Runtuh
Week 8: All about “betrayal”
The day my eyes opened.
Waktu itu, 3 hari sebelum pasanganku — sekarang mantan — ulang tahun ke-38 tahun di 1 juni 2022. Iya, kami beda 11 tahun. Mulanya aku pikir itu bukan hal besar, nyatanya, perbedaan umur kami berpengaruh besar ke visi dan misi hidup kami, yang sayangnya — ternyata — ndak bisa ditoleransi keduanya.
Di hari itu, 1 juni 2022 aku tahu ia selingkuh lagi.
Ia lelaki yang matang secara psikis — atau ndak juga ya sebetulnya, dan mampu memenuhi kebutuhan eksistensiku sebagai manusia, juga kebutuhan seksualku yang tak kalah esensial juga. Still, he’s good at sex, not because of his body and body thingy — penis and the way it treats my vagina, my body, but also because he loved me. I can feel love while we had sex. I can feel love while we’re together.
Di umurnya yang hampir menyentuh 40 tahun, ia bermimpi banyak hal, termasuk memiliki anak — yang utama. Sedang aku yang baru 25 tahun masih santai, dan masih terbayang-bayang akan mimpiku. Mimpi yang pada akhirnya aku urungkan karena peranku sebagai istri — yang diminta untuk hamil anaknya serta mengurus urusan domestik.
Aku tak masalah hamil dan melahirkan. Aku pun ingin punya anak, dan ingin berkeluarga lengkap. Nyatanya, aku dan ia belum dikasih kesempatan untuk punya keturunan. Lalu apakah kami menyerah?
Ia tidak, aku naik turun. Lebih banyaknya karena mempertanyakan kemampuanku untuk hamil dan beranak. Aku dilahirkan sebagai perempuan dengan beban rahim dan patriarki. Perempuan menikah, bulan depannya ditanya, “Udah isi?”
Laki pernah ditanya, “Udah mampu beliin skincare istri?” di bulan pertama pernikahan? Atau, “Udah ngerjain pekerjaan rumah apa aja?”
Aku bilang di awal kalau aku ngga bisa bersih-bersih rumah, tapi cuci baju dan masak aku mampu dan cukup mumpuni. Iya, aku bersih dan damai kalau lagi mencuci baju, pun memasak. Masakanku enak, dan aku bisa masak banyak menu.
Responnya saat itu, “It’s ok. Urusan rumah kan ngga harus kamu yang ngerjain. Aku juga bisa.”
Tapi kemudian ia mengeluhkanku pada pacar-pacarnya, ia bilang, “Istriku pemalas. Ngga mau bersih-bersih rumah.” Itu belum yang paling bikin nyeri. Ia juga bilang ke pacar-pacarnya begini, “Istriku ngga mau hamil buatku. Yang istriku yaaa… ia yang mau hamil buatku.” Dan perempuan-perempuan itu ketiganya mengaku hamil anaknya.
Sinting!
Kali pertama aku tahu ia selingkuh, aku masih goblok. Aku maafkan dia dan dia selalu marah kalau aku bahas tentang ketololannya karena percaya perempuan asing yang bingung siapa ayah dari anak yang sedang dikandungnya. Nyatanya, itu bukan anaknya — suamiku. Perempuan itu menikah dengan lelaki lain, melahirkan anak mereka 4 bulan kemudian, dan tak ada ciri-ciri suamiku di anaknya. Tak perlu tes DNA, kamu bisa lihat bayi manusia, orang indonesia asli di tubuh bayi itu, sementara suamiku lelaki berkulit hitam dari ras yang katanya penisnya dipuja karena ukurannya.
Setahun kemudian di 2022, perselingkuhan kembali terulang. Kalau yang pertama berupa bocah lugu dan tolol, di permainan kelamin selanjutnya lawannya adalah perempuan umur 33 tahun yang sudah punya satu anak perempuan kira-kira umur 6 tahun.
Sementara perempuan pertama muncul lagi dengan kata-kata minim empati dan cemoohnya, dan dengan dia yang sedang bunting anak ke-2. Awal tahun ini aku tahu anaknya perempuan. Dia perempuan, anaknya perempuan, aku yang dia injak-injak juga perempuan :)
Aku diserang sana sini.
Pertama tentu oleh lelaki yang waktu itu masih suamiku, selanjutnya perempuan-perempuan selingkuhannya yang juga menikmati kontolnya, di siang hari saat aku kerja. Begitu produktif kehidupan kelamin mereka HAHA (smiley face). Di saat siang hari waktunya kamu bekerja untuk menghasilkan duit, mereka-mereka ini malah bekerja memajumundurkan kelamin satu sama lain untuk menghasilkan anak.
Di waktu aku bekerja, suamiku membuktikan kejantanannya pada perempuan lain — atau bahkan dirinya — dengan usahanya untuk membuahi rahim tidak peduli bahwa ada perempuan yang sudah jadi istrinya.
Selanjutnya, aku diserang dari dalam oleh diriku sendiri yang belum menerima keadaan — mungkin sampai sekarang. Ralat: aku jauh sudah bisa terima keadaan, tapi aku belum waras. Aku susah tidur, aku yang pemarah makin jadi pemarah, aku menghindari banyak orang, aku makin sensitif dan waspada, dan aku menjadi pencemas ulung.
Bahkan, aku kesulitan menjalin hubungan baru, karena pengalaman buruk ini membawaku ke aku yang berbeda. Aku jadi menuntut kabar, aku menuntut perlakuan baik yang berupa kata-kata manis yang candu, antar-jemput, telpon/video call setiap hari. Aku jadi menuntut, karena aku cemas dan takut ditinggalkan lagi (terus).
Penghianatan ini bikin aku menilai diriku banyak-banyak.
Aku mengevaluasi diriku dengan keras, sampai akhirnya aku bisa bilang: mungkin aku memang sakit, tapi kalau laki-laki itu (yang sedang berhubungan denganku) melakukan kesalahan, itu bukan berarti aku yang salah— perilakunya di luar kendaliku.
Susah berhubungan sama bocah modal kontol. Umur boleh tua, tapi pengambilan keputusan untuk selingkuh itu kekanak-kanakan dan goblok.
—
I’m enough.