The Dark Side of Love, When Love Couldn’t Make You Happy

Agnicia Rana
10 min readNov 21, 2021

--

“L’Oubli d’être en Vie” by Marcel Mariën, 1967 (Via Pinterest)

Before, I’ve uploaded this article to the my currently favorite plaform: Medium. But there are some mistakes I don’t know why, so people can’t accessess/find my medium account. And I decided to deleted two articles, so the problem is solved.

Now, I tried to look back and make some changes in how I write — of course for same two topics, especially in languages. And yeah, here it is.

I did a vote before I write, and people — my followers mostly choosed this one. And yeah, actually, before I really know the answer is… I already made the draft, because I know this topic is more interesting than anything you want to know, right, ladies, gentlemen?

Broken heart might be kinda pandemic for early adult in this century — which is about early twentith. Just like me, and maybe you, lovers.

Patah hati mungkin menjadi semacam pandemi untuk anak-anak generasi dewasa awal zaman now — which means yang umurnya berkisar 20an. Like me. And you, maybe, reader.

Edited: this post I made about 2017/2018, and I called broken heart was a pandemic. What a…. You know.

Back to the topic…

Karena memang sejatinya begitu, guys. Bahwa di umur segitu kita sedang ada pada suatu tahapan perkembangan tertetu — yang menurut teori dari Erik Erikson, tahapan yang dimaksud adalah tahapan intimacy vs. isolation. Di mana pada tahap ini, kita memulai untuk membina suatu hubungan intim dengan seseorang.

Pada tahapan ini, kita memiliki kebutuhan khusus untuk dicintai, dikasihi, diberi perhatian — afeksi. Maka akan sangat menyenangkan bagi orang yang kebutuhan afeksinya ini terpenuhi. Yang tidak? Patah hati. Loneliness. Dendam kesumat. Dan perasaan negatif lainnya.

Jadi wajar aja kalo banyak yang merasa dirinya sebagai jomblo ngenes — dan itu menjadi tertawaan. Udah jomblo, ngenes pula. Dan ditertawai rata-rata oleh jomblo lainnya. See? Lingkup kita terlalu kecil, maka sangat mudah menemukan orang dengan kepedihan yang sama, guys. Jadi kamu yang punya masalah terkait percintaan, percaya deh kamu ndak sendiri. Ada aku di sini yang juga ngenes :)

Cinta itu berbeda-beda definisinya bagi setiap orang. Bagi gue sendiri, cinta adalah hal-hal intim yang gue dan pasangan gue miliki, yang mana ketika hal-hal intim itu terjadi, emosi gue mendadak bahagia, dan ketika itu ngga terjadi, kemudian datang petir menyambar dan gue dirundung duka seketika.

Sesimple itu bagi gue.

Gue dan dia bertatapan lalu kami tersenyum, kami saling menyatakan kekaguman, saling berbisik, saling dan saling lainnya. Karena bagi gue, cinta itu perihal saling, bukan sekedar aku atau kamu.

“Love evokes powerful emotions”, Carroll, 2013.

Cinta itu mengandung banyak emosi. Ada bahagia, marah, malu-malu, kecewa, dll. Yang mana emosi ini bisa jadi kekuatan, pun kelemahan.

Ketika kita saling mencintai, emosi bahagia ketika ditelpon malam-malam (ditambah lagi ketika sedang dirundung rindu yang serindu-rindunya) akan muncul dan membuat tidur kita nyenyak setelahnya. Kita merasa nyaman dan terlindungi karena di sekitar kita ada dia yang siap menjaga kita 24/7. Kita merasa diperhatikan — diingetin makan, sholat, mandi, olahraga, berak (“yang udah berak belum.? jangan lupa berak ya nanti sakit”). NANTI SAKIT — artinya dia memberi perhatian bukan?

Tapi-tapi-tapi…

Apa jadinya kalau apa yang diberikan itu berlebihan, hai ladies and gentlemen?

