambil beberapa foto diri masing-masing dan berdua, lalu sampailab kalian pada taman paing damai di belakang. Kau duduk dengannya bersebelahan, kalian melanjutkan cerita yang banyak sampai tak sadar kalian sudah berbaring di sana menatapi lamgit yang gelap dengan bintang seadanya dan cahaya dari balik jendela gedung di depanmu.
Saat itu adalah saat paling mendebarkan bagimu. Antara ragu dan harus. Lewat tatapannya, maka kau lanjutkan kisahmu. Kisah yang tak bernah berakhir bahagia seperti yang terbayang dalam harapanmu.
Kau bilang bahwa kau adalah barang bekas pakai dan tak layak — setidaknya itu yang kau lihat dari orang yang membuangmu. Dengan cuma-cuma kau berikan tubuh serta hatimu yang rapuh pada lelaki-lelaki yang hanya mampu menyakitimu. Kau tak pernah puas, kau selalu diselimuti patah hati.
Dia tesenyum melihatmu kemudian, “Ngga apa, itu masa lalu. Sekarang kita lihat ke depan.”
Dan kau menyadari seketika bahwa tak ada lelaki waras manapun selain dia yang bisa menerimamu. Saat itu kau yakin, bahwa dia satu-satunya lelaki yang tak akan pernah menyakitimu.
Kau dan dia pulang dengan rasa terpaksa enggan berpisah. Bahkan ketika dirinya sudah di atas motor penumpang, matamu mengekor padanya hingga ia hilang dibawa kejauhan.
Saat itu memorimu tak butuh kerja ekstra untuk menyimpannya, dan kau akan ingat hal ini seumur hidupmu.
Hari-hari selanjutnya pun begitu manis, semanis gula aren dalam larutan kopimu. Rasa rindu datang tanpa malu menyelimuti dadamu dan dia. Tanpa ragu kalian saling mengaku.
Beberapa malam berikutnya ia datang ke lantai kosmu membawa ikan siap saji yang ia masak dengan bumbu ekstra dan nasi hangat. Dan kau rasakan cinta di dalamnya.
Setelah kau memakannya, kalian saling menatap dan sempat menangkap senyum lewat kamera. Gairah pun bergejolak kemudian. Masih dengan tatapan yang sama, kalian mendekatkan diri satu sama lain, sambil tersenyum malu tapi mau. Sayang, penjaga kos di depan protes. Kau dan dia menjauh, tertawa lugu kemudian.
Kau mengantarnya sampai halte busway di tengah remangnya lampu jalan — yang lagi-lagi baru pertama kali itu kau rasakan. Terpaksa lagi, katamu menggerutu dalam-dalam. Tak ingin pisah. Tapi ada rasa bahagia yang timbuk di sana. Esok akhir pekan kalian akan berjumpa kembali. Ah, dua hari menahan rindu itu berat, apalagi buat yang sedang jatuh cinta.
Tapi kau tetap tersenyum melanjutkan langkah kakimu seirama dengannya. Sampai di halte, kau tentu tak ingin bus cepat datang. Maka dengan menyebut nama Tuhan, kau rapalkan doa semoga macet di jalan. Dan itu tak pernah terjadi karena hari sudah terlampau malam. Sebentar saja, bus membawa kekasihmu pergi dari hadapanmu.
Tak apa, akhir pekan, sayang. Kata itu terus yang kau rapal di kepalamu saat kau pulang meninggalkan halte. Sampai kamar, kepalamu penuh bunga nan bermekaran, dan lagi-lagi memorimu tak butuh kerja ekstra untuk menyimpannya. Maka ia dan malam itu, serta isi perutmu abadi di dalam ingatanmu.
Maka ingatlah ini terus, saat kali pertama kau dan dia jatuh cinta, agar kisahmu dengannya abadi seperti memori yang terekam, yang sampai mati pun tak bisa kau lupa.
Saat kata sudah keluar dari mulutmu, kenang juga memorimu dengannya. Mungkin saat itulah sang juru selamat muncul ke permukaan.