Tuhan Ingin Bilang…..

Agnicia Rana
9 min readDec 7, 2023

--

Source: Pinterest.

Perjalanan soreku kemarin cukup panjang dan emosional. Sore hujan, sejak jam 3. Aku sudah bersiap untuk buka notion — untuk mulai berkisah sedikit-sedikit, mengisi jurnal harianku sambil menunggu hujan reda, tatkala sore itu juga tiba-tiba klienku mengabari aku kalau dia mau order tambahan barang 50pcs, dan alhamdulillah, aku langsung urus semuanya secepat kilat. Rasanya dimudahkan sekali.

Jam 5 sore, semua order sudah terkonfirmasi dan hujan berhenti. Aku memutuskan membereskan meja kerjaku, memasukkan laptopku ke tas, pelan-pelan tanpa tergesa. Selesai beres-beres, aku turun dan keluar kantor. Baru beberapa langkah, ternyata gerimis lagi. Aku buka payungku, dan lanjutkan berjalan sampai halte.

Lumayan lama tunggu Jak 14, dan banyak juga sainganku. Kebetulan, aku memang orang yang terakhir datang, dari beberapa orang di sana. Di angkot ke-2 atau ke-3, akhirnya ada Jak 14 yang tidak terlalu penuh. Dua orang yang memang sudah menunggu sebelum aku langsung naik. Aku menimbang dan melihat kesempatan — bahwa masih tersisa satu bangku kosong — tapi ada mbak-mbak, satu orang yang menunggu sebelum aku datang juga, dia mau naik Jak 14 itu, tapi dia diam saja sampai mbak yang baru saja naik bilang ke dia kalau masih ada satu sisa bangku kosong.

Tuhan ingin bilang…

“Sekarang ini, belum giliranmu. Harus paham mana yang bagianmu, mana yang bukan ya, Amel.”

Aku bisa saja dengan gragas-nya masuk — seperti kebanyakan ibu-ibu atau mbak-mbak atau orang-orang lainnya, yang pernah nyerobot aku — kalau aku ngga memedulikan mbak itu. Tapi aku memutuskan menunggu angkot setelahnya saja, meski ngga ada jaminan ada orang yang sepertiku, yang nanti akan kasih aku treatment yang sama. Tapi aku percaya, giliranku pasti datang.

Sialnya, angkot setelahnya datang sangat lama. Aku yang tadinya sendirian, sudah ada dua orang lainnya, ditambah dua orang lagi, yang jadi sainganku, dan kali ini aku harus galak, karena aku sudah menunggu lama, dan angkot selanjutnya sudah menjadi hakku, karena cuma aku yang menunggu sebelum mereka datang. Persaingan yang sangat ketat, yang cuma bisa dirasakan anak angkutan umum, sepertiku.

Aku sepakat, Tuhan pasti bilang…

“Kejar dan usahakan jika itu hakmu dan kamu pantas dapatkan itu, Mel!”

Aku hampir menyerah ingin naik angkot yang bayar saja, kalau saja ngga ingat Rp5000 bisa aku pakai untuk tambahan grab bike besok pagi ke kantor. Akhirnya dapat juga, dan seperti niatku sebelumnya, “kali ini aku harus galak”, aku jadi maju paling depan, dan aku dapatkan bangku kosong yang memang sudah menjadi hakku.

Perasaanku sampai saat itu, masih biasa saja. Kepalaku masih berisik — lebih tepatnya kali ini untuk memutuskan mau turun di halte depan AW atau depan Superindo. Pertimbangannya cuma: kalau turun di depan Superindo biasanya banyak orang dan suka rebutan, apalagi kalau jam-jam pulang kerja, sekaligus… biasanya kebanyakan orang yang naik jak 30, turun di Superindo, jadi kemungkinan angkot kosong lebih banyak dibanding dari halte depan AW.

Super gambling, dan tak terprediksi.

Selama di angkot 10 menit, aku diam-diam intip handphone ibu di sebelahku yang sedang whatsapp anaknya. Ketikan ibu itu pelan-pelan dan banyak typo, tapi kita semua pasti paham maksudnya. Aku sedih. Ibu itu minta dijemput, dan anaknya balas hanya dengan satu-dua kata. Yang pertama, sekitar jam 5, ibu itu minta dijemput, anaknya jawab: “ujan”.

Kedua kali, saat sudah di angkot, ibu itu minta jemput lagi, anak itu jawab dengan fast responnya, “Aku masih di kantor”.

Ibu itu jawab lagi, “Yaudah ntar liat ada angkot atau engga”. Aku ngga tahu tujuan selanjutnya kemana, dan ngga bisa membayangkan gimana ibu itu akan sampai rumah. Ibu itu kelihatannya lebih tua dari mamaku, mungkin 60-an. Ibu itu kurus, pakai kerudung segi empat yang dililitkan seadanya. Sederhana sekali, tapi ia pakai riasan, dan sepertinya pakaian yang ia pakai itu baju kondangan.

Aku sedih memikirkan:

  1. Ni anak laki, Toro, namanya aku lihat di kontak si ibu. Jawabnya dry text banget, anjir. Masa balas chat ke ibu sendiri satu dua kata? Bahkan kesalnya, dia tidak minta maaf atau menawarkan solusi seperti, “Nanti dipesenin grab ya, sekarang mama dimana?”. Aku pasti akan tanyakan dengan jelas posisi mamaku di mana, kalau itu mamaku. Dia bahkan menyebut dirinya, “aku” ke ibunya sendiri. Aku ngga pernah sebut diriku “aku” ke orang tuaku, pasti selalu “Milla”, panggilanku di rumah. Aku pernah marah bilang, “Kalian gagal jadi orang tua, liat anak kalian. Saya capek.” Kayaknya cuma waktu itu saja — waktu aku kumpulkan mama, papa, dan adikku, untuk bahas pendidikan adikku setelah lulus SMA, dan adikku malah bersikap tidak sopan — aku menyebut diriku “saya”, ke orang tuaku. Aku jadi ikut marah ke orang tuaku, waktu itu.
  2. Ibu itu harus survive di jalan sendirian. Aku degdegan memikirkan kalau mamaku di jalan sendirian naik angkutan umum. Mau itu jalan yang sudah sering dia lewat, apalagi asing, aku tetep degdegan. Bayangkan kalau mamaku harus nyebrang, terus kegeser antrean angkot yang orangnya ganas-ganas. Aduh… Aku sedih, aku jadi merasa durhaka ke mamaku, dan malu sebagai anak, gara-gara mas Toro ini.
  3. Ibu itu memberi senyuman padaku. Ada momen kursi kami satu deret penuh 4 orang, dan dia tidak bisa duduk dengan leluasa. Tiba di halte indomaret, ada yang turun, termasuk bapak di sebelahnya di ujung dekat pintu. Yang turun duluan itu ibu di bangku deretan depan si ibu, dan dia langsung pindah. Tahu bapak di sebelahnya ikut turun, ibu itu refleks bilang, “Eh, turun ternyata” (seharusnya dia ngga perlu pindah), sambil melempar senyum ke arahku. Ibu itu habis dikasih dry text dari lelaki yang anaknya sendiri, yang ngga perhatian begitu. Tapi dia masih senyum ke orang lain. Aku sih, kalau dikasih dry text dan jelas-jelas ngga diperhatiin, aku langsung nekuk wajah.

Sebelum ibu itu pindah ke bangku deretan depan kami, aku sempat lihat wallpaper handphonenya. Foto ia dan anaknya lagi wisuda. Di situ sih kelihatannya anaknya melempar tawa dengan tulus, sambil merangkul ibunya. Kuharap memang Mas Toro ini cuma sedang rungsing di kantor saja, ya.

Aku memutuskan turun di Superindo, akhirnya. Sampai di halte, ternyata angkot di depanku itu angkot tujuanku, Jak 30. Aku langsung berlari seadanya, tapi angkot itu ngga nunggu dan jalan seketika. Beberapa detik kemudian, ada Jak 30 lagi, tapi dia dari kanan jalan, yang memang kalau dia mau mepet ke kiri agak susah. Dia berhenti setelah halte, dan aku mengejarnya.

Sialnya, ada mobil yang mau keluar Superindo, dan aku memutuskan untuk lewat belakang mobil, bukan lewat moncong mobil. Setangah berlari aku ke angkot itu, dan aku ditinggal juga, ketika aku sudah sampai bokong angkot.

Aku refleks bilang, “anjing”. Dan aku bisa-bisanya menangis, setelahnya. Aku berjalan balik ke halte sambil menangis, dan mengutuk keadaan. Kenapa sih si bapak ngga nunggu sebentar lagi aja? Aku sebentar lagi sampai sana. Sialan! Mentang-mentang gratis dan fasilitas pemerintah!

Aku menangis tiba-tiba, rasanya dadaku panas, dan kepalaku berisik lagi. Aku ingin langsung cerita ke teman dekatku, menghujani chatbox kami dengan sumpah serapah. Tapi engga. Aku malah adu nasibku sama nasibnya — temanku satu itu.

Kepalaku berisik, sambil bilang….

“Emang dia pernah nunggu angkot terus ditinggal di depan mata? Emang dia pernah rebutan sama orang-orang pulang kerja yang ganasnya kayak setan? Dia aja bisa hari kerja ke perpusnas cari kedamaian, gue berkutat dengan pekerjaan yang ini-ini saja dan kecemasan ke klien, dan segala kecemasan lainnya.”

“Kalau hujan di halte dekat rumah, dia bisa minta dijemput orang rumah. Kalau dia ngga ada duit, dia bisa mengandalkan papanya. Kalau dia kesal, dan butuh pelampiasan, dia bisa cari ketenangan atau cari ribut ke pacarnya yang green flag itu.”

“Gue sendirian, anjing! Survive di tanah orang dan jauh dari orang tua. Sendirian. Keadaan rumah juga tai, dan rumah ngga akan pernah bikin gue aman. Rumah bukan tempat pulang.”

Aku ngga jadi misuh-misuh ke temanku satu itu, aku malahan membayangkan rencana untuk ngga main lagi sama dia. Aku jadi sebal sama dia. Aku mau jauh-jauh saja darinya, dan memulai hidupku sendirian, tanpa siapapun. Aku ngga butuh orang lain.

Angkot datang, sekitar 15 menit kemudian. Masih kesal dan sedih, aku masuk, duduk segera, dan kasih kartuku untuk tapping ke mesin, ke anak yang umurnya mungkin 9 tahun, seumuran adik sepupuku.

Tubuhnya kurus banget, tapi dia tersenyum sumringah menyambut aku yang minta tolong ke dia. Ia duduk mepet ke bangku supir, dan di sebelahnya, ada bapaknya, yang pakai kostum badut “Tom”, iya, Tom di Tom & Jerry. Tangan kanan si bapak merangkul anaknya, dan tangan kirinya pegang kepala Tom.

Mata si Bapak turun, dan wajahnya berminyak dengan ekspresi yang datar cenderung lemah karena matanya yang turun. Dia diam saja, tak banyak melihat ke kanan-kiri. Anaknya berbeda. Anaknya sibuk ajak ngobrol ayahnya soal apa yang dia lihat di jalan, tapi sejauh pengamatanku dari ujung mataku (karena aku duduk di sebelah kiri mereka, dan terhalang satu penumpang lainnya), bapak itu merespon seadanya, dengan ekspresi tidak berubah sama sekali.

Apa yang sedang bapak itu pikirkan? Mungkin bagaimana besok ia kasih makan keluarganya karena hari itu pendapatannya kecil karena hujan. Mungkin juga bagaimana ia harus bayar uang sekolah anaknya untuk semester depan… Aku ngga tahu, tapi matanya yang turun seakan-akan membawa beban yang berat.

Aku langsung istigfar banyak-banyak karena baru saja kufur nikmat, dan marah ke papaku, ke orang tuaku, ke dunia.

Kita ngga pernah tahu kesulitan apa yang dihadapi orang tua kita untuk membahagiakan kita, anaknya.

Aku jadi ingat, aku tumbuh dengan orang tua yang hidup merantau sendirian, yang hidup mereka seadanya — tapi selalu ada. Papa dan mamaku hanya lulusan setara SMA — dulu lulusan SMA, tentu ngga se-bikin-degdegan seperti saat ini, bukan? Mama dulu sebagai anak kedua dan anak perempuan pertama dengan lima adik, ngga mampu bayar kuliah. Dulu mama pernah cerita kalau dia pasti masuk sekolah kebidanan, kalau saja mbahku mampu bayar Rp3.000.000,- untuk mendaftarkan mama masuk kesana.

Tiga. Juta. Rupiah. Berapa besar nilai uang itu sekarang?

Papa ngga pernah cerita soal kakek, dan kenapa papa memilih untuk ngga kulih setelah lulus SMA. Tapi papa bilang kakek itu guru ngaji/guru agama di sekolah.

Membandingkan rumah mbahku — bapaknya mama — dengan kakekku — bapaknya papa, beda sekali.

Rumah mbahku waktu aku kecil, masih pakai kayu dan alas tanah, juga lampu kuning. Bahkan kamar mandinya masih lapis semen, dan aku ngga pernah mau berak di situ karena gelap dan ada sarang lebah. Dapur mbah juga pakai pawon dan kompor minyak.

Sementara rumah kakek lebih megah. Lampunya bohlam putih, tembok sudah bata dan dicat, juga sudah pakai alas keramik putih. Di rumah kakek juga ada lukisan ka’bah yang besar di tembok ruang tamunya. Rumah kakek begitu megah, tapi aku ndak pernah ketemu kakek. Kakek meninggal di tahun 1994, sebelum mama dan papaku menikah.

Jelas bukan, bedanya?

Dari situ kupikir papaku saja yang ngga mau kuliah, padahal harusnya kakek punya biaya untuk bawa anak-anaknya ke pendidikan yang lebih tinggi. Ndak tahu juga, mungkin nanti aku bisa tanya ke papa.

Mama kerja di Jakarta setelah lulus SMA, kerja jadi buruh di pabrik. Sedangkan papa kerja di bengkel suami kakaknya — yang kaya. Dari situ papa belajar perbengkelan dan etos kerja. Papa ngga pernah kerja kantoran, tapi jujur, etos kerja papa luar biasa.

Bukankah aku dilahirkan dari orang tua yang luar biasa?

Setelah menikah dan aku lahir, di 1997, dia dibantu kakaknya bangun bengkelnya sendiri di Bekasi. Sampai di 2007, dia harus bawa semua keluarganya untuk hidup di desa.

Tai.

Ternyata, sore itu aku kesal harus menunggu angkot lama, ditinggal angkot dua kali, sampai aku nangis dan memaki kehidupan, adalah untuk bertemu ibu dan bapak itu di angkot. Aku bukan orang — anak — paling sengsara. Orang tuaku bahkan ngga pernah bikin aku kekurangan — dalam hal materi.

Malam sebelumnya aku misuh-misuh ke mama karena mama perhatian ke adik sepupuku yang masih kecil. Aku minta mama tengok aku ke Jakarta, alasannya selalu dia. Aku misuh-misuh bilang kalau dari dulu aku dan adikku kurang kasih sayang. Keesokan harinya, aku merasa bersalah, dan begini jawaban mamaku.

Bukan orang tuaku ndak sayang, tapi memang itu yang terbaik yang bisa mereka berikan. Jadi, harusnya aku bersyukur untuk banyak hal.

Tuhan ingin bilang….

“Amel, ayo lebih banyak bersyukur! Aku sudah kasih kamu banyak, kok masih mengeluh, Mel?”

Air Bantu Aku Buang Sampah di Tubuhku

Sampai kos, aku memilih untuk langsung mandi, cuci rambut, dan pakai hair mask. Sayangnya, aku belum ada mood untuk luluran karena hari itu aku masih menstruasi dan lumayan banyak, jadi rasanya aneh kalau luluran.

Aku mandi pelan-pelan, dan begitu menikmati air yang mengalir dari ujung kepala hingga ujung kakiku. Rasanya segar sekali.

Setelah mandi, emosiku membaik. Perasaanku jauh lebih baik. Rasanya, masalah-masalahku, segala kerungsinganku yang ngga jelas dan hanya bersumber di kepala ini ikut hanyut terbawa air, dan sejuk menyelimuti tubuhku seketika.

Aku memutuskan untuk masak mie rebus (satu-satunya mie instan yang tersisa, dan aku berkomitmen untuk tidak menambah stock dulu entah sampai kapan), dan melanjutkan nonton drama Sweet Home 2 di Netflix, sambil menyusun mini bricks. Aku bahkan mematikan paket data dan wifi, dan memutus segala komunikasi dengan dunia luar untuk mengembalikan duniaku.

Teman baikku sampai tanya ini, dan aku hanya menjawabnya dengan satu foto. Lalu aku kembali mematikan data. Aku lanjutkan dengan drama kedua.

Moodku membaik, dan aku tidur cepat semalam.

--

--

Agnicia Rana
Agnicia Rana

Written by Agnicia Rana

Sebuah perjalanan pencarian jati diri. Tempat misuh-misuh. #MemulaiKembali

Responses (1)