Jam 1:

> yang lagi di mana?

< di kafe, yang.

> kafe mana?

< kafe kufe, yang.

Jam 1 lewat 5 menit:

> yang masih di kufe?

< iya.

Jam 1 lewat 10 menit:

> yang di mana?

< masih di kufe, yang.

> sama siapa?

< sama loli.

> PAP.

< *foto loli lagi nyeruput secangkir kopi*

> kamunya ngga ada.

< *selfie sendiri sambil nyedot es susu*

> lolinya ngga ada.

< *selfie bareng loli*

> emang itu kufe?

< lah iya, yang. lagi direnov.

> jangan main di situ. berdebu.

< hah?

> katanya lagi direnov.

2 detik kemudian,

> kok ngga dibales?

> p

> p

> p

Kemudian nelpon.

“halo? halo, yang? halo?”

Dimatiin karena ngga nyaut-nyaut.

> tadi aku denger suara cowok.

< hah? orang sama Loli.

> bohong. tadi aku denger suara cowo.

< IYALAH ANYING INI DI KAFE. RAME. DAN DI MEJA SEBELAH GUE ADA GEROMBOLAN COWO LAGI PADA NGUDUD.

> kok nyolot?

< BOMAT ANYING.

LALU DRAMA-BERANTEM- PUTUS.

That’s point number one. Possessiveness: Every Move You Make, I’ll Be Watching you. Seram ugak, bukan main. Bayangin kalo kita lagi berak beneran terus dia kudu liat. *HALAH*

Posesif adalah ketika seseorang mengontrol pasangannya seolah-olah pasangannya adalah boneka kecil yang dia punya yang beli dengan harga 1M. Dia ingin selalu menjaga, ngga mau kehilangan, merasa orang yang paling pantas karena boneka itu miliknya.

Ini kalo di mobil gitu ya, dia ini setirnya. Serah ape kate nyang nyupir ajadah mau bawa si mobil kemana.

But ladies and gentlemen, we are not a car. We are not a fucking doll. We are not a damn machine. We are a human. We needs love to facing OUR FUCKING ADORABLE LIFE.

Tidak ada manusia di belahan dunia mana pun yang suka dikontrol. Manusia itu butuh kebebasan, butuh penghargaan, butuh dipercaya. Dan sisi gelap dari cinta yang pertama ini — yang pernah gue alami, dan mungkin banyak dari kalian pernah mengalami baik sebagai pihak yang melakukan atau yang diperlakukan, dapat memunculkan banyak perasaan negatif.

Contoh tadi, kalo masih pacaran bisa putus. Bahkan sampai musuhan tujuh turunan. Bahkan anak cucu kita ngga boleh nikah sama anak-cucunya. Bahkan memengaruhi keluarga, dan personality/psikologis kita. Orang yang kerjaannya disalahin; ngga bisa bebas; diatur-atur, bisa gila tahu, hidupnya. Tertekan cuy. Mending kalau yang melakukan mau diputusin. Kalo engga? Duh. Bagaikan hidup dikelilingi kulit durian. Mau maju nanti luka karena ketancep, mau mundur juga, mau gerak kiri kanan juga.

Posesif ini selain tidak baik untuk korban, juga untuk pelakunya lho. Hal ini disebabkan karena sifat posesif dapat mengindikasikan adanya kelemahan dari self-esteem dan personal boundaries (Carroll, 2013). Self-esteem itu adalah pride, dignity, bagaimana kita menghargai diri kita sendiri. Sedangkan personal boundaries adalah ikatan personal — artinya kalau kita bermasalah dengan ini, ya… bisa jadi kita sulit untuk menjalin relasi dengan orang lain. Ya pergi lah, orang yang diposesifin. Gue sih ogah.

Posesif itu tanda kelemahan, guys. Memang mungkin… tetap saja dasarnya karena ada cinta maka kita posesif. Tapi coba berpikir, apakah itu sehat untukmu, untuknya, dan untuk hubunganmu dengannya?

