“Orang Ke-3”, Perempuan, Bisa Jadi Korban

Agnicia Rana
5 min readJul 31, 2022

--

Source: Pinterest.

Ada sebuah kutipan dari texbook yang sedang kubaca milik Janell L. Carroll berjudul Sexuality Now Embracing Diversity (kalau kau pengikutku sejak masih di wordpress, kau akan tak asing dengannya), bahwa,

“Love is confusing because it often evokes a host of other emotions and personal issues, such as self worth and self esteem, fears of rejection, passion and sexuality, jealousy and possessiveness, great joy and great sadness” — Carroll, 2019, Page 157.

Cinta itu membingungkan karena melibatkan banyak banget emosi dan issue personal seperti harga diri, ketakutan untuk ditinggalkan, gairah, cemburu, kebahagiaan, dan kesedihan.

Salah satu misteri terbesar dari manusia ada di kapasitas untuk mencintai, untuk membuat kelekatan pada orang lain yang melibatkan perasaan yang dalam, tidak mementingkan diri sendiri, dan komitmen (Carroll, 2019).

Hebat ya, manusia, dengan segala komplektisitas dinamika kehidupannya. Luar biasa bagaimana cinta berperan penting dalam hubungan manusia.

Keterlibatan komitmen dalam hubungan percintaan juga ngga kalah penting. Komitmen dalam jangka pendek adalah keputusan untuk mencintai seseorang, dalam jangka panjang adalah kebulatan tekad untuk mempertahankan cinta tersebut (Carroll, 2019). Komitmen ini dibutuhkan dalam menjalin hubungan percintaan jangka panjang, termasuk dalam pernikahan.

Pernikahan dibangun atas dasar saling mencintai dan komitmen. Dalam pernikahan diperlukan percaya, rasa aman, juga saling berkomitmen untuk meletakkan pasangan, hanya pasangan (suami atau istri) dalam hubungan pernikahan.

Lalu bagaimana jika ada orang lain yang masuk dalam ikatan pernikahan? Bagaimana jika pasanganmu mendua?

Tentu, tidak pernah ada yang suka dikhianati, dicampakkan, diduakan.. Dampak dari perselingkuhan itu bukan hanya kepada si peselingkuh dan pasangan yang diselingkuhi, namun bisa juga ke pasangan selingkuhan (atau kerap disebut orang ke-3), juga seluruh keluarga yang terlibat.

Perempuan dan laki-laki, sama-sama bisa menjadi pelaku perselingkuhan. Namun, dalam banyak kasus, jarang sekali perempuan terbukti berselingkuh. Dalam memutuskan untuk berselingkuh, perempuan dan laki-laki cenderung memiliki motif yang berbeda. Perempuan lebih kepada pemenuhan kebutuhan emosional, sementara laki-laki lebih kepada pemenuhan kebutuhan seksual (Carroll, 2019).

Pada korban perselingkuhan sendiri, dampak psikologis yang muncul dapat berupa cemburu, marah, perasaan diabaikan, tidak percaya diri, ketakutan, hingga depresi (Buss, 2000; Dijkstra et al., 2013; Leeker & Carlozzi, 2014, dalam Carroll, 2019). Dampak psikologis ini bisa beragam dan berbeda tingkat keparahannya. Pada perempuan ditemukan level kesulitan yang lebih tinggi untuk menerima kenyataan bahwa pasangannya berselingkuh darinya. Maka mudah bagi perempuan untuk merasa bersalah atas keputusan pasangannya berselingkuh, merasa depresi, hingga issue pribadi lainnya.

Dalam banyak kasus perselingkuhan, wanita cenderung lebih banyak disalahkan. Hal ini tidak lepas dari stigma yang ada, seperti: “Istri harus bisa memenuhi kebutuhan seksual suami”, atau “Istri harus bisa melakukan pekerjaan rumah”, bahkan sampai “Istri harus bisa memberikan anak.” Dan ketidakmampuan perempuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, kerapkali dijadikan alasan pasangannya untuk berselingkuh. Padahal selingkuh itu adalah pilihan yang dibuat secara sadar oleh pelaku.

Begitu pun pada orang ke-3 perempuan. Ia akan dilabeli “pelakor” atau perebut laki orang yang berkonotasi negatif. Dari kata “perebut”-nya saja, bisa kita lihat bahwa Pelakor merupakan subjek “yang merebut”, “yang mengambil”. Ia akan dicap sebagai “Pelakor yang suka merayu suami orang”, “Perempuan perebut yang egois dan jahat”, “Perempuan penghancur rumah tangga”, dsb.

Kenapa itu bisa terjadi? Kenapa lagi-lagi perempuan?

Dalam sejarahnya, hal ini karena seringkali “perempuan” diasosiasikan sebagai orang yang bertanggung jawab membuat lelaki bahagia. Jika kita lihat lagi, tentu itu adalah persepsi yang salah. Bagaimana mungkin dalam sebuah hubungan, hanya satu orang yang bertanggung jawab membuat yang lainnya bahagia?

Perempuan dituntut untuk serba bisa (entah serba guna): harus bisa masak dan mempersiapkan makanan di meja makan sebelum suami berangkat kerja, harus bisa bersih-bersih rumah, harus bisa urus anak dan suami, harus bisa jaga diri dan kewanitaannya, harus sabar dan lemah lembut, dan banyak lagi.

Persepsi ini lah yang muncul turun-menurun dan ya… rasa-rasanya dianggap wajar dan melemahkan perempuan itu sendiri.

Padahal kalau kita mau lihat ke belakang, dalam perselingkuhan ada consent atau persetujuan antara kedua orang yang berselingkuh (Laki-laki beristri, dan perempuan selingkuhannya). Perselingkuhan dimulai dari adanya kedekatan emosional antara satu dengan yang lainnya. Untuk sampai ke sini, pasti akan ada obrolan pribadi nan intens. Selanjutnya mulai terjalin chemistry dan gumpalan perasaan yang memuncak, lalu berpindah ke tahapan kedua, yang mana keduanya memutuskan untuk menjaga kerahasiaan hubungan satu sama lain baik kepada pasangan (tentunya), maupun teman dekat. Tahapan ini menghasilkan energi tambahan yang semakin mendorong gairah satu sama lain. Tahap selanjutnya, keduanya mulai melakukan kegiatan bersama: ke pantai, makan malam romantis, bahkan hingga intense secara emosional dan seksual (Layton-Tholl, 1998, dalam Carroll, 2019).

Mari sama-sama kita pahami bahwa perselingkuhan terjadi karena adanya pintu yang dibuka, juga adanya keberserah-dirian yang cuma-cuma dari seseorang yang diminta masuk. Bahwa perselingkuhan terjadi karena ada consent atau persetujuan di antara kedua belah pihak yang menjalin relasi ini, bukan karena perempuan selingkuhan saja yang menggoda, yang menuntut, dsb.

Ialah lelaki, yang berperan besar dalam terbukanya pintu relasi ini. Namun seringkali peran lelaki dilupakan di dalamnya. Padahal lelaki adalah satu-satunya subjek yang membuat perempuan yang awalnya tidak saling mengenal, menjadi terhubung, bahkan bisa saling membenci satu sama lain.

Lelaki yang berselingkuh, sudah pasti pelaku, dan kedua perempuan yang terlibat bisa jadi korban. Istri, dalam kasus ini bisa jadi bukan satu-satunya korban. Orang ketiga, perempuan bisa jadi korban.

Lelaki bisa bilang apa saja, dan perempuan bisa percaya begitu saja. Bisa saja dalam hatinya dipupuk kebencian kepada perempuan lain (si istri), yang sama sekali belum ia kenal. Bisa saja ia diberi janji-janji manis, semacam: “Aku tidak lagi mencintai istriku, perilakunya buruk sekali”, “Aku akan segera bercerai dengan istriku, dan kita bisa menikah”, “Aku serius denganmu, itulah sebabnya aku ingin kamu melahirkan anak-anakku nanti”.

Kata-kata inilah yang seringkali menjebak orang ke-3 untuk berharap dan pada akhirnya masuk ke dalam relasi yang rumit dan berbahaya ini.

Kata-kata yang diucapkan adalah “redflag”, tanda bahaya. Lewat kata-kata tersebut, ia sedang memanipulasi targetnya untuk bisa mengontrolnya agar mau melakukan apa yang dia mau. Doktrin ini juga yang membuat perempuan menjadi melawan perempuan lainnya demi mendapatkan validasi siapa yang “lebih pantas” menjadi pemenang, dan lupa siapa yang sebenarnya patut diadili.

Padahal, yang harus dilawan adalah pelaku, yang membuat relasi hubungan kompleks ini terjadi.

Jadi, sampai kapan dalam kasus perselingkuhan kita masih abai dan lupa siapa pelaku sebenarnya?

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali