Sepi
--
Akhir-akhir ini aku lagi di masa ingin sendirian. Baru dua mingguan ini, sih. Kebetulan aku puasa, dan kemarin sempat sedih berkepanjangan, maka aku menikmati momen Ramadhan kali ini untuk banyak-banyak ngobrol minta banyak hal ke Tuhan.
“Tuhan, aku lemah dibanding Engkau yang maha Agung.”
“Tuhan, aku ngga punya apapun, tak sebanding Engkau yang maha segalanya.”
“Tuhan, aku kesepian.”
Ujung-ujungnya, yang kuminta agar Tuhan jangan bikin aku merasa kesepian lagi. Padahal, rasa ini begitu wajar dan manusiawi. Tapi saking sepinya, aku merasa diriku semakin lemah. Aku merasa tulangku seperti karet yang letoy ngga mampu menopang tubuhku yang gemoy ini.
Aku bahkan berdoa sambil menangis, persis tahun-tahun awal waktu aku tahu suamiku — saat itu — selingkuh dan perempuan selingkuhannya bunting. Ya. Rasanya aku selemah itu, padahal sudah dari tahun lalu aku pisah darinya dan tak pernah aku terpikir untuk kembali padanya — kecuali aku sudah ngga ada otak.
“Aku kesepian ya Allah Gusti….”
Rasanya, jika aku bisa membeli dunia pun, tak akan mengurangi rasa kesepianku meski secuil. Rasanya, yang bisa mengobati hanya kasih dari seseorang yang nampak keberadaannya.
Dan aku ingin bergantung pada manusia lagi.
Mengapa rasanya bergantung kepada manusia itu lebih menjanjikan timbang ke Tuhan?
Mungkin… karena pada dasarnya manusia senang kalau hidupnya “terjamin”. Jaminan di sini iya, bisa kita bilang kata-kata manis yang menenangkan (bisa jadi berupa janji) untuk saling membersamai, untuk saling ada. Melihat kamu di depanku, aku di depanmu.
“Mau jadi pacarku? Untuk kita habiskan waktu bersama kenal satu sama lain?”
“Aku punya rencana menikahimu dua tahun lagi.”
“Selamat, kamu diterima di pekerjaan ini.”
“Ma, besok kita ke tanah suci bareng, ya.”
Akan lebih menyenangkan dengar itu dibanding,
“Jalani saja dulu.”
“Gimana Tuhan yang atur.”
“Aku ngga ada target apapun.”
Kita cenderumg lebih tenang kalau kita tahu isi masa depan, karena kita merasa punya “guarantee” atau jaminan atas apapun itu.
Kalau kita merasa terjamin, rasanya kita lebih tenang dan ngga bingung dan tahu mau kemana.
Dan menjadi “bergantung” pada kepastian itu.
But life doesn’t works that way— like we’ve always wanted.
It’ll takes so many times to understand how the universe works.
Maka manusia senang bergantung, senang dengar janji manis, senang dapat kepastian. Biar merasa aman minus waspada.
Padahal, kalau kuingat-ingat lagi ceramah dari seorang ulama, bahwa hidup itu sudah dijamin Allah SWT seperti kata firman-Nya…
Tapi kenapa ya kepala ini rasanya lebih percaya janji-janji manis yang keluar dari mulut ciptaan Tuhan?
Rasa-rasanya, jika dalam hati sendiri pun sanggup berjanji dan merasa mampu menepatinya, tapi umur tetap punya Tuhan. Dirimu bisa dipanggil kapan saja, dan segala yang diucapkan melebur ikut masuk ke tanah.
Bukankah harusnya yang diberi janji sudah aman? Nyatanya… takdir tak ada yang tahu bahkan mempresiksi sedikit pun.
Aku kesepian dan kutemukan obat lewat berbicara pada diriku sendiri. Maka aku dengannya mengatur banyak waktu dan kegiatan untuk mengisi waktu senggang.
Dimulai dari utak-atik ukulele — yang sampai sekarang ngga bisa terus, sampai hobi baruku: merakit micro bricks.
Semuanya menyenangkan, dan mainnya tergantung aku.
Tapi aku tetap sepi.