Next.

Point number two. Jealousy: The Green-Eyed Monster.

> kamu kemarin kemana?

< ke pasar beli kue tete sama Boy, paginya. terus langsung pulang lagi ke rumah, main sama Boy (ini biasanya orang yang sering diposesifin di otaknya sudah otomatis ngasih jawaban lengkap tanpa diminta.)

> kenapa harus sama Boy? kenapa ngga sama Mami?

< lah mami masak, sayang.

> aku ngga suka sama Boy. kamu tuh selalu apa-apa sama dia. jalan, makan, tidur, sama dia terus.

< makanya NIKAHIN AKU BURU DONG BAAAANGGG!

Contoh ngga serius. OKE.

Contoh serius nih beneran.

> kamu kemarin kemana?

< ke mall sama Boy.

> ngapain?

< nemenin dia beli baju.

> emang kamu mamanya?

< aku sahabatnya. kita udah sahabatan dari SD.

> aku ngga suka kamu deket sama Boy. Emang ngga ada orang lain apa yang bisa nemenin dia? kenapa harus kamu?

< aku sahabatnya!

< GUE PACAR LU!

> dia sahabat gue.

> BOMAT GUE CEMBURU ANYING.

LALU LEMPAR-LEMPARAN BEHA SAMA KANCUT.

Jealousy atau cemburu adalah salah satu perasaan umum yang sering terjadi. Jealousy is an emotional reaction to a relationship that is being threatened. (Kox et al., 1999, 2007; Sharpsteen & Kirkpatrick, 1997, dalam Carroll, 2013).

Jadi rasa cemburu ini datang ketika seseorang merasa ada ancaman bagi dirinya dan hubungan yang sedang ia jalin. Contonya tadi, si laki cemburu sama si Boy karena si Boy ini ditemenin beli baju sama perempuannya. Laki ini merasa ada orang ketiga yang mengancam keberlangsungan hubungan dia dengan perempuannya.

Kebanyakan orang mengartikan cemburu itu sebagai tanda cinta. Makanya suka ada orang yang pamer gitu kan, “iyanih pacar gue cemburu. bikin lucu gemes. jadi makin cinte deh hihihi.”

YOU’RE WRONG! NOTE IT, YOU ARE WRONG!

Kamu salah. Cemburu itu bukan tanda cinta. Cemburu itu artinya dia ngga percaya sama kamu. Cemburu itu artinya dia low self-esteem. Dia tidak percaya dirinya sendiri, maka dia merasa orang yang dekat denganmu mengancam karena orang itu terlihat lebih baik darinya.

Dia ngga percaya sama kamu. Dan… kamu masih bangga punya pacar yang cemburuan?

Terlebih ada yang cemburunya ngga masuk akal. Lihat fotomu rame-rame, pas banget kamu pose di sebelah lawan jenismu, lalu kamu langsung dituduh, “siapa tuh? lu ngewe sama dia ya?” Damn, its just a photo. Dan foto rame-rame dengan baju lengkap ngga ada yang terbuka kecuali muke. Dimana logikamu berada ha? Make sense ah, kalo cemburu juga.

Dan yang ketiga. Yang tidak kalah gelap adalah. Compulsiveness: Addicted to Love. Ini bahaya, nih. Ketika kita merasa kecanduan. Namanya candu aja udah ngga baik. Ini kecanduan.

> aku ingin putus.

< hah? kenapa? ada guncangan apa lagi ini? kepalamu habis terbentur? kenapa sayang? kenapa putus?

> aku udah ngga bisa.

< kenapa? aku salah apa? aku kurang apa? aku akui kemarin aku bohong, dan aku ngga akan ngulang kesalahan ini lagi. please jangan berakhir.. aku tak ingin berakhir….satu jam saja~~~

> ngga bisa. aku udah ngga cinta sama kamu.

< AKU NGGA MAU PUTUS!

LALU NANGIS HINGGA SESENGUKAN.

Dua hari kemudian.

< Please, jangan putusin aku. aku sayang banget sama kamu. aku ngga bisa hidup tanpamu. aku minta maaf kalau selama ini aku salah bla bla bla bla bla bla bla bla bla.

Dua tahun kemudian.

< Aku masih sayang kamu.

Jatuh cinta memang candu. Ketika kamu jatuh cinta, tubuhmu akan memproduksi hormon yang efeknya sama seperti ketika kamu kecanduan obat-obatan. Ketika kamu jatuh cinta, kamu akan merasa dunia ini diciptakan hanya untukmu dan dia, maka apapun yang kalian lakukan berdua rasanya selalu super menyenangkan.

Maka kamu terlalu terbiasa untuk melakukan apapun dengannya. Kontakan tiap malam, telponan sampai subuh, ketemu tiap waktu, sampai-sampai jika kebiasaan ini luntur, hidup kamu mendadak luntur juga kebahagiannya. Kamu merasa ngga bisa ke mall seorang diri karena biasa kalo beli chatime atau burger king dia yang mesenin, kamu ngga bisa nyetir sendiri… Kamu sudah kecanduan, ladies and gentlemen.

Jatuh cinta itu meningkatkan well-being. Kamu merasa bahagia setiap saat. Saking bahagianya sampai-sampai kamu merasa bahwa dirimu melayang-layang, dilayani ratusan bidadari, lupa akan semua masalah perhutangan, karena tubuhmu menghasilkan phenylethylamine — bahan yang ada dalam coklat (Sabelli et., al., 1996, dalam Carroll, 2013).

Maka pantas jatuh cinta bisa buat gila.

Ada juga yang gini….

Beberapa orang yang habis patah hati, seringkali menganggap bahwa untuk sembuh maka harus mencari cinta yang lain. Jadi dia terus-terusan mencari orang untuk bisa membuat si pheny lala yeye (maksudnya phenylethylamine — finally gue copas) tadi muncul — atau lebih dikenalnya mungkin orang yang obsesif punya pacar terus gitu lah. Baru putus udah dapet lagi. Putus lagi, ada lagi, putus lagi, ada lagi… terus weh sampe perusahaan cadburry kerjasama sama perusahaan sabun colek ekonomi untuk bikin produk sabun colek wangi coklat oreo (?).

Hal ini dilakukan semata-mata karena dia selalu butuh afeksi. Hidupnya itu mengandalkan cinta yang dia pikir bisa dia dapatkan dari orang lain — pasangannya.

Padahal….

Dengan kita mencari obat patah hati dengan mencari lagi orang lain yang baru, bukan ngga mungkin kita akan menumpuk luka selanjutnya. Ibarat kata kita main di pasir terus jatuh, kaki kita kena batu kerikil lalu berdarah. Tapi saking bermain di atas pasir itu se-menyenangkan-itu, kita terus weh main di situ ngga peduli sebanyak apa kerikil di sekitarnya, dan seberapa peurih luka yang muncul.

Kita tahu itu bukan obatnya. Obatnya adalah… kamu bangun dulu, cuci kakimu pakai air bersih, lalu diperban. Kalo kamu masih main pasir kan bloon gitu loh orang peurih kali luka kena kerikil itu. Mungkin mau uji nyali — okela ngga papa.

Sama aja kaya si candu cinta ini.

Obat dari segala patah hati itu bukan pencarian akan makhluk baru yang kita anggap potensial. Tapi dengan evaluasi diri. Apa yang bikin patah hati ya? Apakah aku salah selama ini karena terlalu baik? Oh.. Ini mah mantan aja yang ndak bersyukur. Misalnya.

Biasanya candu akan cinta itu disebabkan juga karena pengaruh lingkungan dan media sosial. Kamu segeng bertiga, lalu awalnya ketiganya sama-sama punya pacar, eh kamu putus… padahal teman-temanmu yang lain masih awet. Kalo media sosial sendiri seperti…. ya… contohnya aja deh banyak sekarang mah. Pacaran untuk konsumsi publik alih-alih relationship goals. Menikah juga, lalu punya anak. Semua terpublikasi. Dan seolah-olah menebar keyakinan bahwa seseorang ditakdirkan untuk memiliki soulmate yang akan buat hidupnya bahagia selamanya (Carroll, 2013).

Padahal BIG NO. Bukan pasangan yang membuatmu bahagia, tapi diri kamu yang bisa menerima apa yang kamu miliki saat ini.

Jadi masih bisa bilang kalau cinta itu bikin happy? Selalu menyenangkan kah memiliki pasangan — yang kita kira akan menemani hidup kita selamanya?

Tidak.

Cinta itu punya sisi gelap — yang gue yakin semua dari kita pernah alami. Sesuatu yang menyenangkan itu selalu menjanjikan kepedihan, sebaliknya pun. Maka seharusnya sih pintar-pintarnya kita mengatur diri supaya tetap menjaga well-being, agar hidup tetap sejahtera dan bisa produktif.

Cinta itu selalu punya cara untuk bikin si empunya patah hati. Kecewa, dikhinati, diduakan, dibohongi…. Ya gitu kalau cinta. Sekecil kesalahan si dia, kalau itu sudah masuk ke ranah — yang kamu anggap bisa merusak hubungan kamu dan pasangan.

Ingat. Hidup itu sudah bikin tegang. Cinta yang sudah pasti bikin lemes jangan dibuat-buat tegang, lah. Ndak elok. Lebih baik kita salurkan energi yang positif dari mencintai untuk saling bekerja sama membangun masa depan, jangan hancurkan kisah cinta hanya karena ego.

Mel, berarti cinta selalu memiliki sisi gelap dong? Berarti wajar dong, kalau dari cinta itu muncul ketiga sisi gelap (posesif, cemburu, candu) tadi?

Ya. Wajar kalau ada. Cinta pun butuh bumbu-bumbu macam cemburu dan rindu. Tanpa ada cemburu dan rindu, cinta itu bak sayur asem yang ngga asem. Tapi kalau sudah berlebihan, sudah membuat well-being kita rusak, baiknya buru-buru dibenahi, deh, biar ngga berlanjut ke hal-hal yang jauh lebih negatif lagi.

Lain waktu, gue akan membuat cerita-cerita gelap dari cinta (based on true story). Ya, sedikit banyak aplikasi dari teori di atas lah. Bahwa memang yang perlu kita pahami dari mencintai adalah bagaimana dengan mencintai membuat kebutuhan alami kita terpenuhi, bukan sebaliknya.

Karena sejatinya cinta itu maju. Dengan mencintai — menjalin cinta, kita dan pasangan harus belajar bareng-bareng naik tangga, yang mana jejak-jejak di tiap step tangga ini mewakili tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi. Kalau mundur, itu bukan cinta — hubungan yang rusak. Namanya aja rusak, udah ngga baik toh?

Semoga cerita ini dapat menjadi inspirasi serta tambahan pengetahuan untuk pembaca sadari bahwa oh… jadi ini namanya ini…. OH. Ternyata saya sedang mengalami sisi buruk cinta yang buruk banget! HAHA.

So, I thank you and appreciate people who read this and give a comment, and also (maybe) asking me for more question. Sesi diskusi selalu dibuka. Bagi kamu-kamu yang tertarik ingin berdiskusi, sila hubungi media sosial saya.

Thank you, and… good bye.

Have a nice relationship!

Semua tulisan di sini bersumber dari bukunya Janel L. Carroll, yang gue cinta banget dari pertama gue menemukan buku ini. Thanks to Mrs. Carroll, I apprecite and love every words you wrote on the book so much :)

--

--

Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali