Should I Give Up or should I Just Keep Chasin’ Pavements?

Agnicia Rana
6 min readApr 25, 2023

--

Even if I knew my place?
Should I leave it there?
Should I give up?
Or should I just keep chasin’ pavements
Even if it leads nowhere? — Adele, Chasin’ Pavements

Berkali-kali bertanya pada diriku sendiri apakah semua ini — hubungan yang aku ndak tahu “apa” ini — patut diteruskan? Berkaca dari masa lalu, aku kerap membiarkan diriku diam dan menunggu jawaban lanjut atau (lebih parahnya) ditinggal pergi, lalu selanjutnya berusaha move on dengan mencari yang lain.

Jaman dulu — setidaknya saat aku kuliah (2013–2018), istilah ‘ghosting’ dan ‘gaslighting’ belum populer. Semakin berkembangnya platform online media sosial dan munculnya orang-orang kreatif, semakin banyak platform pencarian jodoh, semakin berkembang istilah-istilah Mokondo, ah seperti itu lah.

Kalau dulu sudah populer, mungkin ceritaku viral di twitter atau tiktok. Tapi… aku sekarang ini ngga lagi berminat menceritakan semuanya juga, sih. Mungkin nanti, atau tidak sama sekali.

Kupikir aku ini perempuan tipe petarung, alpha female, pemberani atau apa lah, yang intinya aku, bagaimanapun caranya harus mendapatkan apa yang kumau, termasuk jika aku menyukai seseorang.

Aku ingat betul, pertama kali aku bilang suka sama seseorang, di SMA. Dia sangat populer pada masanya. Mudah sekali terlihat. Dibilang tampan, jawabannya “YES”, dia tampan, dan berkecukupan. Badannya lebih tinggi dariku, namun tidak lebih besar. Aku langsung bilang pada diriku sendiri, “Anjir tipe w banget nih!”

Singkatnya, aku mengutarakan isi hatiku padanya lewat sms, dan ia yang baik meresponku dengan: “Makasih ya.” Udah, gitu aja.

Sempat ada drama singkat setelahnya, dan pada akhirnya semuanya berlalu, karena aku menyukai temanku lainnya — yang juga aku bilang padanya bahwa aku menyukainya.

Keduanya sama-sama aries, dan meresponku dengan cukup baik walau menyebalkan. Belakangan aku tahu, Aries bukan tipe yang suka dikejar. Sampai sekarang, dengan yang pertama, kami masih berteman di instagram, yang satu lagi belum kunjung menerima pertemananku.

Ternyata pola ini berlanjut.

Pola yang menyukai-bilang-lalu berakhir mesti move on.

Kenapa bilang juga, ya?

Aku mengutarakan perasaanku ya untuk diriku sendiri. Aku selalu gagal konsentrasi, kecuali memikirkan lelaki yang kusukai dan seringkali aku berpikir dia juga suka padaku — ternyata dari ribuan lelaki yang padanya kubilang aku menyukainya, ya… berakhir aku harus move on HAHAHA TAI.

Serius. Aku mengutarakan perasaanku ya untuk diriku sendiri. Aku ngga mau nuntut balasan mereka. Ya, walaupun kadang suka membayangkan juga sih, kalau-kalau kami “jadian” gitu kan. Tapi, yasudah. Sebelum confess, aku bilang pada diriku sendiri, kalau tujuannya ya biar aku tenang dan bisa melanjutkan hidupku, dan yasudah kalau harus move on, maka move on lah dengan rasa lega karena akhirnya aku ngga menduga-duga perasaannya — apalagi menginvestasikan pikiranku yang membayangkan A B C kalau-kalau kami jadian.

Since then, I can’t stop looking for a man.
And ended up with broken heart.

Sounds desperate, isn’t it?

Yes, that’s me.

Aku hilang banyak hal karena salah berinvestasi. Aku mengejar lelaki yang tai, yang kupikir potensial padahal bawa sial. Pada akhirnya jadi tahu banyak pola dan motif lelaki kardus.

Ciri-cirinya kurang lebih:

  1. Oversharing patah hatinya, dan menyalahkan mantan-mantannya
  2. Overproud ke pencapaiannya yang… biasa aja, weh!
  3. Menjelaskan dirinya seolah dia prince charming — you know.

Selanjutnya, bilang ke kamu kalau dia sedang ngga berdaya dan butuh duit, lalu.. membuat kamu merasa kasihan, menjanjikan kamu macam-macam (balikin duit, makin cinta dan apresiasi kamu, bleh bleh), sampai kamu kirim duitnya, dan dia menghilang.

Those kind of mokondo anjing does exist.

Akhirnya aku menyadari banyak kekuranganku yang bermula dari “tidak adanya sosok ayah”. Tunggu, sebelumnya aku sudah maafkan ini. Menyadari bahwa orang tua kita terbatas, aku belajar bahwa ngga ada makhluk yang sempurna, dan aku sudah maafkan diriku dan masa laluku, serta orang-orang yang terlibat.

Ayah itu perannya penting banget. Bukan cuma untuk menafkahi, tapi juga untuk memberi kasih sayang dan perhatian yang penuh. Mungkin kalian ada yang sama: tidak ada sosok ayah selama kalian hidup, dan merasakan hal yang sama sepertiku.

Tidak adanya perhatian yang cukup di rumah, aku yang kekurangan ini merasa butuh cari kemana-mana. Akhirnya aku mudah percaya orang lain — yang kupikir potensial dan memberi perhatian padaku, memberikan segalanya agar “dia” tetap tinggal, sampai mengorbankan diriku. Nyatanya, aku ditinggal juga.

Segala perhatian aku cari di luar. Lewat validasi yang kutagih ke teman dekatku, ke pasanganku, ke rekan kerja, kemana-mana. Guys, if you’re in this stage, believe me: you don’t need that! Kamu ngga butuh validasi eksternal. Kamu sudah baik, bahkan jauh lebih baik dari yang kamu pikirkan tentang dirimu.

Peluk dan cium yang jarang kali kudapatkan (kecuali setelah aku memulai menahan gengsi ke orang tuaku — kau bisa baca pengalamanku di sini untuk tahu lebih soal traumaku), bikin aku cari itu keluar. Maka aku selalu senang kalau ada lelaki (yang bahkan belum jadi apa-apa) memberikan treat itu padaku. Aku mengasosiasikannya sebagai rasa aman dan kasih sayang. Hal ini yang bikin aku terperangkap. Kupikir peluk dan cium itu bagian dari cara lelaki mengekspresikan kasih sayang. Nyatanya ngga selalu. Dan menariknya, yang sering kutemui adalah lelaki yang seperti itu. Di awal.

Aku ngga mampu menetapkan boundaries karena aku ngga pernah mau kehilangan. Aku takut banget sepi dan kehilangan.

Aku tidak baik-baik saja, dan aku menyadari itu, dan ndak papa. Sekarang aku menyadari bahwa aku hanya manusia biasa, dan manusia ngga ada yang sempurna, termasuk aku, termasuk kedua orang tuaku.

Maka aku belajar banyak hal untuk menjadi versi yang jauh lebih baik. Aku belajar banyak hal. Bertemu teman yang memiliki pengalaman yang serupa, memunculkan insight baru yang bikin aku belajar.

  • Bahwa berusaha tidak sama dengan mengejar.
  • Bahwa hidup di usia yang cukup ini, kudu dibuat simple. Yes yes, no no. Iya artinya iya, tidak artinya tidak.
  • Bahwa tidak ada yang salah dari perbedaan (yang kalau kamu dan dia — pasanganmu/dia yang sedang dekat denganmu— berbeda… ya sesimple kalian tidak cocok. Mau dicocok-cocokkan atau mundur, pilihan tergantung kamu).
  • Terima dia sepenuh hati dengan segala kekurangannya, atau tinggalkan ia dengan ikhlas.

Susah, bangke, jadi dewasa.

Beruntungnya, dari segala yang terjadi, aku belajar bahwa kuncinya satu: memaafkan diri sendiri, dan dengan sadar menerima segala kekurangan diri. Untuk segala proses yang terjadi, aku terima kasih banyak ke Tuhan.

Kembali ke hubunganku — yang ndak tahu apa namanya ini, tapi aku tahu ia juga memiliki perasaan yang sama. Akhirnya aku menyadari bahwa kami berdua masih punya luka — disadari atau tidak.

Kami sama-sama membawa luka yang masih belum sembuh. Kami adalah dua insan yang saling menuntut untuk diberi dan dipahami, sementara kami belum mampu untuk memahami.

Dalam beberapa bulan ini, aku yang tahu inginku apa, menjadi orang yang menyebalkan baginya. Aku menuntut, dan ia tak mampu memenuhinya. Di sisinya, ia sudah berusaha keras mengeluarkan segalanya, dan ia mulai menimbang apakah semuanya pantas untuk diperjuangkan saat ini, atau nanti, atau bahkan mungkin tidak perlu sama sekali.

Betul, aku menyukainya, ia menyukaiku. Perkenalan yang kami pikir akan berjalan luar biasa, tak luput dari konflik seputar internal kami masing-masing. Kebutuhan kami yang sama untuk saling dimengerti, nyatanya gagal terpenuhi.

Aku yang selalu butuh jawaban cepat, ia yang terbatas waktunya. Aku yang terbuka, ia yang lebih memilih memendam segalanya sendiri. Aku yang selalu ingin buru-buru menyelesaikan masalah, ia yang selalu butuh waktu berkontemplasi sendiri. Aku yang selalu bertanya “ini apa?” untuk mengamankan diri dari rasa sakit takut ditinggal, ia yang selalu lari dari jawaban “ini apa?” untuk mengamankan diri dari sakit takut dikecewakan.

Selanjutnya kami memilih menjadi egois.

Pada akhirnya, aku memutuskan untuk tak lagi mengejar. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk melakukan hal yang ada di depan matanya. Pada akhirnya aku paham aku tak punya kontrol atas apapun kecuali diriku.

Aku menyadari bahwa sampai kapanpun, mengejar hanya akan buat lelah. Sementara menunggu pun sama melelahkannya.

Jika kau baca ini, terima kasih atas pengakuanmu. Kau tahu sejak lama aku menyukaimu. Tapi untuk masa depanku, aku memilih untuk menetralkan perasaan ini. Datanglah ketika kau siap dan mampu — ini berlaku untuk siapapun yang kau rasa potensial untuk dirimu. Datanglah ketika kau mampu, agar kau tak tumbuhkan ekspektasi di hati orang lain, pun agar kau tak merasa tersiksa pada apa yang telah kau mulai.

Tidak ada yang salah dari perkenalan kemarin.

Aku ingin sembuh, dan kau pun harus begitu.

Don’t need to look no further
This ain’t lust
I know this is love, but

If I tell the world
I’ll never say enough
’Cause it was not said to you
And that’s exactly what I need to do
If I end up with you —Adele, Chasin’ Pavements

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali