Siapkah Aku tuk Jatuh Cinta Lagi?

Agnicia Rana
4 min readJul 24, 2024

--

Tidak.
Jawabannya masih “tidak”.

Aku sibuk mencari definisi cinta, dan sejauh ini belum aku temukan. Jika itu harus berhubungan dengan “pasangan”, tentu sangat rumit karena sejauh lelaki yang kutemui, belum ada yang membuatku yakin bahwa perasaan yang dirasakan adalah “saling”. Kebanyakan takut komitmen — entah di dia atau aku, tergantung “siapanya”. And from them, I learned to let go, and that’s OK.

Jika itu ke makhluk lain seperti hewan atau tumbuhan, nyatanya aku melihat mereka pergi satu persatu dan aku tak mampu merawat mereka sampai akhir.

Jika itu berkaitan dengan Tuhan, barangkali Ia mengasihiku banyak, namun aku tak selalu ingat pada-Nya. Semoga Allah SWT mengampuniku.

My parents and family, that’s another thing.

Maka apa itu cinta?

Sejak bercerai di 2022, dan diresmikan dua tahun setelahnya, aku banyak menemui berbagai macam rupa lelaki. Kebanyakan, masih ia yang butuh kelamin wanita. Sisanya seringkali lupa diri.

Kuberikan mereka waktu untuk mengenalku lebih dalam sementara mereka hanya mau aku di permukaan. Setelah itu, belum ada yang benar-benar mengusahakanku — dan aku ngga mau lagi repot mengusahakan, berbeda dengan hubunganku sebelumnya.

Aku belajar, dan meyakini. Kata-kata ini aku dengar dari Mbah Sujiwo Tedjo, kurang lebihnya dia bilang begini, “Cinta itu ndak berat, kok. Kalau sudah merasa berat dan ada tuntutan satu sama lain, itu bukan cinta.” Maka selanjutnya aku lebih mudah untuk melepaskan.

Lagipula, kalau dipikir-pikir… Ngga pernah ada yang berumur panjang. Rata-rata pendekatan selama satu bulan, dan berakhir entah dia yang hilang atau aku yang hilang atau keduanya. Dulu, aku menganggap ini sebagai kutukan, sekarang ini aku bersyukur karena ngga perlu banyak investasi bodong untuk hal paradoks bernama cinta.

Dalam beberapa hubungan selama dua tahun ini, aku lebih bisa mengontrol diriku, meski susahnya minta ampun — iya aku banyak-banyak minta ampun ke Tuhan karena sering khilaf. Tapi aku menyadari satu hal, bahwa pelan-pelan aku sudah bisa membangun tembok boundaries, dan aku sudah punya standard yang paten.

Maksudku,

Sebelumnya bahkan aku ngga punya standard. Aku menerima semua yang datang dan berserah kepadanya. Mau mereka masuk lewat apapun, aku akan layani dengan suka cita. Dan buruknya aku, ketika sudah datang ke hubungan asmara, aku kerapkali fokus kesana sampai lupa tujuan hidupku.

Aku semakin menyadari bahwa aku punya standard yang tinggi — pada akhirnya, dan standard hidupku — untuk diriku — tinggi pula. Jadi, untuk apa aku menangisi lelaki yang hanya mampu kasih bare minimum?

Dulu aku kasih makan ego dan perut lelaki, siapapun yang dekat aku dan bilang mau aku. Hingga rugi tubuh dan dompet. Tapi, aku ngga pernah bisa jawab, apa “dia” yang aku mau?

Kalaupun aku tanya pada diriku, seringkali jawabannya ragu. Aku ragu kalau aku mau lelaki yang ngga benar-benar mau aku — for the sake of funny or casual things, itu hal yang beda, tapi jujur aku tidak pernah melibatkan emosiku untuk urusah kelamin semata. Lebih tepatnya aku tak membutuhkan laki-laki untuk urusan kelamin semata.

Aku lebih bisa menahan diri untuk ndak masturbasi timbang untuk hidup tanpa omong kosong lelaki — aku butuh validasi dan kebutuhan emosionalku terpenuhi, timbang kebutuhan kelaminku.

Maksudku, did you guys think that you could have sex manually or could pay for a prostitute (you even can choose a woman you like and pay her), instead of looking for casual sex by dating apps?

Ngapain ngajak kenalan kalau ujungnya cuma mau vagina?

Still don’t get how the hell such men think. Kamu bisa bayar jika hanya ingin tubuh wanita, tapi… atau memang for the sake you even don’t have money to offer?

Mungkin memang ada sebagian besar sejoli yang berhasil bertemu di dating apps, sebagian lainnya mungkin jadi dating apes (apes in bahasa ya, bukan apes monyet). Tapi, jangan-jangan jodohku di bagian dunia lain yang jauh dari sini?

Mungkin juga, aku ngga harus mencari.

Jujur aku masih menerka diriku, apa yang layak aku dapatkan seharusnya lebih dari perasaan menjengkelkan ini, perasaan kesepian.

Salah satu sahabatku bilang, kesepian bisa jadi respon yang wajar setelah mengalami hal yang traumatis, seperti pada kasusku: diselingkuhi dan bercerai.

Aku sudah tak perawan, masa bodoh. Tapi aku sudah tak perawan dan aku janda. Mana yang lebih baik? Tentu tidak ada karena lelaki yang mau aku ngga akan peduli lubangku ternyata ada 5, bahkan 10, dan sudah ndak rapat kecuali kontolnya mini.

Kau punya ketakutan itu bukan, lelaki?

Tentu tidak ada keburukan di antara “tidak perawan” dan “janda”, karena kehormatan perempuan bukan di selaput dara dan status pernikahannya.

Tentu tidak ada yang buruk, kecuali pikiran lelaki yang suka masuk lewat vagina tanpa benar-benar merasakan hati perempuan yang telanjang di depan matanya.

Persetan jika banyak — terlalu banyak — lelaki demikian.

Katakanlah bahwa aku belum siap untuk jatuh cinta lagi, maka… apa yang buruk jika tak ada lelaki dan embel-embel ekspektasi di kepalaku?

Benahi dulu isi kepalamu, Mel!

--

--

Agnicia Rana
Agnicia Rana

Written by Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali